Rabu, 31 Agustus 2016

Politik Orang Katolik: Belajar dari Soegijapranata dan Mangunwijaya

Orang Katolik berpolitik? Pertanyaan semacam ini tampaknya membuat orang Katolik sendiri merasa heran. Politik dalam pemahaman kebanyakan orang adalah tempat yang kotor, dipenuhi dengan nafsu, korupsi dan dosa. Tidak banyak orang Katolik yang tertarik untuk terjun dalam dunia politik karena sudah terlanjur memiliki image semacam itu. Lewat tulisan sederhana ini, ingin dibangkitkan kembali kesadaran bahwa setiap orang Katolik harus berpolitik. Politik macam apa dan harus bagaimana? Itulah pertanyaan yang perlu ditemukan jawabannya secara bersama-sama.

Mencari Makna Politik secara Katolik  
Kata politik sudah dikenal sejak zaman para filsuf Yunani. Para filsuf terkenal sudah memakai kata ini dalam ajaran-ajarannya. Makna kata politik yang paling sederhana dapat kita temukan dari pendapat Aristoteles. Menurut Aristoteles, manusia menurut kodrat merupakan zĂ´ion politikon: makhluk yang hidup dalam polis (lih. Prof. Dr. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani, Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius. 2002. Cetakan XVIII.). Polis adalah suatu negara kecil atau suatu negara kota sekaligus menunjuk pada rakyat yang hidup dalam negara kota itu. Bentuk kemasyarakatan baru ini timbul antara abad VIII dan VII SM. Polis merupakan pusat segala keaktifan ekonomi, sosial, politik, dan religius. Suatu polis mempunyai ciri-ciri berikut ini otonom (mempunyai hukum sendiri), swasembada dalam bidang ekonomi, dan mempunyai kemerdekaan politik. Ciri-ciri semacam itu tentu mengakibatkan beberapa hal. Pertama, pengembangan rasio antar warga dimungkinkan karena logos (ilmu) mendapat tempat yang istimewa di dalamnya. Kedua, dimungkinkan adanya keterbukaan antar warga. Urusan negara adalah urusan umum. Ketiga, muncul kesederajatan semua warga negara. Tiap-tiap warga polis mengambil bagian dalam urusan negara (lih. Prof. Dr. K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani, Dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius. 2002. Cetakan XVIII.).
Untuk menjadi sadar berpolitik, orang Katolik kiranya perlu belajar dari Y.B. Mangunwijaya. Ia adalah seorang Imam Diosesan untuk Keuskupan Agung Semarang. Ia diutus untuk belajar di Institut Teknologi Bandung dan Sekolah Tinggi Teknik di Aachen, Jerman sampai meraih gelar insinyur teknik bangunan. Selain menjadi arsitek dan pastor, ia pernah menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Seiring perjalanan waktu, orang-orang mengenalnya sebagai novelis, kolumnis berbagai surat kabar dan majalah, pekerja sosial, budayawan, dan tokoh besar. Perhatiannya terhadap banyak masalah di negeri Indonesia ini diungkapkan dalam banyak tulisan dan karyanya melalui lembaga pendidikan yang didirikannya, Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. 
Banyak orang mengenalnya sebagai seorang rohaniwan yang memiliki kepedulian terhadap nasion dan masyarakat Indonesia, terutama kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Berkenaan dengan politik yang harus dijalani oleh orang Katolik, Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan melalui artikel “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” (Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997):

“Memanglah ada dua paradigma dan pengARTIan dasar politik. Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek kekuasaan. Penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status-quo kekuasaan, dst., pendek kata segala yang menyangkut power atau might, kekuasaan (PK). Termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang nisbi lemah. Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam arti pertama ini. Sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: ‘politik itu kotor.’
Namun bagi orang terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis, ataupun sesuai koderat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer) yakni politik dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum. Jasmani rohani. Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, luas, misalnya sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Juga demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dsb. demi tata hidup bersama yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dsb. dst. Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral (dan iman). (PM).”

Y.B. Mangunwijaya mengungkapkan bahwa semua orang harus terlibat dalam politik dalam arti yang kedua. Semua orang diajak terlibat. Politik tidak hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Semua orang wajib terlibat dalam politik yang ditujukan untuk kesejahteraan umum. Orang Katolik termasuk yang dipanggil untuk berbuat sesuatu demi kesejahteraan bersama.

Kesadaran berpolitik orang Katolik juga perlu dipelajari dari Monsinyur Albertus Soegijapranata, S.J. atau lebih akrab disapa Monsinyur Soegija. Ia adalah seorang imam pribumi yang hidup dalam masa revolusi kemerdekaan. Ia diangkat sebagai pemimpin Gereja Katolik untuk wilayah Semarang pada tahun 1940. Sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik, ia mempunyai tugas untuk memelihara dan membina kehidupan rohani umatnya. Namun, situasi negara yang sedang bergolak saat itu menuntutnya untuk tidak hanya melakukan kegiatan bagi umatnya sendiri, tetapi juga memberikan sumbangan bagi kehidupan bersama masyarakat seluruhnya. Keterlibatannya dalam situasi negara ditunjukkan dengan kemauannya mengikuti gerak perjuangan bangsa Indonesia saat itu. Informasi lebih lengkap tentang keterlibatan Mgr. Soegijapranata dalam kehidupan masyarakat dapat dilihat dalam buku karangan G. Budi Subanar, S.J berjudul Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang, Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J. 13 Februari 1947-17 Agustus 1949. (Yogyakarta: Galang Press. 2003). Ia menjalin hubungan baik dengan para pemimpin negara, terutama Presiden Sukarno. Ia bahkan secara terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada negara Indonesia dengan memindahkan pusat penggembalaannya dari Semarang – yang saat itu menjadi daerah kekuasaan Belanda – ke Yogyakarta – yang saat itu menjadi daerah kekuasaan Republik Indonesia – mulai tanggal 17 Februari 1947 setelah beberapa hari berada di Jakarta untuk menyelesaikan beberapa urusan bersama Monsinyur Petrus Joannes Willekens, S.J. 
Monsinyur Soegija adalah seorang Gerejawan besar (lih. Y.B. Mangunwijaya. “Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. A. Soegijopranata” dalam A. Budi Susanto, S.J. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius. 1990). Ia mempunyai dua fokus perhatian saat itu. Pertama, ia mempunyai tugas menyelamatkan Gereja dan umat Katolik agar tidak porak poranda karena seluruh imam, biarawan, dan biarawati – yang saat itu masih banyak yang berkebangsaan Belanda – ditawan Jepang. Saat itu, umat belum berdikari. Menurut perhitungan normal, Gereja Katolik di Indonesia yang masih sangat muda itu seharusnya sudah hancur. Namun, berkat kepemimpinan dan gelora juang yang hanya dibantu beberapa imam praja yang masih ingusan dan belum berpengalaman, kaum awam malah bangkit dan menjadi dewasa (lih. Y.B. Mangunwijaya. “Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. A. Soegijopranata” dalam A. Budi Susanto, S.J. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius. 1990). Kedua, ia mempunyai perhatian pada pergolakan bangsa dan masyarakat Indonesia sesudah pemerintah Hindia Belanda lenyap. Ia  merasa  harus berusaha keras agar agama Katolik tidak dicap sebagai agama orang Barat, orang asing, dan seolah-olah orang-orang Katolik atau Kristen menjadi kaki tangan musuh, kaum penjajah. Orang Katolik harus membuktikan bahwa umat Katolik adalah patriot sejati justru karena Kekatolikannya (lih. Y.B. Mangunwijaya. “Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. A. Soegijopranata” dalam A. Budi Susanto, S.J. Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius. 1990). Ia adalah uskup yang terkenal dengan kata-katanya: 100 % Katolik dan 100 % Nasional. Kata-kata inilah yang digunakannya untuk menggugah kesadaran orang Katolik saat itu untuk sungguh menjadi warga Gereja Katolik sekaligus warga negara Indonesia yang terlibat secara penuh dalam kehidupan menggereja, memasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia adalah uskup yang berpolitik. Seruan agar orang Katolik terlibat dalam politik diungkapkannya pada tahun 1954 melalui surat gembala - surat dari pemimpin Gereja setempat  kepada umat - yang ditulisnya bersama para uskup di Pulau Jawa. Cinta kepada tanah air tidak cukup diwujudkan dengan mengibarkan bendera pada hari besar nasional. Cinta kepada tanah air berarti berbakti untuk kemakmuran, keteraturan, dan kesejahteraan tanah airnya (bdk. Mgr. A.E.J. Albers, O.C., Mgr. A. Soegijapranata, S.J., Mgr. W. Schoemaker, M.S.C., Mgr. P.M. Arntz, O.S.C., Mgr. A. Djajasepoetra, S.J., Mgr. J.A.M. Klooster, C.M., Mgr. N. Geise, O.F.M. “Nawala Para Rama Kangdjeng” dalam PRABA No. 16. Th. VI. 20 Agustus 1954). Monsinyur Soegija mengajak seluruh umat Katolik untuk terlibat dalam hidup bermasyarakat. 

Dasar Keterlibatan Politik bagi Orang Katolik
Setiap tindakan, apapun tindakan itu, perlu dasar yang jelas, termasuk tindakan politik. Mangunwijaya mengatakan bahwa keterlibatan setiap orang dalam hal politik didasarkan pada pengajaran agamanya masing-masing. Bagi orang Katolik, keterlibatan itu didasarkan pada ajaran Yesus. Ia menulis melalui artikel “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” (Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997):

“Dan memang Nabi Isa mengajar para penganutnya demikian. Jangan pakai pedang, tetapi lewat kebenaran, iman, harapan, cintakasih. Karena yang didambakan masyakarat umum yang normal sejati, apalagi yang berkeTuhanan, berPancasila, akhirnya dan akhirnya justru inilah, tata negara dan masyarakat yang berpijak pada moralitas dan etika fair play (serta iman) dalam arti luas di atas.”

Pendapat Mangunwijaya ini dengan jelas didasarkan pada kisah Yesus dalam Alkitab. Dalam Kitab Suci, dinyatakan bagaimana Yesus melakukan karyaNya demi mewartakan Kerajaan Allah (Luk 4:18-20). Karya Yesus itu didasarkan pada cinta kasih (Mat 22:34-40. par.), tindakan tanpa kekerasan (Mat 5:38-44), dan pengampunan (Mat 18:21-35). Nafas cintakasih dan anti kekerasan menjadi roh dari keterlibatan politik orang Katolik dalam masyarakat supaya orang mampu untuk hidup dalam lingkungan sekitarnya demi kesejahteraan bersama.  
Monsinyur Soegija menyatakan bahwa ada dua hal yang menjadi dasar kewajiban keterlibatan orang Katolik dalam masyarakat, yaitu kewajiban kerasulan yang berasal dari keadaan hidup kita dan kewajiban kerasulan yang berasal dari sifat sosial yang ada pada kita. Ia menulis dalam Surat Gembala Prapaska tertanggal 12 Februari 1952.:

“Sedjak kita dipermandikan menjadi Katholik dan mengatur hidup setjara Katholik, berkat kemurahan dan kerelaan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia, sedjahtera, dan sentosa dalam kejakinan kita... maka dengan sendirinja kita merasa terdorong untuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun pula ambil bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjajaan itu... Sebagai makluk jang bersifat sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan pertolongan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”

Kegiatan keterlibatan dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kondisi sebagai orang Katolik yang hidup di tengah masyarakat. Monsinyur Soegija tampaknya sejak awal sadar bahwa orang-orang Katolik tidak dapat lepas dari masyarakat setempat sehingga peran orang Katolik dalam masyarakat sangatlah penting. Pendapat Monsinyur Soegija ini secara ringkat menyiratkan ajaran yang disampaikan oleh penulis Surat Pertama Rasul Petrus yang menasehatkan orang-orang Kristiani untuk takut kepada Allah, tunduk kepada pemerintah, berbuat sebaik-baiknya dalam masyarakat, serta menghormati semua orang sebagai wujud nyata kemerdekaan yang dialaminya (1 Ptr 2:13-17). Selain itu, ajaran Monsinyur Soegija serasa menyuarakan apa yang ditulis oleh Rasul Paulus yang menasehatkan agar orang Kristiani saling memberikan pelayanan atas dasar kemerdekaan yang telah dia terima (Gal 5:13). 
Mangunwijaya dan Soegijapranata telah memberikan dasar mengapa orang Katolik harus terlibat dalam kehidupan masyarakat. Mereka berdua telah kembali menyadarkan kita, orang Katolik untuk berlaku adil baik kepada setiap pihak seperti yang disampaikan Yesus ketika ditanya apakah boleh membayar pajak kepada kaisar atau tidak. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang ditujukan untuk menjebak-Nya. Namun dengan lihai, Yesus memberi jawaban untuk berlaku adil kepada setiap pihak dengan mengatakan, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kami berikan kepada Allah” (Mat 22:21).

Menjadi Orang Benar dalam Masyarakat Berdasar Hati Nurani
Panggilan politik orang Katolik dapat dirumuskan sebagai berikut: menjadi orang benar berdasar hati nurani. Y.B. Mangunwijaya menyatakan bahwa hati nurani harus diwujudkan melalui keberpihakan kepada nilai-nilai universal, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil dan solider terhadap yang menderita... demi perdamaian dunia, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.” Hati nurani sebenarnya bukan hanya sumber dan dasar tindakan politik manusia saja, tetapi harus menjadi sesuatu yang integral dalam diri manusia dan menjadi sumber seluruh tindakan manusia. Hati nurani merupakan unsur yang perlu dimekarkan dalam kehidupan. Hati nurani harus dimasukkan sebagai salah satu daya yang harus dimekarkan dalam pendidikan. Ada lima macam daya yang harus dikembangkan, yaitu daya kognitif atau daya nalar; cita rasa dan kemampuan afektif yaitu rasa, intusisi dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan; kemampuan untuk saling berkomunikasi, bergaul, bekerjasama, teratur, tenggang rasa; kesehatan raga; dan hati nurani, sikap atau semangat tolong menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih. Pemekaran hati nurani ini akan membuahkan kehidupan yang subur dan berbuah. Pendidikan hati nurani itu dapat dilakukan melalui komunikasi iman – bukan agama – dalam kehidupan, dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka terhadap segala yang baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau lambat belajar (lih. A. Supratiknya dan A. Atmadi. “Romo Mangun sebagai Guru” dalam Y.B. Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999).
Pemekaran hati nurani ini menjadi sebuah modal untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat. Hati nurani yang mampu mempertimbangkan baik buruk, bersikap adil, suka menolong menjadi sebuah dasar untuk bertindak dalam masyarakat. Yang menjadi patokan dalam bertindak bukanlah sikap suka atau tidak suka, tetapi unsur-unsur keadilan, kemanusiaan, perdamaian dan kemerdekaan: apakah tindakan yang aku buat membantuku dan orang lain untuk mewujudkan nilai-nilai itu. Hati nurani yang sudah mekar akan membuat orang Katolik dapat mengusahakan diri untuk menjadi orang benar dalam masyarakat. Monsinyur Soegija pernah menyatakan bahwa orang Katolik memang bukan bagian yang lebih besar (pars major) tetapi orang Katolik harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior). Dengan melakukan kegiatan agama, kesusilaan, kejujuran, kesetiaan pada perjanjian, keadilan, cinta para sesama, cinta pada pekerjaan, menghormati pembesar, taat pada peraturan dan undang-undang, orang Katolik diajak untuk memberikan kesaksian yang kuat dalam hidup bermasyarakat. 

Penutup
Kehidupan Soegijapranata dan Mangunwijaya menun-jukkan bagaimana mereka berpolitik dalam arti sesungguhnya, terlibat dalam masyarakat demi kesejahteraan bersama. Mereka berdua telah menunjukkan kesadaran-nya untuk menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan Gereja Katolik Indo-nesia. Kita melihat bahwa kehidupannya sebagai orang Katolik telah me-nyumbangkan sesuatu ke-pada bangsa dan negara Indonesia. Melalui kiprah dua tokoh tersebut, kita diingatkan kembali kepada pertanyaan Monsinyur Soegija yang dituliskan dalam Surat Gembala berjudul “Alit Nanging Mentes” (PRABA, 5 Djanuwari 1955): apakah Gereja Katolik beserta umatnya sungguh-sungguh mempunyai manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia? Semoga kita semua tergerak berbuat dan menyumbangkan sesuatu bagi kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar