Jumat, 25 Desember 2020

Gua (Kandang) Natal, Warisan Tradisi Iman untuk Diteruskan

Foto yang disertakan dalam posting ini diambil tahun berapa saya lupa, tetapi foto ini menjadi bermakna sekarang karena foto ini menampakkan tradisi iman yang diwariskan oleh keluarga saya. Tradisi iman itu berkenaan dengan Natal, yaitu Gua atau Kandang Natal. Mengapa Gua atau Kandang Natal ini menarik bagi saya? Tradisi ini merupakan salah satu tradisi Katolik yang perlu dihayati dan diwariskan oleh keluarga-keluarga Katolik.

Setahun lalu, menjelang Natal, Paus Fransiskus menulis Surat Apostolik tentang makna dan pentingnya gambaran kelahiran Kristus atau yang sering kita kenal dengan Gua atau Kandang Natal. Dia menandatangani surat itu dalam kunjungannya ke kota Greccio, Italia, pada Minggu, 1 Desember 2019. Greccio adalah desa pegunungan tempat Santo Fransiskus Assisi menciptakan palungan dan Gua atau Kandang Natal pertama pada tahun 1223 untuk memperingati kelahiran Yesus. Paus Fransiskus kembali ke Vatikan untuk merilis Surat Apostolik yang diberi judul Admirabile Signum (Tanda yang Menakjubkan). 

Judul berbahasa Latin dari surat itu merujuk pada “gambar yang mempesona” yang ditampakkan oleh gambaran Natal yang “tidak pernah berhenti membangkitkan keheranan dan ketakjuban.” Lebih lanjut, Paus menulis, “Penggambaran kelahiran Yesus sendiri merupakan pewartaan yang sederhana dan menyenangkan atas misteri Inkarnasi Anak Allah.” Paus Fransiskus mengatakan bahwa “gambaran kelahiran Yesus itu seperti sebuah Injil hidup yang muncul dari halaman-halaman Kitab Suci.” Merenungkan kisah Natal itu bak memulai perjalanan rohani karena setiap orang beriman “ditarik oleh kerendahan hati Allah yang menjadi manusia untuk menjumpai setiap orang.” Selanjutnya, karena begitu besar kasih-Nya bagi kita, Paus menulis, “Ia menjadi salah satu dari kita, sehingga pada gilirannya kita menjadi satu dengan-Nya.” Paus berharap surat ini akan mendorong tradisi keluarga dalam mempersiapkan gambaran kelahiran Kristus, juga di tempat-tempat lain, antara lain “di tempat kerja, di sekolah, rumah sakit, penjara dan alun-alun kota.” Sambil memuji imajinasi dan kreativitas yang menjadi hasil karya-karya indah sederhana ini, Paus Fransiskus berharap agar kebiasaan ini tidak akan pernah hilang “dan bahwa, di mana pun kebiasaan itu telah tidak digunakan, hendaknya dapat ditemukan kembali dan dihidupkan kembali.”

Paus Fransiskus mengingat asal usul gua Natal seperti yang disebut dalam Injil, “Datang ke dunia ini, Anak Allah dibaringkan di tempat binatang diberi makan. Jerami menjadi alas tidur pertama dari Dia yang akan menyatakan diri-Nya sebagai ‘roti yang telah turun dari surga’. Gambaran kelahiran Yesus membangkitkan sejumlah misteri hidup Yesus dan mendekatkan misteri itu kepada kehidupan kita sehari-hari.” Paus Fransiskus membawa kita kembali ke kota Greccio, Italia, yang dikunjungi Santo Fransiskus pada tahun 1223. Gua-gua kecil yang dilihatnya di sana mengingatkannya akan wilayah pedesaan Betlehem. “Pada 25 Desember para biarawan dan penduduk setempat datang bersama-sama, membawa bunga dan obor. Ketika Fransiskus tiba, dia menemukan palungan penuh jerami, seekor lembu dan seekor keledai,” demikian tulis Paus. Seorang imam merayakan Ekaristi di atas palungan,  dengan “menunjukkan ikatan antara Inkarnasi Anak Allah dan Ekaristi.” 

Paus mengatakan bahwa tradisi Gua atau Kandang Natal ini berawal dengan sangat sederhana, “Beginilah bagaimana tradisi kita dimulai: bersama semua orang berkumpul dengan gembira di sekitar gua, tanpa jarak antara peristiwa asli dan mereka yang berbagi dalam misterinya... Dengan kesederhanaan tanda itu, Santo Fransiskus melakukan karya penginjilan yang hebat". Ajarannya berlanjut hingga hari ini “untuk menawarkan cara yang sederhana namun autentik untuk melukiskan keindahan iman kita.” Selain itu, Paus Fransiskus menjelaskan bahwa gua Natal sangat menyentuh kita karena itu menunjukkan kasih Allah yang lembut. "Gambaran kelahiran telah mengundang kita untuk ‘merasakan’ dan ‘menyentuh’ kemiskinan yang ditanggung Anak Allah sendiri dalam Inkarnasi...Gambaran itu memanggil kita untuk menjumpai-Nya dan melayani-Nya dengan menunjukkan belas kasihan kepada saudara-saudari kita yang sangat membutuhkan.”

Dalam surat itu, Paus merefleksikan makna di balik unsur-unsur yang membentuk gambaran kelahiran Yesus. Dia mulai dengan latar belakang “langit berbintang yang diselimuti kegelapan dan kesunyian malam.” Kita berpikir ketika kita telah mengalami kegelapan malam, katanya, namun ternyata, Tuhan tidak meninggalkan kita. “Kedekatan-Nya membawa terang di mana ada kegelapan dan menunjukkan jalan kepada mereka yang tinggal dalam bayang-bayang penderitaan.” Paus kemudian menulis tentang panorama alam yang sering berupa reruntuhan atau bangunan kuno. Dia menjelaskan bagaimana reruntuhan ini adalah “tanda nyata dari runtuhnya kemanusiaan, dari segala sesuatu yang pasti mengalami kehancuran, kerusakan, dan kekecewaan.” Latar belakang yang indah ini menyampaikan pada kita bahwa Yesus telah datang “untuk menyembuhkan dan membangun kembali, untuk memulihkan dunia dan hidup kita pada kemuliaan aslinya." Beralih ke para gembala, Paus Fransiskus menulis bahwa, “tidak seperti banyak orang lain, yang sibuk dengan banyak hal, para gembala menjadi yang pertama melihat hal yang paling penting dari semuanya: karunia keselamatan. Orang yang rendah hati dan miskinlah yang menyambut peristiwa Inkarnasi.” Para gembala menanggapi Allah “yang datang untuk menjumpai kita dalam Bayi Yesus dengan pergi menemui Dia dengan kasih, rasa syukur dan kekaguman.” Kehadiran orang miskin dan kaum, menurut Paus, adalah pengingat bahwa “Allah menjadi manusia demi mereka yang paling membutuhkan kasih-Nya dan yang meminta-Nya mendekat kepada mereka.” Dari palungan, “Yesus mewartakan, dengan cara yang lemah lembut namun kuat, perlunya berbagi dengan orang-orang miskin sebagai jalan menuju dunia yang lebih manusiawi dan bersaudara di mana tidak ada yang dikecualikan atau dipinggirkan.” Lalu ada juga figur-figur yang tidak memiliki hubungan jelas dengan kisah Injil. Paus Fransiskus menulis, “dari gembala ke pandai besi, dari tukang roti ke para musisi, dari perempuan yang membawa kendi air kepada anak-anak yang bermain: semua ini berbicara tentang kekudusan sehari-hari, kegembiraan melakukan hal-hal biasa dengan cara yang luar biasa.” Paus kemudian berfokus pada tokoh-tokoh Maria dan Yusuf. “Maria adalah seorang ibu yang merenungkan Anaknya dan menunjukkan-Nya kepada mereka yang datang mengunjungi-Nya,” tulisnya. “Di dalam dirinya, kita melihat Bunda Allah yang tidak menyimpan Anaknya hanya bagi dirinya sendiri, tetapi mengundang semua orang untuk mematuhi Sabda-Nya dan melaksanakannya.” Santo Yusuf  berdiri di sampingnya, “melindungi Anak dan ibu-Nya.” Yusuf adalah penjaga, orang yang adil, yang “mempercayakan dirinya pada kehendak Allah, dan melaksanakannya.” Refleksi mendalam juga disampaikan Paus saat berbicara mengenai bayi Yesus. “Pada waktu kita menempatkan patung Bayi Yesus di palungan, adegan Natal tiba-tiba menjadi hidup... Tampaknya mustahil, tetapi itu benar: di dalam Yesus, Allah adalah seorang anak, dan dengan cara ini Dia ingin menyatakan keagungan kasih-Nya: dengan tersenyum dan mengulurkan tangan-Nya kepada semua orang.” Natal memungkinkan kita untuk melihat dan menyentuh peristiwa unik dan tak tertandingi ini yang mengubah arah sejarah, “tetapi itu juga membuat kita merenungkan bagaimana hidup kita menjadi bagian dari hidup Allah sendiri.” Ketika Hari Raya Epifani mendekat, pada gambaran Gua atau Kandang Natal ditambahkan Tiga Raja. Paus menulis, "Kehadiran mereka mengingatkan kita akan tanggung jawab setiap orang Kristiani untuk menyebarkan Injil... Orang Majus mengajarkan kepada kita bahwa orang-orang dapat datang kepada Kristus melalui jalan yang sangat panjang,” tetapi ketika kembali ke negara mereka, mereka menceritakan kepada orang lain tentang perjumpaan yang menakjubkan ini dengan Mesias, “sehingga mulailah penyebaran Injil di antara bangsa-bangsa.”

Gambaran Gua atau Kandang Natal ini merupakan warisan iman yang sudah diajarkan oleh orangtua saya kepada saya. Beberapa tahun setelah membangun keluarga, saya mulai memasang Gua atau Kandang Natal ini di rumah saya... Inilah gambaran Gua atau Kandang Natal yang pertama kali saya pasang di rumah saya... Gambaran ini selalu mengingatkan saya akan tradisi yang diwariskan oleh orangtua saya setiap Natal tiba. Sekarang, sudah menjadi kewajiban saya bersama istri saya - sebagai orangtua untuk meneruskan warisan tradisi iman ini kepada anak saya. Inilah warisan tradisi iman yang harus diteruskan. Paus Fransiskus meneguhkan hal ini, Kenangan-kenangan pada saat berdiri di depan gua Natal saat kita masih kanak-kanak mengingatkan kita “tentang kewajiban kita untuk membagikan pengalaman sukacita yang sama kepada anak-anak dan cucu kita.”  Tidak masalah bagaimana gua Natal itu disusun, “yang penting adalah bahwa gambaran kelahiran Yesus itu berbicara kepada hidup kita.” Paus Fransiskus mengakhiri surat itu dengan mengatakan, “Gua Natal adalah bagian dari proses yang berharga namun menuntut untuk meneruskan iman. Dimulai sejak masa kanak-kanak, dan pada setiap tahap kehidupan kita, hal itu mengajarkan kita untuk merenungkan Yesus, untuk mengalami kasih Allah bagi kita, untuk merasakan dan percaya bahwa Allah beserta kita dan bahwa kita bersama Dia.”

Terima kasih sudah mau menyimak kisah tentang Gua atau Kandang Natal ini... Semoga kita semakin boleh menghayati hidup sebagai orang Katolik dengan berbagai macam tradisi iman yang kita miliki...

Kamis, 24 Desember 2020

Catatan Penjaga Podjok: Pembelajaran Daring dan Pembinaan Karakter

"Adakah hubungan antara pembelajaran daring dan pembinaan karakter?" Sudah lama sebenarnya saya mencoba menelisik tema ini. Ketika menyelami proses pembelajaran daring ini, saya bertanya apakah ada peluang untuk membina karakter selama proses pembelajaran daring?

Saya mengampu mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Menurut mereka yang ahli dalam bidang pendidikan, pendidikan agama itu erat kaitannya dengan pendidikan karakter. T. Ramli (2003) pernah mengatakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. 

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) - juga dari agama - yang disebut sebagai golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikologi, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Inilah yang menjadi pembicaraan seputar pendidikan karakter...

Penanaman karakter ini kiranya tidak akan menjadi masalah jika pendidikan terjadi secara langsung - dalam arti guru dan murid berjumpa dalam satu lokalitas yang sama, baik tempat maupun waktu. Nah, pandemi Covid-19 ini membuat batasan dimana orang-orang tidak mudah berjumpa, apalagi membuat kerumunan dalam jumlah besar seperti sekolah. Kalau sudah begini, apakah pendidikan karakter lalu tidak bisa dilakukan? Nah, mari kita ngobrol sebentar tentang hal ini...

Sebagai pengampu mata pelajaran yang "berbau" moral, menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk menyelipkan pendidikan karakter dalam pembelajaran daring. Ada doktrin yang selama ini berlaku tentang pendidikan karakter yang sulit terbantahkan, yaitu bahwa "pendidikan karakter itu hanya bisa terjadi melalui keteladanan..." Doktrin ini membuat saya sempat berpikir bahwa pendidikan karakter tidak mungkin terjadi dalam pembelajaran daring karena pembelajaran daring tidak mengenal perjumpaan secara langsung. Namun, saya tidak menyerah begitu saja. Masih saja pikiran saya nekad berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk menyelipkan pendidikan karakter dalam pembelajaran daring. Kementerian Pendidikan Nasional sejak tahun 2011 telah memperkenalkan 18 nilai pendidikan karakter yang meliputi nilai Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat atau Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung Jawab. Kedelapanbelas nilai ini ditanamkan dengan cara mengitegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam seluruh kegiatan di sekolah. Sebagai bagian dari kegiatan sekolah, pembelajaran daring pun perlu mengintegrasikan nilai-nilai ini. 

Dalam perjalanan waktu, saya menemukan beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menyelipkan pendidikan karakter dalam pembelajaran daring mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Terus terang, saya tidak bisa menanamkan semua nilai dalam pembelajaran daring, namun ada beberapa nilai yang bisa diserempetkan sedikit untuk dihayati. Ini beberapa contohnya...

Disiplin. Bagaimana saya mencoba mengajak siswa-siswi saya untuk menghayati nilai ini? Saya memakai Daftar Hadir Online untuk menanamkan nilai ini. Untung saya mengajar di SMK. SMK katanya adalah terminal bagi mereka yang ingin langsung merasakan dunia kerja. Nah, Daftar Hadir Online ini saya gunakan untuk melatih siswa-siswi saya menghayati nilai disiplin. Besok, ketika bekerja, salah satu hal yang paling menentukan adalah kehadiran. Dalam pembelajaran daring, saya melatih murid-murid saya untuk disiplin dalam kehadiran. Mereka saya ajak untuk mengisi Daftar Hadir Online tepat waktu. Link Daftar Hadir Online pun saya bagikan saat jam pembelajaran berlangsung agar mereka terkondisikan untuk mengisi tepat waktu. Sejak awal tahun pelajaran, saya sudah mengatakan pada mereka bahwa nilai kehadiran meliputi 75 % dari seluruh proses. Artinya, dengan mengisi Daftar Hadir Online tepat waktu, mereka secara otomatis sudah meraih 75 % dari nilai mereka. Inilah penghargaan saya terhadap siswa-siswi saya yang disiplin...
Mandiri. Jelas bahwa pembelajaran daring sangat memerlukan sikap mandiri. Dalam proses pembelajaran jarak jauh, saya cenderung memberikan kebebasan kepada siswa-siswi saya. Kebanyakan, tugas saya berikan dalam jangka waktu tertentu, bisa seminggu atau dua minggu. Bahkan, ulangan, kalau bentuknya esai, saya juga akan memberikan waktu paling tidak lima hari. Saya berpikir bahwa kebebasan akan membuat seseorang menjadi lebih mandiri. Seorang kawan pernah menulis, "Pada akhirnya, dalam setiap model pembelajaran jarak jauh, semakin banyak hal tergantung pada diri kita sendiri: apakah mau mendengarkan penjelasan dosen atau mengabaikannya. Apakah kita merasa butuh untuk mengerti materi itu atau tidak. Inilah kelemahan yang sekaligus menjadi kekuatan kelas daring. Kekuatan, karena ia memberi tantangan kepada kita untuk berani menentukan prioritas: mana yang penting, mana yang tidak. Kemampuan memilah seperti ini, menurut saya, merupakan keterampilan yang bakal semakin relevan di zaman banjir informasi ini." (Tri Joko Her Riadi. "Sebuah Surat Terbuka Tentang Kelas Kita, Pandemi, Harari, Orang-orang ‘Komunis’, dan Hal-hal Lain yang Akan Datang"). Dengan kebebasan yang ada selama pembelajaran daring, sebenarnya secara tidak langsung saya sudah menanamkan nilai kemandirian.
Jujur. Nilai kejujuran selama pembelajaran daring saya bangun dengan cara memberikan kesempatan kepada seluruh siswa-siswi saya untuk menggunakan berbagai alat dan media yang mereka miliki dalam mengerjakan ulangan. Setiap ulangan, bahkan sampai Penilaian Akhir Semester, selalu menggunakan metode pengerjaan soal open book. Saya tahu diri bahwa saya tidak bisa mengendalikan siswa-siswi saya sepenuhnya. Oleh karena itu, daripada mereka curi-curi kesempatan untuk berbuat curang, mending sekalian saja kanal saya buka agar mereka bisa berlaku jujur dalam mengerjakan soal. Hanya saja memang harus agak berpikir bagaimana membuat soal yang tingkat kesulitannya tidak hanya hapalan tetapi harus sampai kepada analisis ☺ 
Kerja Keras. Selama pembelajaran daring, saya mengajak siswa-siswi saya untuk bekerja keras. Ada sekitar 5 sampai 7 tugas yang harus dikumpulkan selama semester yang lalu. Batas waktu pengerjaan tugas ini bervariasi, antara satu sampai dua minggu. Jika tidak mau terbebani dan menumpuk di akhir, setiap siswa harus secara rutin mengerjakan tugas mereka. Ketekunan mengerjakan tugas dan mengumpulkan tepat waktu menjadi kunci. Bukankah untuk tekun dan tepat waktu butuh kerja keras bagi mereka yang tidak terbiasa?
Rasa Ingin Tahu dan Gemar Membaca. Bagaimana saya berusaha membangkitkan rasa ingin tahu dan gemar membaca pada siswa-siswi saya? Selama pembelajaran daring, sudah saya sampaikan di postingan sebelumnya bahwa saya menggunakan Google Sites. Inilah media yang saya pakai untuk menanamkan nilai tersebut. Dengan materi yang saya posting di sana, siswa-siswi yang ingin maju saya paksa untuk membaca teks. Membaca teks panjang bagi anak sekarang memang tidak mudah. Berdasarkan laporan PISA yang baru rilis, Selasa 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara. Posisi Indonesia yang berada di ekor peringkat ini menunjukkan bahwa rasa ingin tahu dan gemar membaca masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi dunia pendidikan. 
Komunikatif. Nilai ini sebenarnya sangat mungkin ditanamkan dalam pembelajaran daring karena komunikasi dalam pembelajaran daring terjadi secara personal. Saya mencoba membangun penghayatan akan nilai ini melalui Catatan Pembelajaran yang saya buat pada tengah semester dan akhir semester. Catatan Pembelajaran merupakan lembar berisi data pembelajaran siswa mulai dari kehadiran, tugas, ulangan, dan saran masukan dari guru. Kehadiran Catatan Pembelajaran ini sangat istimewa bagi saya karena melalui catatan ini, saya semakin bisa melihat siswa-siswi saya secara unik, personal, dan tidak lagi secara klasikal. Dengan memberi Catatan Pembelajaran, saya berharap agar murid-murid saya bisa semakin maju dan berkembang dalam menghayati karakter baik yang ditawarkan.
Tanggung Jawab. Nilai ini bagi saya menjadi muara dari pendidikan karakter. Tanggung jawab merupakan kemampuan untuk menerima segala konsekuensi atas segala tindakan yang telah diputuskan dan dilakukan. Tanggung jawab merupakan konsekuensi sekaligus kontrol dari kebebasan. Bagi saya, nilai ini yang menjadi tujuan akhir pendidikan karakter, yaitu membentuk manusia yang bertanggungjawab. Segala macam nilai yang ditanamkan itu akhirnya akan membangun rasa tanggung jawab. Tanggung jawab ini merupakan tanda bahwa seorang manusia sudah beranjak menjadi dewasa. Dalam diri murid saya, nilai tanggung jawab ini saya lihat melalui proses dan tidak instan. Saya sendiri meyakini bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. 

Saya menyadari bahwa perjuangan untuk membina karakter tidak akan bisa langsung dirasakan manfaatnya. Sama seperti pendidikan, karakter tidak akan langsung terlihat hasilnya. Selama pembelajaran daring, saya sendiri cenderung mencoba menghayati apa yang dikatakan oleh Pak Nadiem Makarim dengan istilah merdeka belajar. Mengapa begitu? Saya sadar bahwa saya tidak bisa sepenuhnya mengontrol dan mengendalikan siswa-siswi saya. Kendali saya hanya sebatas jam pembelajaran yang diberikan kepada saya. Oleh karena itu, saya memanfaatkan jam pembelajaran itu sebagai wahana untuk menanamkan karakter baik kepada siswa-siswi saya. Di luar itu, saya hanya bisa menghimbau. Satu yang menjadi pegangan saya, yaitu sabda Yesus yang mengatakan, "Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka" (Mat 7:17-20). Inilah yang saya nasehatkan kepada siswa-siswi saya di akhir semester gasal kemarin. "Ibarat mengelola tanaman, ini adalah masa panen. Hasil panen merupakan cerminan bagaimana selama ini kita mengelola dan merawat tanaman kita. Oleh karena itu, apa yang kalian dapatkan ini merupakan cerminan dari usaha kalian. Fungsi saya adalah membantu kalian merawat tanaman yang dipercayakan kepada kalian. Semoga ke depan kalian semakin bisa mengusahakan tanaman yang dipercayakan kepada kalian dengan semakin baik." Terima kasih sudah mau berproses menghidupi nilai-nilai karakter selama pembelajaran daring... Berkah Dalem.