Datang
ke
Bali
pada
saat
liburan,
itu
sudah
biasa.
Tapi,
kalau
mau
melihat
Bali
yang
sesungguhnya,
datanglah
pada
saat
hari
raya.
Tapi
jangan
pas
hari
raya
Nyepi
karena
katanya
pas
hari
raya
Nyepi,
Bali
sangatlah
sepi
dari
segala
aktivitas.
Itu
adalah
hari
raya
yang
sangat
sakral.
Bertepatan
dengan
hari
raya
Kuningan,
saya
mulai
menginjakkan
kaki
di
Pulau
Bali.
Suasana
hari
raya
tampak
sangat
kuat
pada
hari
itu.
Selepas
dari
Pelabuhan
Penyeberangan
Gilimanuk,
sudah
terlihat
suasana
hari
raya.
Di
sepanjang
jalan,
terlihat
hiasan-hiasan
dari
daun
kelapa
yang
masih
muda
atau
janur
yang
disebut
dengan
penjor.
Penjornya
pun
terlihat
istimewa
– tidak
seperti
penjor
hiasan
biasa
– karena
di
bagian
bawah
penjor
tersebut
dibuat
sebuah
tempat
untuk
meletakkan
sesaji.
Terlihat
pula
tempat-tempat
pemujaan
maupun
pohon-pohon
yang
disarungi
kain
berwarna
kuning.
Warna
kuningnya
pun
bermacam-macam,
mulai
dari
kuning
biasa
sampai
kuning
emas.
Dalam
perjalanan,
kendaraan
yang
saya
tumpangi
berpapasan
dengan
kendaraan
penduduk
lokal.
Saat
diperhatikan,
dalam
kendaraan
para
penduduk
lokal
itu,
ada
sesuatu
yang
berbeda.
Di
atas
dashboard
kendaraan,
ada
sesaji
yang
tertata
rapi
secara
bertumpuk.
Ada
bunga,
pandan,
hio,
permen
atau
penganan,
dan
berbagai
macam
benda
lain.
Selain
di
dalam,
bagian
depan
kendaraan
juga
tidak
lupa
diberi
hiasan
janur.
Istimewanya
lagi,
semua
sesaji
itu
ditempatkan
secara
hormat
dan
didoakan.
Menurut
orang
Bali,
sesaji
itu
adalah
penolak
bala.
Semuanya
itu
dilakukan
agar
semua
mendapat
keselamatan.
Ketika
berada
di
tempat
pemberhentian,
saya
juga
melihat
beberapa
orang
yang
terihat
sibuk
memberikan
sesaji
kepada
tempat-tempat
atau
benda-benda
di
sekitar
mereka.
Ada
yang
memberi
sesaji
di
pohon
besar,
mobil,
maupun
di
tiang
penjor.
Selain
itu,
ada
yang
sedang
sibuk
bersembahyang
di
pura
dan
meminta
berkat
melalui
para
pemuka
agama.
Sungguh
tradisi
yang
sangat
hidup
dan
menjiwai
setiap
orang
yang
ada
di
sana.
Kekaguman
saya
terhadap
Bali
tidak
berhenti
sampai
di
sana.
Ketika
melihat
semua
kejadian
pada
saat
hari
raya
itu,
saya
bertanya
kepada
diri
sendiri,
“Apa
yang
membuat
tradisi
itu
bertahan
bahkan
terasa
abadi
dari
generasi
ke
generasi?”
Tidak
lama
kemudian,
jawaban
atas
pertanyaan
itu
muncul
sendiri.
Ternyata,
pewarisan
nilai-nilai
tradisi
itu
dilakukan
secara
ketat
turun-temurun
dari
kakek
nenek
ke
orang
tua,
dari
orangtua
ke
anak,
dari
anak
ke
cucu
dan
seterusnya.
Betapa
tidak.
Ketika
menginjakkan
kaki
di
Pura
Tanah
Lot,
saya
melihat
hal-hal
yang
luar
biasa.
Para
muda-mudi
– meskipun
tampaknya
sama
seperti
muda-mudi
di
tempat
lain
yang
terbiasa
dengan
piranti
komunikasi
modern
– tetap
mau
mengenakan
kebaya
tradisional
khas
Bali
dalam
upacara
adat.
Semodern
apapun,
mereka
tidak
melupakan
akar
mereka
yang
tetap
satu,
yaitu
tradisi.
Masih
di
tempat
yang
sama,
saya
melihat
bagaimana
pewarisan
tradisi
itu
dilakukan
sejak
anak-anak
masih
kecil.
Saat
berjalan,
saya
melihat
seorang
anak
kecil
membawa
balon
gajah
berdandan
adat
berjalan
bersama
ayah
ibunya.
Tradisi
– dan
iman
tentunya
– memang
berasal
dari
keluarga.
Yang
lebih
dahulu
memegang
tradisi
tersebut
mewariskannya
kepada
yang
datang
lebih
kemudian.
Belajar
dari
apa
yang
sempat
dilihat
dari
Bali,
saya
belajar
mengenai
pewarisan
iman.
Mengapa
Bali
masih
saja
sakral
dan
agung
serta
membuat
orang-orang
lain
tertarik
untuk
datang
ke
sana?
Saya
kira
jawabannya
berkaitan
dengan
warisan
spiritual.
Warisan
spiritual
inilah
yang
menjaga
orang
Bali
tetap
menjadi
orang
Bali.
Sebagai
orang
Katolik,
saya
memahami
benar
bahwa
iman
yang
saya
anut
adalah
hasil
warisan
dari
iman
orang
tua
saya.
Orangtua
saya
lebih
dulu
menjadi
Katolik.
Begitu
pula
orangtua
saya.
Mereka
mendapatkan
iman
itu
dari
kakek
nenek
atau
guru-guru
mereka.
Orangtua
saya
dan
saya
mendapatkan
warisan
dari
mereka
yang
lebih
dulu
tahu.
Begitu
pula
dengan
orang
Bali.
Mereka
mendapat
warisan
iman
mereka
dari
mereka
yang
lebih
dulu
tahu.
Iman
itu
kemudian
dikembangkan
dalam
keluarga
sebagai
iman
yang
HIDUP.
Artinya,
iman
itu
dilakukan
dan
dipraktekkan
dalam
keluarga.
Anak
kecil
yang
membawa
balon
ditemani
orangtuanya
itu
layak
menjadi
simbol
bagaimana
iman
yang
diwariskan
itu
kemudian
menjadi
IMAN
KELUARGA.
Iman
keluarga
inilah
yang
layak
menjadi
fokus
dalam
pengembangan
umat
Katolik.
Keluarga
telah
ditetapkan
sebagai
Gereja
mini.
Persekutuan
Gereja
yang
paling
kecil
tampak
dalam
kehidupan
keluarga
Katolik.
Keluarga
Katolik
merupakan
wadah
bagi
suami
istri
dan
anak-anak
untuk
bersekutu
dalam
nama
Tuhan.
Paus
Yohanes
Paulus
II
menyatakan
“Keluarga
adalah
sekolah
pertama
tentang
kehidupan
dan
pengaruh
yang
diterima
di
dalam
keluarga
sangatlah
menentukan
perkembangan
seorang
individu
di
masa
depan.
Orangtua
Katolik
harus
belajar
membentuk
keluarga
mereka
sebagai
Gereja
domestik,
Gereja
rumah
tangga,
di
mana
Allah
dihormati,
hukum-Nya
ditaati,
doa
menjadi
sebuah
kebiasaan,
keutamaan
diajarkan
dengan
perkataan
dan
perbuatan,
serta
setiap
pribadi
membagikan
harapan,
persoalan,
dan
beban
satu
sama
lain”
(Pesan
Hari
Perdamaian
Sedunia
1998
dan
Homili
di
Aqueduct
Racetrack,
1995).
Jika
iman
dimulai
dari
keluarga,
orangtua
akan
mengajarkan
dan
mewariskan
iman
kepada
anak.
Jika
iman
ini
dikenalkan
sejak
dini
secara
benar,
anak
tidak
akan
malu
mengenakan
iman
ini
dalam
hidupnya.
Sekalipun
terpapar
oleh
modernitas,
iman
dalam
diri
anak-anak
tidak
akan
luntur
karena
iman
itu
tertanam
kuat
laksana
pohon
dengan
akar
yang
dalam.
Seperti
anak
muda
Bali
yang
tetap
teguh
memelihara
tradisi
sekalipun
bersentuhan
dengan
dunia
modern,
generasi
muda
Katolik
tetap
menjadi
Katolik
dalam
dunia
modern.
Dalam
kehidupan
harian,
Pengembangan
iman
keluarga
ini
telah
didukung
dengan
komunitas
umat
beriman
yang
bernaung
di
bawah
Lingkungan
dan
Wilayah.
Warisan
spiritual
orang
Bali
pun
terjaga
karena
ada
masyarakat
adat
yang
selalu
mendampingi
keluarga
dalam
mendidik
anak-anak
mereka.
Masyarakat
adat
menjadi
komunitas
bagi
keluarga
untuk
saling
bergantung.
Demikian
pula
dalam
Gereja
Katolik.
Setelah
suami
istri
dan
anak-anak
matang
dalam
keluarga,
mereka
kemudian
mulai
terlibat
dalam
komunitas
yang
lebih
besar,
yaitu
lingkungan
dan
wilayah.
Dalam
lingkungan
dan
wilayah,
keluarga
saling
bertemu
dan
bersekutu.
Kegiatan
lingkungan
dan
wilayah
merupakan
wadah
bagi
keluarga-keluarga
untuk
saling
meneguhkan
satu
sama
lain.
Yang
berbeban
berat
diringankan,
yang
sakit
didoakan,
yang
tersisih
disapa.
Dari
lingkungan
dan
wilayah,
keluarga
terlibat
dalam
kegiatan
paroki.
Dalam
paroki,
keluarga
bertemu
dengan
keluarga
lain
separoki.
Dengan
keterlibatan
keluarga-keluarga,
paroki
menjadi
semakin
hidup
dan
berkembang.
Paroki
hanya
dapat
berkembang
jika
orang-orang
yang
menjadi
anggotanya
mau
terlibat
dalam
kegiatan
paroki.
Akhirnya,
Gereja
akan
berkembang
jika
IMAN
mulai
dari
KELUARGA
berkembang
secara
baik.
Seperti
orang
Bali
yang
memulai
kehidupan
imannya
dari
KELUARGA,
kita
– orang
Katolik
– juga
memulai
iman
kita
dari
GEREJA
KELUARGA.
Keluarga
kita
jadikan
tempat
yang
pertama
dan
utama
untuk
mendidik
iman
dan
keterlibatan
dalam
Gereja
maupun
masyarakat.
Terima
kasih
atas
pendalaman mengenai warisan
spiritual
yang
boleh
kita
pelajari
dari
orang
Bali.
Aum
shanti
shanti
shanti
aum.
Berkah
Dalem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar