Jumat, 16 Agustus 2013

“Soegija” dan Nasionalisme Kita

Setahun yang lalu, pada 7 Juni 2012, film layar lebar “Soegija” memasuki masa tayang. Dalam waktu singkat, film itu pun menjadi buah bibir umat. Film ini tampaknya berhasil menggugah kembali ingatan kolektif umat Katolik terhadap semangat “beriman di tengah masyarakat”. Berbagai komentar dituai oleh film ini. Ada yang pro dan ada yang kontra. Apapun komentarnya, pemutaran film ini berjalan terus dengan peminat yang begitu luar biasa.
Pasca menonton “Soegija”, ada sebuah pertanyaan yang menggelitik. “Pelajaran apa yang dapat ditilik dari film ini? Adakah cukup hanya berhenti di sini atau adakah sesuatu yang dapat dilakukan?” Jawaban atas pertanyaan itu dapat didekati dari berbagai macam segi, tergantung sudut pandang masing-masing. Salah satu sudut pandang yang kiranya dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan itu adalah sudut pandang pendidikan bela negara. 
Pendidikan bela negara merupakan upaya yang dilakukan oleh negara untuk menanamkan kesadaran bela negara dalam diri masyarakat di suatu negara tertentu. Di beberapa negara, perwujudan dari pendidikan bela negara ini adalah dengan mengikuti wajib militer. Di Indonesia, pendidikan bela  negara diwujudkan melalui berbagai macam kegiatan untuk membangkitkan kesadaran untuk membela negara dalam diri masyarakat. Pada masa awal kemerdekaan, di bawah pemerintahan Soekarno, pendidikan bela negara dialami langsung melalui berbagai perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat itu, rakyat dididik oleh situasi bangsa yang baru saja merdeka dalam situasi di mana kemerdekaan itu akan direbut kembali oleh bangsa penjajah. Setelah benar-benar merdeka, pendidikan bela negara diwadahi oleh Pelajaran Civics (Kewarganegaraan). Di era Soeharto, pendidikan bela negara menemukan perwujudannya dalam berbagai macam aktivitas, mulai dari Penataran P4 di semua lini masyarakat serta Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Kewiraan di lingkungan pendidikan formal. Masuk era Reformasi, pendidikan bela negara seakan-akan lenyap ditelan bumi karena masyarakat tidak lagi percaya penuh kepada pemerintah dan negara. Metode penanaman kesadaran bela negara warisan Orde Baru diemohi oleh masyarakat karena masyarakat telah menengarai berbagai penyelewengan.
Di saat masyarakat ragu terhadap negara dan menjauhi pengabdian kepada negara ini, “Soegija” hadir menyegarkan memori masyarakat dan umat terhadap peran warga negara atas kesadaran untuk membela negara. Sebuah fragmen dalam film “Soegija” mengisahkan bagaimana Sang Uskup bersikap menghadapi banyak pengungsi yang sedang berlindung di Gereja Bintaran. “Saya akan meminta umat dan Gereja untuk mengumpulkan obat-obatan, bahan-bahan makanan dan selimut.” Di bagian lain, Uskup Soegija juga mengatakan, “Ini saatnya kita terpanggil mempertahankan hak Allah, hak agama, dan hak bangsa.” Ungkapan-ungkapan ini seakan ingin menggali kembali kesadaran umat untuk berperan serta dalam mewujudkan keselamatan bangsa dan negara. Melalui “Soegija”, umat digugah untuk terlibat dan berbagi dengan masyarakat sezamannya.
Jalinan kisah yang ada di dalam film “Soegija” juga ingin berbicara kepada masyarakat mengenai  lima nilai dasar dalam bela negara, yaitu a) Cinta Tanah Air; b) Kesadaran Berbangsa dan Bernegara; c) Keyakinan terhadap Pancasila sebagai Ideologi Bangsa; d) Sikap Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara; serta e) Kemampuan Awal Bela Negara. “Soegija” mampu mengungkapkan lima nilai dasar ini melalui kisah-kisah kecil nan sederhana. Heroisme tidak selalu ditunjukkan melalui tindakan mengangkat senjata, namun ditampakkan melalui kegiatan sehari-hari. Fragmen keteguhan sikap saat Gereja hendak dirampas Jepang dan pemindahan tahta Keuskupan dari Semarang ke Jogjakarta sebagai dukungan kepada Republik merupakan cuplikan-cuplikan kisah yang mampu berbicara mengenai keberpihakan kepada bangsa dan negara.
Betapa banyak pelajaran yang dapat kita petik dari “Soegija”. Kali ini, kita belajar untuk menjadi umat beriman yang siap untuk membela negara. UUD 1945 Pasal 31 menyatakan, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara.” Panggilan untuk membela negara ini selaras dengan apa yang dinasehatkan oleh Monsinyur Soegijapranata dalam Surat Gembala berjudul “Alit Ning Mentes – Kecil Namun Berisi” berikut ini:

“Orang Katolik sudah semestinya bersatu dalam kesatuan yang tertata dan mempunyai disiplin; mempunyai jiwa merdeka dan bertanggungjawab; mempunyai tata susila dan sopan santun, rendah hati; mempunyai semangat rela berkorban untuk kesejahteraan Gereja dan Negara. Orang Katolik memang bukan bagian yang besar, tetapi harus menjadi bagian yang lebih baik.
Di bulan Agustus ini, terlebih menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68, kita diajak merenungkan kembali peran kita – orang Katolik – sebagai warga negara dan warga masyarakat. Sudahkah kita menjalankan apa yang dinasehatkan oleh beliau Monsinyur Soegijapranata? Inilah panggilan kita, seluruh orang Katolik, sebagai warga negara Indonesia. Dengan caranya sendiri, melalui bahasa khas sinema, “Soegija” telah membangkitkan kesadaran akan panggilan tersebut.

Gambar diambil dari:
http://www.jagatreview.com/wp-content/uploads/2012/06/Soegija-Pidato.jpg;
http://kebuncerita.com/wp-content/uploads/2012/10/Soegija.png;
http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2012/05/Mgr-pidato.jpg