Rabu, 31 Agustus 2016

Politik Orang Katolik: Belajar dari Soegijapranata dan Mangunwijaya

Orang Katolik berpolitik? Pertanyaan semacam ini tampaknya membuat orang Katolik sendiri merasa heran. Politik dalam pemahaman kebanyakan orang adalah tempat yang kotor, dipenuhi dengan nafsu, korupsi dan dosa. Tidak banyak orang Katolik yang tertarik untuk terjun dalam dunia politik karena sudah terlanjur memiliki image semacam itu. Lewat tulisan sederhana ini, ingin dibangkitkan kembali kesadaran bahwa setiap orang Katolik harus berpolitik. Politik macam apa dan harus bagaimana? Itulah pertanyaan yang perlu ditemukan jawabannya secara bersama-sama.

Mencari Makna Politik secara Katolik  
Kata politik sudah dikenal sejak zaman para filsuf Yunani. Para filsuf terkenal sudah memakai kata ini dalam ajaran-ajarannya. Makna kata politik yang paling sederhana dapat kita temukan dari pendapat Aristoteles. Menurut Aristoteles, manusia menurut kodrat merupakan zĂ´ion politikon: makhluk yang hidup dalam polis (lih. Prof. Dr. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani, Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius. 2002. Cetakan XVIII.). Polis adalah suatu negara kecil atau suatu negara kota sekaligus menunjuk pada rakyat yang hidup dalam negara kota itu. Bentuk kemasyarakatan baru ini timbul antara abad VIII dan VII SM. Polis merupakan pusat segala keaktifan ekonomi, sosial, politik, dan religius. Suatu polis mempunyai ciri-ciri berikut ini otonom (mempunyai hukum sendiri), swasembada dalam bidang ekonomi, dan mempunyai kemerdekaan politik. Ciri-ciri semacam itu tentu mengakibatkan beberapa hal. Pertama, pengembangan rasio antar warga dimungkinkan karena logos (ilmu) mendapat tempat yang istimewa di dalamnya. Kedua, dimungkinkan adanya keterbukaan antar warga. Urusan negara adalah urusan umum. Ketiga, muncul kesederajatan semua warga negara. Tiap-tiap warga polis mengambil bagian dalam urusan negara (lih. Prof. Dr. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani, Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius. 2002. Cetakan XVIII.).
Untuk menjadi sadar berpolitik, orang Katolik kiranya perlu belajar dari Y.B. Mangunwijaya. Ia adalah seorang Imam Diosesan untuk Keuskupan Agung Semarang. Ia diutus untuk belajar di Institut Teknologi Bandung dan Sekolah Tinggi Teknik di Aachen, Jerman sampai meraih gelar insinyur teknik bangunan. Selain menjadi arsitek dan pastor, ia pernah menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Seiring perjalanan waktu, orang-orang mengenalnya sebagai novelis, kolumnis berbagai surat kabar dan majalah, pekerja sosial, budayawan, dan tokoh besar. Perhatiannya terhadap banyak masalah di negeri Indonesia ini diungkapkan dalam banyak tulisan dan karyanya melalui lembaga pendidikan yang didirikannya, Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. 
Banyak orang mengenalnya sebagai seorang rohaniwan yang memiliki kepedulian terhadap nasion dan masyarakat Indonesia, terutama kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Berkenaan dengan politik yang harus dijalani oleh orang Katolik, Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan melalui artikel “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” (Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997):

“Memanglah ada dua paradigma dan pengARTIan dasar politik. Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek kekuasaan. Penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status-quo kekuasaan, dst., pendek kata segala yang menyangkut power atau might, kekuasaan (PK). Termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang nisbi lemah. Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam arti pertama ini. Sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: ‘politik itu kotor.’
Namun bagi orang terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis, ataupun sesuai koderat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer) yakni politik dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum. Jasmani rohani. Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, luas, misalnya sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Juga demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dsb. demi tata hidup bersama yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dsb. dst. Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral (dan iman). (PM).”

Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan bahwa semua orang harus terlibat dalam politik dalam arti yang kedua. Semua orang diajak terlibat. Politik tidak hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Semua orang wajib terlibat dalam politik yang ditujukan untuk kesejahteraan umum. Orang Katolik termasuk yang dipanggil untuk berbuat sesuatu demi kesejahteraan bersama.

Kesadaran berpolitik orang Katolik juga perlu dipelajari dari Monsinyur Albertus Soegijapranata, S.J. atau lebih akrab disapa Monsinyur Soegija. Ia adalah seorang imam pribumi yang hidup dalam masa revolusi kemerdekaan. Ia diangkat sebagai pemimpin Gereja Katolik untuk wilayah Semarang pada tahun 1940. Sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik, ia mempunyai tugas untuk memelihara dan membina kehidupan rohani umatnya. Namun, situasi negara yang sedang bergolak saat itu menuntutnya untuk tidak hanya melakukan kegiatan bagi umatnya sendiri, tetapi juga memberikan sumbangan bagi kehidupan bersama masyarakat seluruhnya. Keterlibatannya dalam situasi negara ditunjukkan dengan kemauannya mengikuti gerak perjuangan bangsa Indonesia saat itu. Informasi lebih lengkap tentang keterlibatan Mgr. Soegijapranata dalam kehidupan masyarakat dapat dilihat dalam buku karangan G. Budi Subanar, S.J berjudul Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang, Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J. 13 Februari 1947-17 Agustus 1949. (Yogyakarta: Galang Press. 2003). Ia menjalin hubungan baik dengan para pemimpin negara, terutama Presiden Sukarno. Ia bahkan secara terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada negara Indonesia dengan memindahkan pusat penggembalaannya dari Semarang – yang saat itu menjadi daerah kekuasaan Belanda – ke Yogyakarta – yang saat itu menjadi daerah kekuasaan Republik Indonesia – mulai tanggal 17 Februari 1947 setelah beberapa hari berada di Jakarta untuk menyelesaikan beberapa urusan bersama Monsinyur Petrus Joannes Willekens, S.J. 
Monsinyur Soegija adalah seorang Gerejawan besar (lih. Y.B. Mangunwijaya. “Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. A. Soegijopranata” dalam A. Budi Susanto, S.J. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius. 1990). Ia mempunyai dua fokus perhatian saat itu. Pertama, ia mempunyai tugas menyelamatkan Gereja dan umat Katolik agar tidak porak poranda karena seluruh imam, biarawan, dan biarawati – yang saat itu masih banyak yang berkebangsaan Belanda – ditawan Jepang. Saat itu, umat belum berdikari. Menurut perhitungan normal, Gereja Katolik di Indonesia yang masih sangat muda itu seharusnya sudah hancur. Namun, berkat kepemimpinan dan gelora juang yang hanya dibantu beberapa imam praja yang masih ingusan dan belum berpengalaman, kaum awam malah bangkit dan menjadi dewasa (lih. Y.B. Mangunwijaya. “Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. A. Soegijopranata” dalam A. Budi Susanto, S.J. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius. 1990). Kedua, ia mempunyai perhatian pada pergolakan bangsa dan masyarakat Indonesia sesudah pemerintah Hindia Belanda lenyap. Ia  merasa  harus berusaha keras agar agama Katolik tidak dicap sebagai agama orang Barat, orang asing, dan seolah-olah orang-orang Katolik atau Kristen menjadi kaki tangan musuh, kaum penjajah. Orang Katolik harus membuktikan bahwa umat Katolik adalah patriot sejati justru karena Kekatolikannya (lih. Y.B. Mangunwijaya. “Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. A. Soegijopranata” dalam A. Budi Susanto, S.J. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius. 1990). Ia adalah uskup yang terkenal dengan kata-katanya: 100 % Katolik dan 100 % Nasional. Kata-kata inilah yang digunakannya untuk menggugah kesadaran orang Katolik saat itu untuk sungguh menjadi warga Gereja Katolik sekaligus warga negara Indonesia yang terlibat secara penuh dalam kehidupan menggereja, memasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia adalah uskup yang berpolitik. Seruan agar orang Katolik terlibat dalam politik diungkapkannya pada tahun 1954 melalui surat gembala - surat dari pemimpin Gereja setempat  kepada umat - yang ditulisnya bersama para uskup di Pulau Jawa. Cinta kepada tanah air tidak cukup diwujudkan dengan mengibarkan bendera pada hari besar nasional. Cinta kepada tanah air berarti berbakti untuk kemakmuran, keteraturan, dan kesejahteraan tanah airnya (bdk. Mgr. A.E.J. Albers, O.C., Mgr. A. Soegijapranata, S.J., Mgr. W. Schoemaker, M.S.C., Mgr. P.M. Arntz, O.S.C., Mgr. A. Djajasepoetra, S.J., Mgr. J.A.M. Klooster, C.M., Mgr. N. Geise, O.F.M. “Nawala Para Rama Kangdjeng” dalam PRABA No. 16. Th. VI. 20 Agustus 1954). Monsinyur Soegija mengajak seluruh umat Katolik untuk terlibat dalam hidup bermasyarakat. 

Dasar Keterlibatan Politik bagi Orang Katolik
Setiap tindakan, apapun tindakan itu, perlu dasar yang jelas, termasuk tindakan politik. Mangunwijaya mengatakan bahwa keterlibatan setiap orang dalam hal politik didasarkan pada pengajaran agamanya masing-masing. Bagi orang Katolik, keterlibatan itu didasarkan pada ajaran Yesus. Ia menulis melalui artikel “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” (Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997):

“Dan memang Nabi Isa mengajar para penganutnya demikian. Jangan pakai pedang, tetapi lewat kebenaran, iman, harapan, cintakasih. Karena yang didambakan masyakarat umum yang normal sejati, apalagi yang berkeTuhanan, berPancasila, akhirnya dan akhirnya justru inilah, tata negara dan masyarakat yang berpijak pada moralitas dan etika fair play (serta iman) dalam arti luas di atas.”

Pendapat Mangunwijaya ini dengan jelas didasarkan pada kisah Yesus dalam Alkitab. Dalam Kitab Suci, dinyatakan bagaimana Yesus melakukan karyaNya demi mewartakan Kerajaan Allah (Luk 4:18-20). Karya Yesus itu didasarkan pada cinta kasih (Mat 22:34-40. par.), tindakan tanpa kekerasan (Mat 5:38-44), dan pengampunan (Mat 18:21-35). Nafas cintakasih dan anti kekerasan menjadi roh dari keterlibatan politik orang Katolik dalam masyarakat supaya orang mampu untuk hidup dalam lingkungan sekitarnya demi kesejahteraan bersama.  
Monsinyur Soegija menyatakan bahwa ada dua hal yang menjadi dasar kewajiban keterlibatan orang Katolik dalam masyarakat, yaitu kewajiban kerasulan yang berasal dari keadaan hidup kita dan kewajiban kerasulan yang berasal dari sifat sosial yang ada pada kita. Ia menulis dalam Surat Gembala Prapaska tertanggal 12 Februari 1952.:

“Sedjak kita dipermandikan menjadi Katholik dan mengatur hidup setjara Katholik, berkat kemurahan dan kerelaan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia, sedjahtera, dan sentosa dalam kejakinan kita... maka dengan sendirinja kita merasa terdorong untuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun pula ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjajaan itu... Sebagai makluk jang bersifat sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan pertolongan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”

Kegiatan keterlibatan dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kondisi sebagai orang Katolik yang hidup di tengah masyarakat. Monsinyur Soegija tampaknya sejak awal sadar bahwa orang-orang Katolik tidak dapat lepas dari masyarakat setempat sehingga peran orang Katolik dalam masyarakat sangatlah penting. Pendapat Monsinyur Soegija ini secara ringkat menyiratkan ajaran yang disampaikan oleh penulis Surat Pertama Rasul Petrus yang menasehatkan orang-orang Kristiani untuk takut kepada Allah, tunduk kepada pemerintah, berbuat sebaik-baiknya dalam masyarakat, serta menghormati semua orang sebagai wujud nyata kemerdekaan yang dialaminya (1 Ptr 2:13-17). Selain itu, ajaran Monsinyur Soegija serasa menyuarakan apa yang ditulis oleh Rasul Paulus yang menasehatkan agar orang Kristiani saling memberikan pelayanan atas dasar kemerdekaan yang telah dia terima (Gal 5:13). 
Mangunwijaya dan Soegijapranata telah memberikan dasar mengapa orang Katolik harus terlibat dalam kehidupan masyarakat. Mereka berdua telah kembali menyadarkan kita, orang Katolik untuk berlaku adil baik kepada setiap pihak seperti yang disampaikan Yesus ketika ditanya apakah boleh membayar pajak kepada kaisar atau tidak. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang ditujukan untuk menjebak-Nya. Namun dengan lihai, Yesus memberi jawaban untuk berlaku adil kepada setiap pihak dengan mengatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kami berikan kepada Allah” (Mat 22:21).

Menjadi Orang Benar dalam Masyarakat Berdasar Hati Nurani
Panggilan politik orang Katolik dapat dirumuskan sebagai berikut: menjadi orang benar berdasar hati nurani. Y.B. Mangunwijaya menyatakan bahwa hati nurani harus diwujudkan melalui keberpihakan kepada nilai-nilai universal, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil dan solider terhadap yang menderita... demi perdamaian dunia, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.” Hati nurani sebenarnya bukan hanya sumber dan dasar tindakan politik manusia saja, tetapi harus menjadi sesuatu yang integral dalam diri manusia dan menjadi sumber seluruh tindakan manusia. Hati nurani merupakan unsur yang perlu dimekarkan dalam kehidupan. Hati nurani harus dimasukkan sebagai salah satu daya yang harus dimekarkan dalam pendidikan. Ada lima macam daya yang harus dikembangkan, yaitu daya kognitif atau daya nalar; cita rasa dan kemampuan afektif yaitu rasa, intusisi dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan; kemampuan untuk saling berkomunikasi, bergaul, bekerjasama, teratur, tenggang rasa; kesehatan raga; dan hati nurani, sikap atau semangat tolong menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih. Pemekaran hati nurani ini akan membuahkan kehidupan yang subur dan berbuah. Pendidikan hati nurani itu dapat dilakukan melalui komunikasi iman – bukan agama – dalam kehidupan, dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka terhadap segala yang baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau lambat belajar (lih. A. Supratiknya dan A. Atmadi. “Romo Mangun sebagai Guru” dalam Y.B. Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999).
Pemekaran hati nurani ini menjadi sebuah modal untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat. Hati nurani yang mampu mempertimbangkan baik buruk, bersikap adil, suka menolong menjadi sebuah dasar untuk bertindak dalam masyarakat. Yang menjadi patokan dalam bertindak bukanlah sikap suka atau tidak suka, tetapi unsur-unsur keadilan, kemanusiaan, perdamaian dan kemerdekaan: apakah tindakan yang aku buat membantuku dan orang lain untuk mewujudkan nilai-nilai itu. Hati nurani yang sudah mekar akan membuat orang Katolik dapat mengusahakan diri untuk menjadi orang benar dalam masyarakat. Monsinyur Soegija pernah menyatakan bahwa orang Katolik memang bukan bagian yang lebih besar (pars major) tetapi orang Katolik harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior). Dengan melakukan kegiatan agama, kesusilaan, kejujuran, kesetiaan pada perjanjian, keadilan, cinta para sesama, cinta pada pekerjaan, menghormati pembesar, taat pada peraturan dan undang-undang, orang Katolik diajak untuk memberikan kesaksian yang kuat dalam hidup bermasyarakat. 

Penutup
Kehidupan Soegijapranata dan Mangunwijaya menun-jukkan bagaimana mereka berpolitik dalam arti sesungguhnya, terlibat dalam masyarakat demi kesejahteraan bersama. Mereka berdua telah menunjukkan kesadaran-nya untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan Gereja Katolik Indo-nesia. Kita melihat bahwa kehidupannya sebagai orang Katolik telah me-nyumbangkan sesuatu ke-pada bangsa dan negara Indonesia. Melalui kiprah dua tokoh tersebut, kita diingatkan kembali kepada pertanyaan Monsinyur Soegija yang dituliskan dalam Surat Gembala berjudul “Alit Nanging Mentes” (PRABA, 5 Djanuwari 1955): apakah Gereja Katolik beserta umatnya sungguh-sungguh mempunyai manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia? Semoga kita semua tergerak berbuat dan menyumbangkan sesuatu bagi kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Selasa, 23 Agustus 2016

Menyelami Makna dan Tradisi Paska

Paska, dalam buku Ancient Israel, karangan Roland de Vaux, vol. 2, (First McGraw-Hill Paperback Edition, 1965), p. 488-493 diterangkan artinya demikian: Paska atau Passover (bhs Inggris), berasal dari kata Pesah (bhs Ibrani). Kitab Suci menghubungkan kata itu dengan akar kata psh, yang artinya ‘timpang atau melangkahi atau melewati’ (lih. 2 Sam 4:4,  1Raj 18:21). Dalam tulah terakhir kepada bangsa Mesir, Allah melangkahi atau melewati rumah-rumah yang melakukan persyaratan Paska (Kel 12:13,23,27). Ada teori lain yang menghubungkan kata pesah tersebut dengan kata Akkadian, pashahu, artinya, mendamaikan atau menenangkan. Tetapi kalau dilihat dalam konteks Paska Yahudi, arti ini tidak atau belum ada. Ada juga teori modern yang lain yang menghubungkan dengan pesah dengan kata bahasa Mesir, yang kalau diartikan adalah ‘sebuah pukulan’, sebagaimana memang bangsa Mesir seolah dipukul oleh tulah dari Allah (lih. Kel 11:1, 12:12,13,23,27,29). Namun argumen ini tidaklah kuat, karena sulitlah diterima bahwa bangsa Israel dapat memberikan istilah dari bahasa Mesir, suatu kebiasaan yang menjadi tradisi bangsa mereka sendiri (Yahudi), apalagi tradisi tersebut adalah tradisi yang menentang bangsa Mesir, yaitu pada saat mereka memperingati bebasnya mereka dari bangsa Mesir.
Di luar asal usul kata, bagi bangsa Israel, awalnya perayaan Pesah nampaknya dirayakan oleh para gembala, yang mengurbankan hewan muda mereka, dengan harapan mereka agar kawanan hewan gembalaan bertumbuh subur. Perayaan pesah ini kemudian digabungkan dengan satu perayaan lain, yaitu perayaan Roti tidak beragi, sebuah perayaan pertanian yang baru mulai dirayakan setelah bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan. Perayaan ini dikaitkan dengan perhitungan minggu, dan dilakukan selama seminggu (Kel 23:15; 34:18), dari satu Sabat ke Sabat berikutnya (Kel 12:16, Ul 16:8; Im 23:6-8). Perayaan panen, ditetapkan pada tujuh minggu setelah perayaan Roti tidak beragi (Im 23:15; Ul 16:9). Kemudian kedua perayaan tersebut, Paska dan Roti tidak beragi, yang sama-sama dirayakan di musim semi, digabungkan menjadi satu. Perayaan Paska yang sudah ditetapkan pada bulan purnama, tidak diubah, dan perayaan Roti tidak beragi disertakan pada perayaan tersebut, dan dirayakan selama 7 hari (lih. Im 23:5-8). Tradisi kitab-kitab Musa (Pentateukh) menghubungkan perayaan masing-masing perayaan, Roti tidak beragi (Kel 23:15; 34:18; Ul 16:3) atau Paska (Ul 16:1 dan 6), atau keduanya, Paska dan Roti tidak beragi (Kel 12:12-39), dengan dibebaskannya bangsa Israel dari Mesir. Kedua ritus kedua perayaan tersebut digabungkan dalam kisah keluaran bangsa Israel.
Maka walau kedua perayaan itu sudah ada sebelum bangsa Israel lahir sebagai bangsa, namun ada suatu saat, di mana Tuhan mengintervensi, yaitu saat Ia membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, dan ini menandai terbentuknya israel sebagai satu bangsa sebagai bangsa pilihan Allah. Proses pembebasan ini mencapai puncaknya saat mereka masuk ke Tanah Terjanji. Kedua perayaan tersebut, Paska dan perayaan Roti tidak beragi, memperingati kejadian ini, sehingga inilah yang juga dirayakan sampai kepada zaman Kristus dan para Rasul. Dengan menyadari bahwa peringatan Paska Yahudi dan perayaan Roti Tidak beragi berlangsung selama 7 hari, kita melihat bahwa kejadian sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus memang terjadi di sekitar jangka waktu perayaan tersebut. Kebangkitan Tuhan Yesus yang terjadi di hari pertama minggu, artinya setelah hari Sabat berakhir, menjadi puncak penggenapan kedua perayaan tersebut dan menyempurnakan maknanya.
Paska atau Pesah  berarti ‘melangkahi atau melewati.’ Dalam hal ini konteksnya adalah Allah melangkahi (rumah-rumah umat-Nya yang ditandai dengan darah kurban anak domba) untuk menghantar mereka mencapai Tanah Terjanji. Maka arti kata ‘melangkahi arti melewati’ ini selalu tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan keadaan berikut yang dituju oleh proses melangkahi atau melewati. Dengan berpegang kepada arti ini, tak mengherankan jika kemudian Gereja menghubungkan perayaan Paska ini dengan perayaan Kebangkitan Yesus Sang Anak Domba Allah; sebab melalui kebangkitan Kristus atas kematian, kita umat-Nya dapat dihantar kepada kehidupan kekal di Tanah Terjanji yang sesungguhnya yaitu Surga. Para Rasul kemudian menyebut hari kebangkitan Yesus, yang jatuh pada hari Minggu, sebagai Hari Tuhan. Maka penetapan hari Minggu sebagai hari Tuhan itu sudah ditetapkan sejak Gereja Perdana, dan bukan baru ditetapkan di zaman Kaisar Konstantin. ‘Paska’ mengacu kepada kebangkitan Kristus yang tak terpisahkan dari sengsara dan wafat-Nya sehingga Gereja menghubungkan misteri Paska dengan sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga.
Jadi perayaan Paska sebagai hari Kebangkitan Kristus dan penyebutan hari Minggu sebagai Hari Tuhan (the Lord’s Day), itu sudah dirayakan oleh Gereja sejak awal. Pelopor yang mempromosikan kembali perayaan Sabat dan bukan hari Minggu, adalah kedua pendiri sekte Anabaptist, yaitu Andreas Fisher dan Oswald Glait di tahun 1527, yang kemudian juga dilakukan oleh penganut Seventh- day Adventists sejak tahun 1844. Namun Gereja Katolik, dan sebagian besar gereja-gereja non-Katolik, tetap berpegang kepada apa yang telah dilaksanakan oleh Gereja selama berabad-abad sejak awal (sebagaimana dikatakan oleh St. Yustinus Martir (100-165), yang dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik), yaitu merayakan Hari Tuhan pada hari Minggu, untuk memperingati hari kebangkitan Kristus, yaitu hari Paska, yang jatuh pada hari Minggu.
KGK 2174 Yesus telah bangkit dari antara orang mati pada “hari pertama minggu itu” (Mat 28:1; Mrk 16:2; Luk 24:1; Yoh 20:1). Sebagai “hari pertama”, hari kebangkitan Kristus mengingatkan kita akan penciptaan pertama. Sebagai “hari kedelapan” sesudah hari Sabat (Bdk. Mrk 16:1; Mat 28:1), ia menunjuk kepada ciptaan baru yang datang dengan kebangkitan Kristus. Bagi warga Kristen, ia telah menjadi hari segala hari, pesta segala pesta, “hari Tuhan” [he kyriake hemera, dies dominica], “hari Minggu.” Santo Yustinus menulis, “Pada hari Minggu kami semua berkumpul, karena itulah hari pertama, padanya Allah telah menarik zat perdana dari kegelapan dan telah menciptakan dunia, dan karena Yesus Kristus Penebus kita telah bangkit dari antara orang mati pada hari ini” (Apol. 1,67).
Atas dasar logika, bahwa kesaksian yang lebih dapat dipercaya adalah kesaksian dari orang-orang yang lebih dekat kepada kejadian yang terjadi, daripada perkiraan orang-orang yang terpisah sekian abad dari kejadian tersebut; maka kita dapat menyimpulkan bahwa ajaran Gereja Katolik jauh lebih dapat dipercaya daripada klaim sejumlah orang di abad akhir ini. Sebab dari catatan para Bapa Gereja abad awal, telah diketahui bahwa Paska dihubungkan dengan kebangkitan Kristus (walaupun tanpa dipisahkan dari sengsara dan kematian-Nya) dan dirayakan setiap hari Minggu. Kesaksian para Bapa Gereja ini jauh lebih kuat daripada wahyu pribadi sejumlah orang di abad -abad ini yang tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya, ataupun prediksi sejumlah orang di abad-abad ini, yang biar bagaimanapun terpisah jauh dari pemahaman yang lengkap dan sesuai dengan keadaan sesungguhnya di abad pertama.
Perayaan Paska dapat dijumpai dalam berbagai komunitas. Telur yang dihias cantik dan kelinci Paskah menjadi ikon perayaan Paskah. Meski begitu, setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi unik dalam merayakan Paskah. Di Indonesia, meski perayaan Paskah tidak semeriah saat Natal, setiap gereja biasanya mengadakan lomba menghias juga berburu telur Paskah untuk anak-anak. Selain Indonesia, ada komunitas-komunitas lain juga memiliki aneka tradisi unik untuk menyambut dan merayakan Paskah. Berikut ini beberapa hal menarik yang bisa disampaikan berkenaan dengan bagaimana kelompok masyarakat tertentu merayakan Paskah:
Di beberapa kota bagian barat Finlandia, masyarakat setempat melakukan tradisi membakar api unggun pada Minggu Paskah. Dalam tradisi Nordik, api dipercaya sebagai penangkal penyihir yang terbang saat Jumat Agung dan Minggu Paskah.
Masyarakat Polandia merayakan Paskah dengan melakukan tradisi unik yang disebut Smingus-Dyngus. Pada Senin setelah Paskah, anak laki-laki akan melakukan tradisi ini dengan cara membasahi dan menyiram teman-teman mereka dengan berbagai cara, menggunakan pistol air mainan atau ember. Tradisi yang melegenda ini mengungkapkan bahwa ketika ada gadis yang berhasil tersiram, maka mereka dipercaya akan menikah di tahun ini. Siraman air tersebut melambangkan prosesi pembaptisan Pangeran Mieszko dari Polandia pada Senin Paskah tahun 966 SM.
Jika kebetulan berada di Perancis saat Paskah jangan lupa untuk membawa garpu. Karena pada setiap tahunnya, omelet raksasa akan disiapkan di alun-alun utama kota Haux, Paris. Omelet ini terbuat dar sekitar 4.500 butir telur ayam dan bisa disantap oleh sekitar 1.000 orang. Tradisi ini bermula ketika Napoleon dan tentaranya sedang bepergian melalui bagian selatan Perancis. Mereka kemudian berhenti di sebuah kota kecil dan menyantap omelet. Saking ia menyukai omelet, sejak itu Napoleon pun memerintahkan warga kota untuk mengumpulkan telur dan membuat omelet raksasa bagi pasukannya di hari berikutnya.
Di Corfu, Yunani, pada Sabtu suci, masyarakat akan melemparkan pot tanah liat serta gerabah lainnya keluar jendela mereka dan menghancurkannya di jalanan. Hal ini merupakan tradisi unik yang dilakukan masyarakat pulau Corfu, Yunani yang disebut Pot Throwing. Banyak orang yang mengatakan bahwa kebiasaan ini berasal dari Venesia, di mana masyarakatnya memiliki kebiasaan membuang semua benda lama mereka. Melalui tradisi Pot Throwing ini, masyarakat Yunani meyakini lemparan pot gerabah merupakan simbol penyambutan musim semi, dan melambangkan tanaman baru yang akan tumbuh dalam pot baru.
Paskah adalah waktu yang populer bagi masyarakat Norwegia untuk membaca novel kejahatan yang hanya keluar dalam rangkaian thriller Paskah yang disebut Passkekrimmen. Tradisi ini sudah dimulai sejak tahun 1923, ketika sebuah penerbit buku mempromosikan novel kriminal baru di halaman depan sebuah surat kabar. 
Di Italia dan Vatikan, pada Jumat Agung, Paus memperingati Crucis Via (Jalan Salib) di Colosseum. Sebuah salib besar dengan obor yang menyala akan menerangi langit. Doa Jalan Salib ini diucapkan dalam beberapa bahasa. Misa Paskah dirayakan saat Sabtu Suci dan Minggu Paskah. Pada waktu inilah ribuan pengunjung akan berkumpul di Lapangan Santo Petrus untuk menunggu berkat yang diberikan Paus dari balkon Gereja, yang dikenal sebagai "Urbi et Orbi" atau untuk kota dan dunia.
Jika ingin bepergian ke negara-negara Eropa timur seperti Ceko dan Slovakia saat Paskah, sebaiknya Anda sudah menyiapkan diri dengan kebiasaan berbeda di negara setempat. Termasuk di Ceko dan Slovakia dengan tradisi Senin Paskah. Di negara Eropa timur, terdapat tradisi di mana pria memukul perempuan dengan menggunakan cambuk buatan yang terbuat dari willow yang dihiasi pita. Menurut legenda, pohon willow adalah pohon pertama yang mekar di musim semi, sehingga cabang ini diharapkan bisa mentransfer vitalitas dan kesuburan bagi perempuan. Cambukan ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit.
Pada hari Kamis Putih di kota Verges, Spanyol, masyarakat sudah mulai melakukan berbagai perayaan Paskah dengan melakukan tarian tradisional Dansa De La Mort, atau tarian kematian. Untuk mengenang kembali kisah sengsara Yesus, semua orang menggunakan kostum kerangka dan berparade di jalan raya. Prosesi ini berakhir dengan kehadiran orang menggunakan kostum kerangka yang menyeramkan sambil membawa kotak abu. Tarian ini dimulai pada tengah malam dan berlanjut selama tiga jam sampai pagi hari.
Untuk merayakan Paska, selama lebih dari 130 tahun, The White House di Washington D.C., Amerika menyelenggarakan Roll Easter Egg di South Lawn. Kegiatan utamanya adanya menggulirkan sebuah telur rebus berwarna dengan menggunakan sebuah sendok saji yang besar. 

Sprinkling merupakan salah satu tradisi ala Hungaria yang paling populer saat Paskah. Tradisi ini dilakukan pada Senin Paskah, dan tradisi ini dikenal sebagai Ducking Monday. Para pria akan menyiram air wangi kepada anak perempuan. Penyiraman dan air ini dipercaya memiliki efek pembersihan, penyembuhan, kesuburan, dan rangsangan. Tradisi ini semakin bergeser, dengan mengganti penyiraman air dengan hanya menyemprotkan parfum, cologne atau air biasa.
Dalam Gereja Katolik, puncak perayaan Paska ditandai dengan rangkaian perayaan Pekan Suci. Pekan Suci dimulai dari perayaan Minggu Palma sampai Minggu Paska. Di antara Minggu Palma, ada perayaan Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci. Menjelang hari Minggu Paska, umat Katolik mengikuti perayaan Vigili Paska atau Tirakatan Menjelang Paska yang ditandai dengan perarakan Lilin Paska di gereja-gereja. Setelah hari Minggu Paska, Perayaan Paska dalam Gereja Katolik dilanjutkan selama 50 hari sampai Hari Raya Pentakosta. Selama Masa Paska, Gereja memiliki beberapa hari peringatan, antara lain: Minggu Kerahiman Ilahi (Minggu Paska II), Minggu Panggilan (Minggu Paska IV), Minggu Komunikasi Sosial Sedunia (Minggu Paska VI).

Sumber Pustaka:
http://www.katolisitas.org/apakah-arti-paskah-kematian-atau-kebangkitan/ Diakses 15 April 2016.
http://female.kompas.com/read/2012/04/07/10072044/tradisi.paskah.di.berbagai.negara. Diakses 15 April 2016.