Rabu, 30 April 2014

Mengantar Teman-teman Kelas XII Menuju Ujian Nasional

Tak terasa bulan April sudah hampir kelar. Baru ingat kalau bulan ini belum sempat menulis catatan kegiatan Ruang Podjok. Bulan ini, kegiatan dipenuhi dengan ujub khusus, yaitu mengantar teman-teman kelas XII untuk memasuki masa penting menghadapi Ujian Nasional. Tahun ini, Ujian Nasional dilaksanakan pada tanggal 14-16 April. Kebetulan, Ujian Nasional tahun ini berada dalam masa istimewa yang dirayakan oleh Gereja, yaitu Pekan Suci. Pekan Suci merupakan masa yang digunakan Gereja untuk mengenangkan puncak karya Yesus melalui sengsara, wafat, dan bangkit. Berarti, teman-teman kelas XII diajak untuk menyatukan perjuangan mereka dengan perjuangan Yesus sendiri. Nah, untuk mengantar perjuangan teman-teman kelas XII, Ruang Podjok mengadakan dua kegiatan, yaitu Perayaan Ekaristi dan Doa Bersama sebelum Ujian Nasional. Kegiatan Ekaristi merupakan agenda khusus Ruang Podjok sedangkan Doa Bersama adalah agenda bersama dengan Kerohanian Kristen. Dua kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 4 dan 10 Maret 2014.
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Ekaristi merupakan puncak dan sumber kehidupan Gereja. Dengan keyakinan itu, Penjaga Podjok mengajak seluruh anggota Ruang Podjok untuk merayakan Ekaristi bersama. Ekaristi ini dilaksanakan pada hari Jumat Pertama sekaligus menjadi pengantar bagi teman-teman kelas XII untuk menyiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Ekaristi ini juga merupakan Ekaristi pertama yang dilakukan di Ruang Podjok. Menurut kabar yang diterima oleh Penjaga Podjok, belum pernah ada Ekaristi sebelumnya. Ya... semoga ini menjadi awal yang baik bagi semuanya. Ekaristi kali ini dilayani oleh Romo Andrianus Sulistyono, MSF dari Paroki Santo Petrus Purwosari. Sebenarnya, yang diminta pertama untuk memimpin Ekaristi adalah pastor dari Paroki San Inigo Dirjodipuran sebagai paroki yang mereksa pastoral bagi warga Katolik di SMK Negeri 3. Namun, karena ada kegiatan yang bersamaan, akhirnya Penjaga Podjok harus lari mencari pastor lain yang berkenan untuk melayani. Syukurlah Romo Andre berkenan memberikan pelayanan siang itu. Matur nuwun Romo...



Dalam Ekaristi tersebut, sengaja yang dipilih menjadi petugas adalah teman-teman kelas XII. Merekalah yang didoakan dan didukung. Oleh karena itu, mereka juga yang harus terlibat lebih banyak. Bacaan pertama dibacakan oleh Dea Putra Pratama dan doa umat dibacakan oleh Dewi Mutiarasani. Dalam homilinya, Romo Andre mengajak semua pengikut Ekaristi untuk mengembangkan tiga kemampuan intelektual, yaitu Intelectual Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritua Quotient. Jika tiga kemampuan ini dikembangkan secara maksimal, seorang pribadi adakan memiliki keseimbangan perkembangan hidup. Keseimbangan hidup itu diperlukan untuk menjadi berhasil. Namun, Romo Andre juga mengingatkan bahwa pengembangan kepribadian itu tidak begitu mudah karena ada banyak rintangan. Ini merupakan tantangan yang harus dilewati dan diperjuangkan. Hal ini juga dinyatakan dalam sabda yang dibacakan hari itu dimana orang-orang benar selalu dilawan karena dia menjadi gangguan bagi orang-orang jahat (Keb 2:12). Siswa-siswi kelas XII pun diajak untuk selalu berjuang menjadi orang benar dengan belajar giat dan jujur dalam ujian. Perayaan Ekaristi siang tersebut menjadi istimewa karena Romo Andre menerimakan komuni kepada para pengikut Ekaristi dalam dua rupa, yaitu roti dan anggur. Sekali lagi terima kasih karena Ekaristi pertama yang sangat mengesankan.




Selang enam hari kemudian, acara yang kedua dilaksanakan. Acara Doa Bersama ini memang sudah diagendakan oleh sekolah beberapa bulan sebelumnya. Doa Bersama ini diikuti oleh siswa-siswi Katolik dan siswa-siswi Kristen. 

Dalam kesempatan itu, Penjaga Podjok dipercaya untuk memberikan sedikit permenungan. Sabda yang direnungkan hari itu diambil dari Surat kepada Orang Ibrani (Ibr 12:3-12). Dalam renungan tersebut, para siswa diajak untuk bertekun dalam iman. Pengalaman menghadapi ujian kali ini bukanlah pengalaman yang pertama kali. Tentu sudah banyak yang dipelajari dalam menghadapi pengalaman ujian, baik dalam persiapan maupun pelaksanaan ujian. Surat kepada Orang Ibrani membawa pada pemahaman bahwa ujian dapat disebut sebagai saat Tuhan mendidik untuk berjuang lebih keras dan untuk mengusahakan diri menjadi lebih baik. Saat ujian menjadi saat seseorang untuk menguji diri sendiri sampai di mana kemampuan seseorang dalam mengelola waktu, mengasah ketrampilan, dan mengembangkan kepandaian yang telah diberikan Tuhan. Waktu ujian memang bukanlah waktu yang menyenangkan, tetapi waktu ujian menjadi saat bagi kita untuk mengembangkan diri menjadi yang lebih baik. Ujian – pada saat dijalani – memang pahit, tetapi – setelah dijalani –rasa manisnya mulai terasa karena jika lulus ujian, seseorang dimungkinkan untuk mencapai tahap kehidupan yang lebih tinggi bahkan mungkin lebih baik. Dalam situasi seperti ini, yang dituntut dari kita adalah KETEKUNAN DALAM PERJUANGAN. Ketekunan akan membuahkan keberhasilan. Ketekunan dalam perjuangan ini diteladankan oleh Tuhan Yesus Kristus. Ia sendiri mengalami penangkapan, pengadilan, penganiayaan yang sadis, memikul sendiri salibNya, dan menjalani kisah sengsaraNya dengan penuh kesetiaan. Ketekunan dalam perjuangan adalah kunci keberhasilan. Yesus sendiri dengan tekun menanggung penderitaan sebagai bentuk ketaatanNya kepada Bapa. Ketekunan Yesus untuk melaksanakan kehendak Bapa menghasilkan buah, yaitu ketika Ia dibangkitkan dari kematian. Kebangkitan Yesus dari kematian merupakan pernyataan bahwa Allah membenarkan Yesus dan segala karya yang dilakukanNya. Bagi Allah, Yesus adalah orang benar karena dia tekun dan taat total pada kehendak Allah. Keberhasilan hampir selalu didapatkan setelah seseorang menjalani saat-saat yang sulit. Dan salah satu kisah keberhasilan yang didapat dari ketekunan itu dapat dipelajari dari Kisah Seekor Kupu-kupu berikut ini...

Seorang laki-laki menemukan sebuah kepompong berisi kupu-kupu. Laki-laki itu terus mengikuti perkembangan kepompong dan kupu-kupu di dalamnya itu.
Suatu hari, sebuah celah sempit mulai nampak pada kepompong itu. Laki-laki itu duduk dan mengamati kupu-kupu itu selama beberapa jam. Kupu-kupu berjuang untuk melepaskan tubuhnya yang mulai membesar lewat celah kecil pada kepompongnya.
Setelah beberapa saat, perjuangan itu tampaknya terhenti seakan-akan si kupu-kupu tidak akan melanjutkannya. Laki-laki itu kemudian memutuskan untuk menolong si kupu-kupu. Ia mengambil gunting, menyelipkannya pada sisa kulit kepompong yang belum terbuka dan mulai menggunting sisa kulit kepompong itu.
Kupu-kupu itu dapat lepas dengan mudah namun badannya tampak membengkak dan sayapnya mengkerut. Laki-laki itu terus memperhatikan si kupu-kupu sambil berharap sebentar lagi sayapnya akan mengembang dan membesar sehingga mampu menyokong tubuhnya.
Namun, tidak ada yang berubah! Kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya dengan merangkak berputar-putar. Kupu-kupu itu tidak pernah dapat terbang.
Ternyata, satu hal yang tidak dimengerti oleh laki-laki yang baik namun tergesa-gesa itu:
Kulit kepompong yang kaku dan perjuangan yang dilakukan oleh si kupu-kupu untuk keluar dari celah sempit kepompongnya menjadi cara untuk memompa cairan dari tubuh ke sayap sehingga sayap itu akan berkembang menjadi kuat dan pada waktunya siap untuk dipakai sebagai alat terbang bagi si kupu-kupu.

Kadangkala, perjuangan adalah sesuatu yang kita perlukan dalam hidup. Melewati kehidupan tanpa tantangan akan membuat kita lumpuh. Kita tidak akan menjadi kuat jika tidak pernah melewati tantangan dan kita tidak akan pernah bisa terbang. Dalam situasi apapun, Tuhan memberikan hal-hal yang kita perlukan. Hal yang kita perlukan itu belum tentu menjadi hal yang kita inginkan.

Aku meminta kekuatan dan Tuhan memberiku kesulitan yang membuatku kuat.
Aku meminta kebijaksanaan dan Tuhan memberikan padaku persoalan untuk dipecahkan.
Aku meminta kemakmuran dan Tuhan memberiku lengan dan otak untuk bekerja.
Aku meminta keberanian dan Tuhan memberiku bahaya untuk diatasi.
Aku meminta kesabaran dan Tuhan menempatkanku dalam situasi yang menuntutku untuk bersabar.
Aku meminta cinta dan Tuhan memberikan kepadaku orang-orang bermasalah untuk ditolong.
Aku meminta kemurahan hati dan Tuhan memberikanku kesempatan.
Aku menerima bukan yang aku inginkan tetapi aku menerima apa yang aku perlukan.

Mengikuti Yesus bukan langit biru yang Ia janjikan, juga bukan bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan penuh liku karena jalan itu pula yang pernah Ia lewati. Janet S. Dickens mengatakan, “Sayap perubahan lahir dari kesabaran dan perjuangan.” Sukses untuk teman-teman kelas XII. Tuhan memberkati perjalanan hidup kalian selanjutnya.

Minggu, 27 April 2014

Gelar Santo untuk Giuseppe Roncalli “Sang Paus yang Baik” dan Karol Woytila “Si Burung Kelana”


Hari ini, Gereja Katolik di seluruh dunia sangat bergembira. Kegembiraan itu disebabkan karena rasa syukur atas penggelaran kudus kepada dua orang pemimpin Gerejanya. Hari ini, Paus Yohanes XXIII dan Paus Yohanes Paulus II ditetapkan sebagai Santo oleh Paus Fransiskus. Dalam liturgi Gereja hari ini, seluruh Gereja dengan penuh kesukaan menyambut hadirnya santo-santo yang baru yaitu Santo Yohanes XXIII dan Santo Yohanes Paulus II. Dalam diri kedua orang tersebut, gelar “Bapa Suci” yang sering dipakai untuk menyebut seorang paus menjadi sangat nyata.
Dalam kesukaan besar itu, baiklah kita sedikit mengenal dua orang santo tersebut melalui kisah-kisah berikut:

Angelo Giuseppe Roncalli

Yohanes XXIII adalah Paus ke-261 Gereja Katolik yang bertahta antara tahun 1958-1963. Ia terlahir dengan nama Angelo Giuseppe Roncalli pada 25 November 1881 di Sotto il Monte, wilayah utara Italia. Ia adalah anak keempat dari 14 bersaudara. Dia mempunyai sembilan saudara laki-laki dan perempuan. Keluarganya bekerja sebagai petani. Suasana religius dari keluarga dan kehidupan paroki, yang berada di bawah asuhan Pastor Fransiskus Rebuzzini, memberikannya pembinaan yang memadai untuk menghayati kehidupan Kristiani. Roncali memasuki seminari Bergamo pada tahun 1892. Pada tahun 1896, ia diterima pada Ordo Fransiskan Sekuler oleh pembimbing spiritualnya di seminari, Pastor Luigi Isacchi. Mulai 1901 sampai 1905 ia belajar di Seminari Pontifikal Romawi. Pada 10 Agustus 1904 ia ditahbiskan sebagai imam diosesan di gereja Santa Maria in Monte Santo, di Roma Piazza del Popolo.
Roncalli sempat berkarya sebagai profesor di seminari dan sekretaris uskup di keuskupan Bergamo untuk sepuluh tahun lamanya. Pada 1905, ia ditunjuk sebagai sekretaris Uskup Bergamo, Monsinyur Giacomo Maria Radini Tedeschi. Di seminari, ia mengajar sejarah, patrologi (ilmu tentang bapa-bapa Gereja), dan apologetik (pembelaan iman). Ia adalah pengkhotbah yang elegan, mendalam, efektif dan selalu dinanti oleh umat. Ketika Italia mengalami perang pada tahun 1915, Roncali didaftarkan sebagai seorang sersan pada bagian medis dan menjadi imam bagi tentara yang terluka. Ketika perang berakhir, ia membuka "Rumah Pelajar" untuk orang muda yang membutuhkan pendidikan spiritual. Pada tahun 1919, ia menjadi pembimbing spiritual seminari. Dua tahun kemudian, pada tahun 1921, ia dipanggil oleh Paus Benediktus XV untuk berkarya bagi Tahta Suci dalam bagian penyebaran iman.
Empat tahun kemudian, pada 19 Maret 1925, Paus Pius XI menunjuk Roncalli sebagai Delegasi Apostolik untuk Bulgaria serta mengangkatnya sebagai Uskup Tituler Areopolis. Motto dalam jabatan episkopalnya adalah Oboedienta et Pax (Ketaatan dan Perdamaian). Ia pergi menuju Bulgaria dan menetap di Bulgaria sampai tahun 1935. Pada tahun 1935, ia ditunjuk sebagai Delegasi Apostolik untuk Turki dan Yunani. Pelayanannya di antara umat Katolik sangat giat, dan pendekatan dengan penuh hormat dan dialog dengan dunia Gereja Ortodoks dan Islam menjadi suatu kelebihan dari masa jabatannya. Ketika Perang Dunia Kedua pecah, ia berada di Yunani. Ia berusaha membantu para tahanan perang menyampaikan berita kepada keluarga mereka dan juga banyak membantu orang Yahudi dengan memberikan visa. Pada bulan Desember 1944, Paus Pius XII menunjuknya sebagai Nuncio (duta besar Paus) di Perancis. Pada tahun 1953, ia diangkat sebagai Kardinal dan dikirim ke Venesia untuk menduduki jabatan sebagai Patriark.
Setelah kematian Paus Pius XII, kira-kira sebulan sebelum ulang tahunnya, ia terpilih sebagai Paus pada 28 Oktober 1958, dengan mengambil nama Yohanes XXIII. Ia tepilih pada usia 76 tahun. Banyak orang berpikir bahwa dia akan berfungsi sebagai seorang paus transisional yang berperan untuk hanya mengisi kekosongan sementara menantikan kedatangan seorang pemimpin Gereja yang relatif lebih muda usia yang akan datang dengan ide-ide baru dan segar. Namun pada kenyataannya, selama masa pontifikatnya yang hanya beberapa tahun itu, ia telah memberi dampak luarbiasa atas perkembangan Gereja dan dunia. Masa Kepausannya dimulai dengan mempromosikan reformasi sosial bagi para pekerja, orang miskin, yatim-piatu, dan mereka yang terpinggirkan. Ia tidak sungkan-sungkan mengunjungi penjara, rumah sakit, dan memperhatikan orang-orang yang terlupakan. Pada tahun 1959, ia melarang umat Katolik untuk memilih  partai yang mendukung komunisme. Ia juga mengadakan dialog dengan agama-agama lain, termasuk Protestan, Orthodox, Anglikan, dan bahkan Shinto.
Satu hal yang sangat dikenal adalah ketika ia memanggil semua uskup dari seluruh dunia untuk mengadakan Konsili Vatikan II pada 25 Januari 1959. Ia juga membuat perombakan dalam Kolegium Para Kardinal, yaitu dengan membuatnya menjadi lebih bersifat internasional daripada sebelumnya yang sarat dengan orang Italia. Pada tahun 1962, ia memperkenalkan aturan baru dan juga menjadi yang terakhir bagi Misa Tridentine atau Misa Forma Ekstraordinaria (Ekaristi yang dilakukan dengan posisi imam membelakangi umat). Pada 11 Oktober 1962, ia membuka Konsili Vatikan II. Peristiwa ini menjadi puncak masa kepausannya. Ia sendiri memimpin sesi pertama konsili tersebut dari tanggal 11 September sampai dengan 8 Desember 1962. Pada  bulan Maret 1963, ia mendirikan sebuah komisi untuk merevisi Kitab Hukum Kanonik. Berkenaan dengan persoalan sosial, ia menerbitkan dua ensiklik, yaitu Mater et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963). Ia meninggal pada 3 Juni 1963 di Roma. Ia bertahta hampir 5 tahun (tepatnya 4 tahun dan 218 hari) lamanya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik.
Paus Yohanes XXIII adalah seorang seorang yang sungguh-sungguh rendah hati. Dia dikenal sebagai ‘Paus Yohanes yang baik’ atau ‘Good Pope John’. Pada 3 September 2000, ia dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada 27 April 2014, ia akan dikanonisasi oleh Paus Fransiskus. Pengenangan terhadap Paus Yohanes XXIII terbilang cukup aneh. Biasanya, Gereja menetapkan hari kematian sebagai tanggal peringatan seorang kudus. Namun, bagi Yohanes XXIII, Gereja menetapkan tanggal 11 Oktober, yaitu tanggal pembukaan Konsili Vatikan II. Penghormatan kepadanya tidak hanya diberikan oleh Gereja Katolik. Gereja Evangelis Amerika memperingatinya pada tanggal 3 Juni. Gereja Anglikan Kanada serta Gereja Episkopal Amerika memperingatinya pada tanggal 4 Juni. Santo Yohanes XXIII  memang bukan sekadar milik Gereja Katolik Roma, tetapi milik seluruh umat Kristiani.

Karol Jozef Woytila

Yohanes Paulus II adalah Paus ke-264 yang bertahta antara tahun 1978-2005. Ia bukan seorang Italia dan berasal dari negara komunis, Polandia. Ia lahir pada tanggal 18 Mei 1920 dengan nama Karol Jozef Woytila di sebuah kota kecil Wadowice, sekitar 50 km dari Krakow, Polandia. Ayahnya seorang tentara dan ibunya mengurus rumah tangga. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ibunya sering memanggilnya dengan sebutan Lolus yang kemudian menjadi Lolek. Ibunya meninggal akibat jantung dan ginjal pada tahun 1929. Lolek pun menghadapi masa-masa gelap dan berat dalam hidupnya. Sepeninggal ibunya, Lolek yang gemar sepakbola ini terus melanjutkan kehidupan bersama dengan ayahnya. Devosinya kepada Maria semakin bertambah di bawah pembinaan ayahnya. Ayahnya tidak pernah membicarakan perihal panggilan imamat. Tapi, teladan hidup ayahnya merupakan seminari pertama baginya. Sejak kecil, sepakbola menjadi perekat tali persahabatannya dengan kalangan orang Yahudi. Lolek yang Katolik dan berkebangsaan Polandia tulen itu sering memilih untuk membela dan bermain sebagai penjaga gawang bagi tim sepak bola Yahudi. Ia ingat pesan pastor parokinya, Pater Leonard Prochwnik yang menyatakan: ‘Anti Semitis berarti anti Kristen’ dan pesan gurunya Kazimierz Forys: ‘Semua warga negara adalah sama, termasuk orang-orang Israel.’
Ia pernah ditanya apakah ingin menjadi imam tetapi dengan lantang Lolek menjawab: Tidak! Aku tidak pantas. Yang diinginkannya saat itu menjadi seorang awam Kristiani yang aktif. Ikut ambil bagian dalam menangani permasalahan social melalui Gereja itu sudah lebih dari cukup. Tahun 1938, ia lulus ujian sekolah tinggi dengan nilai tertinggi pada pelajaran bahasa Polandia, Latin, Yunani, Jerman, sejarah, masalah-masalah kontemporer Polandia, filsafat dan pendidikan jasmani. Ketika pecah Perang Dunia II, Lolek belajar di Universitas Jagiellonia. Sambil belajar, ia bekerja sebagai pemecah batu di tambang parit miliki perusahaan kimia Solvay. Tahun 1941, ia pindah kerja di perusahaan kimia lain yang pekerjaan fisiknya tidak begitu keras. Sementara itu, ia terus ambil bagian dalam diskusi sastra dan pembacaan puisi di arena teater bawah tanah. Dia juga masuk ke kota-kota yang diduduki, membawa keluarga Yahudi keluar dari ghetto, mencarikan identitas baru, dan menyembunyikan mereka. Awal musim semi 1941, Lolek hidup sebatang kara. Ayahnya meninggal dunia akibat serangan jantung.
Di usia 22 tahun, Woytila meninggalkan universitas dan masuk seminari. Semuanya dilakukan secara tersembunyi. Untuk menutupi kegiatannya, dia masih tetap bekerja. Di usia ke-26, ia ditahbiskan sebagai imam oleh Kardinal Sapieha di istananya pada 1 November 1946. Dua tahun kemudian, ia menjadi doktor teologi di Roma dengan predikat summa cum laude. Tahun 1948, dia kembali ke Polandia yang masih dikuasai orang-orang komunis yang terus merongrong Gereja. Ia bekerja di Niegowic dekat Krakow dan menjadi cepat terkenal karena khotbahnya yang menarik. Tahun 1958, datanglah utusan Kardinal Stefan Wyszynski kepadanya. Namun, utusan tersebut mengalami kesulitan mencarinya. Ketika berhasil ditemukan, Wojtyla segera diajak ke Warsawa dan sang kardinal menunjuknya menjadi Uskup Krakow. Ketika ditanya soal kesediaannya, ia berpikir sejenak lalu ia bertanya apakah jawaban itu bisa menunggu sampai dia menyelesaikan perjalanan dengan sampannya. Kardinal setuju. Wojtyla pun kembali menghabiskan beberapa waktunya dalam kedamaian dan keheningan. Ketika kembali ke Krakow, dia memberi jawaban bahwa dia menerima penunjukan itu. Menjadi uskup, Wojtyla mengambil lambang episkopal yang bertuliskan huruf M dan kata-kata “Totus Tuus. M merupakan tanda devosi kepada Bunda Maria, sedangkan Totus Tuus berarti PadaMu Kuabdikan Segalanya.
Pada tahun 1962, Wojtyla memenuhi undangan Paus Yohanes XXIII untuk menghadiri Konsili. Di sana, pemikiran Wojtyla mulai didengarkan. Dalam rangka mempersiapkan konstitusi Gereja Lumen Gentium, dia mendesak sidang agar benar-benar memahami Gereja secara keseluruhan sebagai umat Allah sebelum membicarakan hirarki. Ia menekankan agar pendekatan klerikal dikurangi untuk memahami arti Gereja itu sendiri. Pandangan ini membuat sidang tercengang karena mereka menganggap semua uskup Polandia sangat konservatif. Tahun 1967, Wojtyla diangkat menjadi kardinal oleh Paus Paulus VI. Meskipun menjabat kardinal, penampilan fisiknya tidak berubah. Dia masih tetap menggunakan jubah hitam polos. Rumahnya masih terbuka bagi siapapun. Dia masih tetap menyukai kendaraan sepeda ketimbang mobil. Kalau naik mobil, dalam mobil harus masih diberi lampu penerang agar ia tetap bisa membaca. Ia mulai sering mengadakan perjalanan ke mancanegara. Dia mengunjungi Kanada, Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Jauh. Oktober 1978, Kardinal Wojtyla menghadiri konklaf untuk memilih pengganti Albino Luciani (Paus Yohanes Paulus I). Pada hari hari kedua konklaf, ia terpilih sebagai Paus dan mengambil nama Yohanes Paulus.
Selama masa kepausannya, ia membuat ratusan kunjungan pastoral ke berbagai tempat. Sebagai uskup Roma, beliau mengunjungi 317 dari 333 paroki. Ia juga mengadakan pertemuan dengan para pemimpin negara. Kasih-Nya bagi orang-orang muda membawa dia untuk mendirikan Hari Pemuda Dunia. Ia juga berhasil mendorong dialog dengan orang Yahudi dan dengan perwakilan dari agama-agama lain, yang dia beberapa kali diundang ke pertemuan doa untuk perdamaian, khususnya di Assisi. Dia memberikan dorongan luar biasa untuk penggelaran kudus. Ia mengadakan 15 Sidang Sinode Uskup. Ia mengeluarkan 14 Ensiklik, 15 Anjuran Apostolik, 11 Konstitusi Apostolik, dan 45 Surat Apostolik. Ia menyetujui penerbitan Katekismus Gereja Katolik dan Kitab Hukum Kanonik. Ia menjadi teladan dalam pengampunan saat memberi maaf kepada seorang warga Turki bernama Mehmet Ali Agca Khan yang menembaknya tiga kali dalam percobaan pembunuhan di lapangan Santo Petrus pada 13 Mei 1981. Di adalah satu-satunya Paus yang pernah masuk komik karya Marvel yang diproduksi pada tahun 1983. Tahun 1994, majalah Time memilihnya sebagai Man of the Year, karena dianggap menggetarkan hati banyak orang. Ia merehabilitasi nama baik Galileo Galilei yang dikucilkan gereja lebih dari 500 tahun sebelumnya. Ia termasuk salah satu manusia paling berpengaruh di dunia pada abad XX. Ia meninggal pada Sabtu 2 April 2005, pukul 21.37 waktu Italia atau Minggu 3 April 2005 pukul 02.37 WIB pada usia 84 tahun. Beliau wafat di apartemen pribadinya di Vatikan setelah tiga bulan terakhir kesehatannya semakin memburuk karena berbagai penyakit. Jutaan orang menyaksikan pemakamannya yang disiarkan oleh berbagai stasiun televisi.
Paus Yohanes Paulus II adalah sosok yang populer, humanis, dan sering bepergian. Para wartawan sering menjulukinya “Si Burung Kelana.”  Ketika upacara pemakamannya, khalayak ramai menyerukan, “Santo Subito – Segeralah Diangkat Santo.” Hal ini rupanya menjadi doa banyak orang kepadanya. Tahun 2005, proses penggelaran kudus kepadanya dimulai. Proses ini termasuk sangat cepat karena biasanya proses penggelaran kudus baru akan dimulai lima tahun setelah seseorang meninggal. Pada tahun 2011, ia beatifikasi oleh Paus Benediktus XVI. Seperti Paus Yohanes XXIII, hari penghormatannya tidak dipilih dari hari kematiannya tetapi hari pelantikannya sebagai Paus, yaitu 22 Oktober. Dalam upacara beatifikasinya, tercatat 21 pemimpin atau wakil pemimpin negara menghadiri acara tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa Paus Yohanes Paulus II juga menjadi milik warga dunia dan bukan hanya milik warga Gereja Katolik saja.

Syukur atas kedua santo baru ini dan marilah kita berdoa, “Allah yang mahakasih, kami bersyukur atas kerahimanMu yang menjadikan kudus hambaMu Paus Yohanes XXIII dan Paus Yohanes Paulus II yang dengan caranya masing-masing menjadi saksi akan kerahimanMu yang menguatkan kami umatMu. Tambahkanlah rahmat yang telah Engkau anugerahkan agar kami semakin memahami betapa agung pembaptisan yang menyucikan kami, betapa luhur Roh yang melahirkan kami kembali, dan betapa mulia Darah yang menebus kami. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, PutraMu, Tuhan kami, yang bersama Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa. Amin”

Gambar diambil dari:
http://www.scmp.com/sites/default/files/styles/980w/public/2014/04/25/double_popes.jpg?itok=M-m8klga

Rabu, 02 April 2014

Hati yang Mencintai dan Tangan yang Melayani


Kata-kata yang menjadi tema APP tahun ini, “Berikanlah hatimu untuk mencintai dan ulurkanlah tanganmu untuk melayani,” dinyatakan oleh Ibu Teresa dari Kalkuta (26 Agustus 1910 – 5 September 1997). Tema APP kali ini didasari oleh pandangan Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya yang pertama berjudul Deus Caritas Est (Allah adalah Kasih). Melalui ensiklik tersebut, kita diajak semakin menyadari kasih Allah dalam hidup kita. Puncak karya kasih Allah tampak dalam seluruh hidup Yesus. Kasih Allah secara melimpah telah dicurahkan Allah kepada kita dan karenanya harus kita bagikan kepada sesama (DC 1). Membagikan kasih Allah merupakan tanggung jawab kita sebagai umat beriman. “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:26). Sabda di atas semakin menegaskan apa yang mesti kita lakukan dalam kehidupan.
Mengapa harus mengasihi? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun, inti dari semuanya adalah bahwa “kita mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4:19). Karena kita sudah dikasihi oleh Allah, kita seharusnya mau membagikan kasih kepada sesama. Selain itu, Yesus memberikan perintah kepada kita untuk saling mengasihi, “Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain” (Yoh 15:17). “Jika kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal dalam kasihKu, seperti Aku menuruti perintah BapaKu dan tinggal dalam kasihNya” (Yoh 15:10).
Setelah kita mencoba mengerti mengapa kita harus mengasihi, pertanyaan selanjutnya yang dapat diajukan adalah “Kepada siapa kasih diberikan?” Terhadap pertanyaan ini, Yesus mengatakan dalam hukumNya, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:37-39). “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5:44). Tuntutan Yesus mengenai siapa yang diberi kasih tidak mudah. Kita diajak mengasihi Allah, sesama, diri sendiri, dan musuh. Mengapa harus demikian? Kiranya ayat ini dapat menjadi jawaban, “Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya” (1 Yoh 4:20)
Apa itu kasih? Kasih ditampakkan melalui tindakan atau perbuatan yang membuat kita berani keluar dari diri sendiri. Kepentingannya hanya satu, yaitu kebahagiaan orang lain secara tulus dan tanpa pamrih. Dapat dikatakan bahwa kasih itu memberi, memberi dan memberi… Kasih yang sempurna itu ditampakkan oleh kasih orangtua kepada anak, “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia.” Kasih ini juga ditampakkan oleh Bapa karena ia memberi kepada orang yang baik dan orang yang jahat (bdk. Mat 5:45). Mari kita merenungkan sebentar bagaimana kita menyatakan kasih kita kepada siapa saja di sekitar kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kasih perlu dihidupi dalam tindakan konkret. Kasih itu mulai dikembangkan dalam keluarga. Paus Yohanes XXIII mengatakan, “Cinta kasih mula-mula dipelajari dalam keluarga dari orang tua kami, saudari-saudara kami, dan sanak saudara kami lainnya. Apabila pengalaman itu digabungkan dengan iman yang mendalam, doa keluarga, dan ibadat yang teratur di gereja paroki, keluarga kristiani tentu saja akan menjadi sekolah kebaikan. Keluarga memegang peran penting dalam mengembangkan kasih dalam diri setiap manusia. Manusia dapat memiliki kebiasaan baik jika ia mulai belajar hal-hal baik dalam keluarga. Dorothy Law Nolte mengatakan, “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”
Belajar untuk mengasihi berlangsung seumur hidup dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Belajar untuk mengasihi semakin dimulai dari tindakan-tindakan kecil yang kemudian menjadi kebiasaan dan akhirnya membentuk karakter dalam diri seseorang. Sudahkah kita melakukan perbuatan kasih hari ini?