Tak
terasa bulan April sudah hampir kelar. Baru ingat kalau bulan ini belum sempat
menulis catatan kegiatan Ruang Podjok. Bulan ini, kegiatan dipenuhi dengan ujub
khusus, yaitu mengantar teman-teman kelas XII untuk memasuki masa penting
menghadapi Ujian Nasional. Tahun ini, Ujian Nasional dilaksanakan pada tanggal
14-16 April. Kebetulan, Ujian Nasional tahun ini berada dalam masa istimewa
yang dirayakan oleh Gereja, yaitu Pekan Suci. Pekan Suci merupakan masa yang
digunakan Gereja untuk mengenangkan puncak karya Yesus melalui sengsara, wafat,
dan bangkit. Berarti, teman-teman kelas XII diajak untuk menyatukan perjuangan
mereka dengan perjuangan Yesus sendiri. Nah, untuk mengantar perjuangan
teman-teman kelas XII, Ruang Podjok mengadakan dua kegiatan, yaitu Perayaan Ekaristi
dan Doa Bersama sebelum Ujian Nasional. Kegiatan Ekaristi merupakan agenda
khusus Ruang Podjok sedangkan Doa Bersama adalah agenda bersama dengan
Kerohanian Kristen. Dua kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 4 dan 10
Maret 2014.
Konsili
Vatikan II menyatakan bahwa Ekaristi merupakan puncak dan sumber kehidupan
Gereja. Dengan keyakinan itu, Penjaga Podjok mengajak seluruh anggota Ruang
Podjok untuk merayakan Ekaristi bersama. Ekaristi ini dilaksanakan pada hari
Jumat Pertama sekaligus menjadi pengantar bagi teman-teman kelas XII untuk
menyiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Ekaristi ini juga merupakan Ekaristi
pertama yang dilakukan di Ruang Podjok. Menurut kabar yang diterima oleh
Penjaga Podjok, belum pernah ada Ekaristi sebelumnya. Ya... semoga ini menjadi
awal yang baik bagi semuanya. Ekaristi kali ini dilayani oleh Romo Andrianus
Sulistyono, MSF dari Paroki Santo Petrus Purwosari. Sebenarnya, yang diminta
pertama untuk memimpin Ekaristi adalah pastor dari Paroki San Inigo
Dirjodipuran sebagai paroki yang mereksa pastoral bagi warga Katolik di SMK
Negeri 3. Namun, karena ada kegiatan yang bersamaan, akhirnya Penjaga Podjok
harus lari mencari pastor lain yang berkenan untuk melayani. Syukurlah Romo
Andre berkenan memberikan pelayanan siang itu. Matur nuwun Romo...
Dalam Ekaristi tersebut, sengaja yang dipilih menjadi petugas adalah teman-teman kelas XII. Merekalah yang didoakan dan didukung. Oleh karena itu, mereka juga yang harus terlibat lebih banyak. Bacaan pertama dibacakan oleh Dea Putra Pratama dan doa umat dibacakan oleh Dewi Mutiarasani. Dalam homilinya, Romo Andre mengajak semua pengikut Ekaristi untuk mengembangkan tiga kemampuan intelektual, yaitu Intelectual Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritua Quotient. Jika tiga kemampuan ini dikembangkan secara maksimal, seorang pribadi adakan memiliki keseimbangan perkembangan hidup. Keseimbangan hidup itu diperlukan untuk menjadi berhasil. Namun, Romo Andre juga mengingatkan bahwa pengembangan kepribadian itu tidak begitu mudah karena ada banyak rintangan. Ini merupakan tantangan yang harus dilewati dan diperjuangkan. Hal ini juga dinyatakan dalam sabda yang dibacakan hari itu dimana orang-orang benar selalu dilawan karena dia menjadi gangguan bagi orang-orang jahat (Keb 2:12). Siswa-siswi kelas XII pun diajak untuk selalu berjuang menjadi orang benar dengan belajar giat dan jujur dalam ujian. Perayaan Ekaristi siang tersebut menjadi istimewa karena Romo Andre menerimakan komuni kepada para pengikut Ekaristi dalam dua rupa, yaitu roti dan anggur. Sekali lagi terima kasih karena Ekaristi pertama yang sangat mengesankan.
Selang enam hari kemudian, acara yang kedua
dilaksanakan. Acara Doa Bersama ini memang sudah diagendakan oleh sekolah
beberapa bulan sebelumnya. Doa Bersama ini diikuti oleh siswa-siswi Katolik dan
siswa-siswi Kristen.
Dalam kesempatan itu, Penjaga Podjok dipercaya untuk memberikan sedikit permenungan. Sabda yang direnungkan hari itu diambil dari Surat kepada Orang Ibrani (Ibr 12:3-12). Dalam renungan tersebut, para siswa diajak untuk bertekun dalam iman. Pengalaman menghadapi ujian kali ini bukanlah pengalaman yang pertama kali. Tentu sudah banyak yang dipelajari dalam menghadapi pengalaman ujian, baik dalam persiapan maupun pelaksanaan ujian. Surat kepada Orang Ibrani membawa pada pemahaman bahwa ujian dapat disebut sebagai saat Tuhan mendidik untuk berjuang lebih keras dan untuk mengusahakan diri menjadi lebih baik. Saat ujian menjadi saat seseorang untuk menguji diri sendiri sampai di mana kemampuan seseorang dalam mengelola waktu, mengasah ketrampilan, dan mengembangkan kepandaian yang telah diberikan Tuhan. Waktu ujian memang bukanlah waktu yang menyenangkan, tetapi waktu ujian menjadi saat bagi kita untuk mengembangkan diri menjadi yang lebih baik. Ujian – pada saat dijalani – memang pahit, tetapi – setelah dijalani –rasa manisnya mulai terasa karena jika lulus ujian, seseorang dimungkinkan untuk mencapai tahap kehidupan yang lebih tinggi bahkan mungkin lebih baik. Dalam situasi seperti ini, yang dituntut dari kita adalah KETEKUNAN DALAM PERJUANGAN. Ketekunan akan membuahkan keberhasilan. Ketekunan dalam perjuangan ini diteladankan oleh Tuhan Yesus Kristus. Ia sendiri mengalami penangkapan, pengadilan, penganiayaan yang sadis, memikul sendiri salibNya, dan menjalani kisah sengsaraNya dengan penuh kesetiaan. Ketekunan dalam perjuangan adalah kunci keberhasilan. Yesus sendiri dengan tekun menanggung penderitaan sebagai bentuk ketaatanNya kepada Bapa. Ketekunan Yesus untuk melaksanakan kehendak Bapa menghasilkan buah, yaitu ketika Ia dibangkitkan dari kematian. Kebangkitan Yesus dari kematian merupakan pernyataan bahwa Allah membenarkan Yesus dan segala karya yang dilakukanNya. Bagi Allah, Yesus adalah orang benar karena dia tekun dan taat total pada kehendak Allah. Keberhasilan hampir selalu didapatkan setelah seseorang menjalani saat-saat yang sulit. Dan salah satu kisah keberhasilan yang didapat dari ketekunan itu dapat dipelajari dari Kisah Seekor Kupu-kupu berikut ini...
Dalam kesempatan itu, Penjaga Podjok dipercaya untuk memberikan sedikit permenungan. Sabda yang direnungkan hari itu diambil dari Surat kepada Orang Ibrani (Ibr 12:3-12). Dalam renungan tersebut, para siswa diajak untuk bertekun dalam iman. Pengalaman menghadapi ujian kali ini bukanlah pengalaman yang pertama kali. Tentu sudah banyak yang dipelajari dalam menghadapi pengalaman ujian, baik dalam persiapan maupun pelaksanaan ujian. Surat kepada Orang Ibrani membawa pada pemahaman bahwa ujian dapat disebut sebagai saat Tuhan mendidik untuk berjuang lebih keras dan untuk mengusahakan diri menjadi lebih baik. Saat ujian menjadi saat seseorang untuk menguji diri sendiri sampai di mana kemampuan seseorang dalam mengelola waktu, mengasah ketrampilan, dan mengembangkan kepandaian yang telah diberikan Tuhan. Waktu ujian memang bukanlah waktu yang menyenangkan, tetapi waktu ujian menjadi saat bagi kita untuk mengembangkan diri menjadi yang lebih baik. Ujian – pada saat dijalani – memang pahit, tetapi – setelah dijalani –rasa manisnya mulai terasa karena jika lulus ujian, seseorang dimungkinkan untuk mencapai tahap kehidupan yang lebih tinggi bahkan mungkin lebih baik. Dalam situasi seperti ini, yang dituntut dari kita adalah KETEKUNAN DALAM PERJUANGAN. Ketekunan akan membuahkan keberhasilan. Ketekunan dalam perjuangan ini diteladankan oleh Tuhan Yesus Kristus. Ia sendiri mengalami penangkapan, pengadilan, penganiayaan yang sadis, memikul sendiri salibNya, dan menjalani kisah sengsaraNya dengan penuh kesetiaan. Ketekunan dalam perjuangan adalah kunci keberhasilan. Yesus sendiri dengan tekun menanggung penderitaan sebagai bentuk ketaatanNya kepada Bapa. Ketekunan Yesus untuk melaksanakan kehendak Bapa menghasilkan buah, yaitu ketika Ia dibangkitkan dari kematian. Kebangkitan Yesus dari kematian merupakan pernyataan bahwa Allah membenarkan Yesus dan segala karya yang dilakukanNya. Bagi Allah, Yesus adalah orang benar karena dia tekun dan taat total pada kehendak Allah. Keberhasilan hampir selalu didapatkan setelah seseorang menjalani saat-saat yang sulit. Dan salah satu kisah keberhasilan yang didapat dari ketekunan itu dapat dipelajari dari Kisah Seekor Kupu-kupu berikut ini...
Seorang
laki-laki menemukan sebuah kepompong berisi kupu-kupu. Laki-laki itu terus
mengikuti perkembangan kepompong dan kupu-kupu di dalamnya itu.
Suatu
hari, sebuah celah sempit mulai nampak pada kepompong itu. Laki-laki itu duduk
dan mengamati kupu-kupu itu selama beberapa jam. Kupu-kupu berjuang untuk
melepaskan tubuhnya yang mulai membesar lewat celah kecil pada kepompongnya.
Setelah
beberapa saat, perjuangan itu tampaknya terhenti seakan-akan si kupu-kupu tidak
akan melanjutkannya. Laki-laki itu kemudian memutuskan untuk menolong si
kupu-kupu. Ia mengambil gunting, menyelipkannya pada sisa kulit kepompong yang
belum terbuka dan mulai menggunting sisa kulit kepompong itu.
Kupu-kupu
itu dapat lepas dengan mudah namun badannya tampak membengkak dan sayapnya
mengkerut. Laki-laki itu terus memperhatikan si kupu-kupu sambil berharap
sebentar lagi sayapnya akan mengembang dan membesar sehingga mampu menyokong
tubuhnya.
Namun,
tidak ada yang berubah! Kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya dengan merangkak berputar-putar.
Kupu-kupu itu tidak pernah dapat terbang.
Ternyata,
satu hal yang tidak dimengerti oleh laki-laki yang baik namun tergesa-gesa itu:
Kulit
kepompong yang kaku dan perjuangan yang dilakukan oleh si kupu-kupu untuk
keluar dari celah sempit kepompongnya menjadi cara untuk memompa cairan dari
tubuh ke sayap sehingga sayap itu akan berkembang menjadi kuat dan pada
waktunya siap untuk dipakai sebagai alat terbang bagi si kupu-kupu.
Kadangkala, perjuangan adalah sesuatu yang
kita perlukan dalam hidup. Melewati kehidupan tanpa tantangan akan membuat kita
lumpuh. Kita tidak akan menjadi kuat jika tidak pernah melewati tantangan dan
kita tidak akan pernah bisa terbang. Dalam situasi apapun,
Tuhan memberikan hal-hal yang kita perlukan. Hal yang kita perlukan itu belum
tentu menjadi hal yang kita inginkan.
Aku
meminta kekuatan dan Tuhan memberiku kesulitan yang membuatku kuat.
Aku
meminta kebijaksanaan dan Tuhan memberikan padaku persoalan untuk dipecahkan.
Aku
meminta kemakmuran dan Tuhan memberiku lengan dan otak untuk bekerja.
Aku
meminta keberanian dan Tuhan memberiku bahaya untuk diatasi.
Aku
meminta kesabaran dan Tuhan menempatkanku dalam situasi yang menuntutku untuk
bersabar.
Aku
meminta cinta dan Tuhan memberikan kepadaku orang-orang bermasalah untuk
ditolong.
Aku
meminta kemurahan hati dan Tuhan memberikanku kesempatan.
Aku
menerima bukan yang aku inginkan tetapi aku menerima apa yang aku perlukan.
Mengikuti Yesus bukan
langit biru yang Ia janjikan, juga bukan bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan
penuh liku karena jalan itu pula yang pernah Ia lewati. Janet S. Dickens
mengatakan, “Sayap perubahan lahir
dari kesabaran dan perjuangan.”
Sukses untuk teman-teman kelas XII. Tuhan memberkati perjalanan hidup kalian
selanjutnya.