Senin, 18 Desember 2017

Tamasya Lintas Agama Bersama PaPPIRus

Masih di bulan Oktober, Penjaga Podjok mendapatkan kesempatan yang sangat unik... Di akhir bulan September, Penjaga Podjok menerima telpon dari seorang sahabat yang bekerja di Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang, Mas Ipung. Beliau memberikan informasi mengenai acara lintas agama yang ditawarkan kepada Penjaga Podjok. Awalnya, Penjaga Podjok merasa ragu untuk mengiyakan, tetapi setelah mempertimbangkan beberapa saat, jawaban "Ya" diberikan atas tawaran itu. Akhirnya, Penjaga Podjok pun berkesempatan untuk mendatangi sebuah kegiatan yang sangat unik, menarik, dan membawa kesan tersendiri. Berikut ini adalah catatan Penjaga Podjok terhadap kegiatan itu...
Bertempat di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan, sebanyak 30 perwakilan guru Pendidikan Agama dari lima agama – Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha – mengikuti kegiatan Penguatan Wacana Pengelolaan Keragaman dan Peningkatan Kompetensi Metode Pembelajaran Pendidikan Inter Religius. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Paguyuban Penggerak Pendidikan Inter Religius (PaPPIRus) selama tiga hari (Jumat–Minggu, 6-8/10). Kegiatan ini dibuka dengan refleksi tentang profesionalitas guru dan semangat kebangsaan. Dalam refleksi, para para guru diajak untuk melihat tanggung jawab, kekuatan, keberhasilan, kendala, dan pengembangan profesi guru dalam meningkatkan semangat kebangsaan di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Guru memiliki peran strategis untuk membangun masyarakat Indonesia agar memiliki kesadaran akan keberagaman dan rasa saling menghargai satu sama lain. PaPPIRus menyadari pentingnya sikap saling menghargai keberagaman masyarakat Indonesia sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar, maju, dan berkembang.


Seiring dengan visi yang digotong untuk memajukan Pendidikan Inter Religius, PaPPIRus mengajak para guru agama untuk belajar dari agama-agama lain melalui model touring culture. Touring culture merupakan sebuah metode belajar yang dilakukan dengan berkunjung atau tamasya ke komunitas agama-agama sebagai sarana untuk saling mengenal para pemeluk agama dan kepercayaan lain. Komunitas agama pertama yang dikunjungi adalah Komunitas Paguyuban Umat Pran Soeh. Komunitas Pran Soeh merupakan komunitas penghayat agama asli Pran Soeh yang dicetuskan oleh Romo Resi Pran Soeh Sastrosoewignjo. Romo Resi Pran Soeh Sastrosoewignjo merupakan salah satu anggota keluarga Kraton Yogyakarta yang karena pendalaman ilmu kasukman-nya, menemukan wisik atau wangsit untuk mendirikan agama baru di Tanah Jawa. Tempat yang disucikan oleh agama ini berada di daerah Pepe Muntilan, tepat di sebelah utara Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan dan diberi nama Balai Suci Agung Gedong Pran Soeh Tlaga Mahardo. Dari komunitas Pran Soeh, para peserta diajak menuju Klenteng Hok An Kiong. Klenteng ini merupakan satu-satunya klenteng yang ada di daerah Muntilan. Klenteng yang disebut juga Tempat Ibadah Tri Darma ini menjadi tempat ibadah bagi tiga aliran, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddhisme. Yang menjadi tuan rumah atau pusat pemujaan di klenteng ini adalah Dewa Bumi. Di klenteng ini, para peserta mendapatkan penjelasan mengenai simbol-simbol yang dipakai oleh para penganut agama Kong Hu Cu ini. Dari Klenteng Hok An Kiong, para peserta diajak mengunjungi Museum Misi Muntilan. Museum Misi Muntilan merupakan salah satu museum yang dimiliki oleh Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang. Museum Misi Muntilan menjadi wahana edukasi untuk memahami bagaimana Gereja Katolik berkembang di wilayah Keuskupan Agung Semarang yang meliputi sebagian daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Museum Misi ini, para peserta belajar menggali kekayaan iman yang ada dalam Gereja Katolik, khususnya penyebaran dan perkembangan iman Katolik di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang dirintis oleh Pastor Fransiskus Georgius Josephus van Lith, SJ melalui pendidikan yang diberikan kepada anak-anak pribumi.

Bicara dalam konteks keberagaman agama, wadah ini menjadi salah satu cara untuk menerobos prasangka antar agama dalam rangka saling memahami kekayaan dan tradisi agama satu dengan yang lain. Prasangka seringkali menjadi tembok pemisah yang membuat agama-agama ini tidak dapat saling memahami. Kegiatan ini menjadi salah satu cara untuk meruntuhkan prasangka itu dan kemudian membangun pemahaman yang baru terhadap penganut agama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar