Kamis, 09 Juli 2015

Membangun Harapan lewat Bangau Kertas

Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru 2015/2016. Hari pertama selalu menentukan dalam berbagai kegiatan. Di manapun, hari pertama selalu membawa harapan-harapan untuk waktu ke depan. Itulah yang terjadi di Ruang Podjok. Suasana Ruang Podjok di tahun ini tampaknya ingin menyiratkan harapan itu. Tahun ini, Ruang Podjok dihiasi dengan berbagai lipatan kertas berbentuk bangau. Lipatan kertas bangau itu digantungkan dengan tali di plafon dan kipas angin. Bulan Mei lalu, beberapa teman membuat hiasan-hiasan ini. Kebetulan, Penjaga Podjok beberapa kali menemani prosesnya. Setelah dipasang, hiasan-hiasan bangau ini terasa sangat memeriahkan Ruang Podjok.

Saat memandang hiasan-hiasan ini, Penjaga Podjok sempat teringat pada sebuah kisah dari Jepang. Setelah melakukan penelusuran secara daring, Penjaga Podjok menemukan kisah ini:

“Seribu Bangau Kertas (Senbazuru) adalah kumpulan origami berbentuk bangau (tsuru) yang dirangkai bersama dengan benang. Legenda Jepang menyatakan bahwa siapapun yang melipat kertas-kertas menjadi seribu bangau maka satu permohonannya akan dikabulkan, misalnya memperoleh umur yang panjang atau sembuh dari penyakit. Rakyat Jepang percaya bahwa bangau adalah salah satu makhluk suci yang konon dapat hidup selama ribuan tahun. Di Jepang, ada kisah turun temurun bahwa melipat seribu bangau kertas dapat mengabulkan permohonan seseorang. Ini membuatnya menjadi hadiah spesial bagi keluarga dan teman. Secara tradisional, seribu bangau kertas diberikan sebagai hadiah pernikahan oleh pihak ayah, yang mengharapkan kebahagiaan dan kemakmuran jangka panjang kepada anak dan menantunya. Seribu bangau kertas juga dapat diberikan kepada bayi yang baru lahir agar berumur panjang dan sehat sentosa. Menggantung seribu bangau kertas di rumah juga dipercaya sebagai jimat pembawa keberuntungan. 
Seribu bangau kertas menjadi simbol perdamaian dunia melalui kisah Sadako Sasaki, seorang gadis kecil berusia 12,5 tahun. Di pagi yang kelabu, 25 Oktober 1955, ia sedang berjuang untuk tetap hidup. Tubuhnya kepayahan. Kakinya bengkak dan berwarna ungu. Ia sempat menelan sesuap nasi yang dicampur teh panas. “Rasanya enak,” kata dia sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Penderitaannya berawal dari tragedi besar yang mengguncang dunia. 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom 'Little Boy' di Hiroshima, Jepang dan membunuh 140.000 orang di kota itu. Sadako yang masih berusia 2 tahun berada dalam jarak 1 mil dari titik jatuhnya bom di dekat Jembatan Misasa. Ia dan seluruh keluarganya berhasil lari. Neneknya yang kembali ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal tak pernah diketahui nasibnya. Seusai perang, Sadako menjalani masa kecil yang relatif normal meski serba kekurangan. Ia seorang gadis yang ceria juga pelari unggul. Berkat kemampuannya itu, kelasnya langganan juara lari estafet. 
Suatu hari, di tengah perlombaan, Sadako terjatuh. Usianya saat itu 11 tahun. Hari demi hari, tubuhnya makin lunglai. Pada November 1954, leher dan bagian belakang telinga Sadako membengkak. Dua bulan kemudian bercak ungu bermunculan di kedua kakinya. Sadako dilarikan ke rumah sakit pada Februari 1955. Dokter mendiagnosis penyakit leukemia, kanker darah seperti yang banyak diderita para korban bom atom. Orangtuanya diberi tahu bahwa putri kesayangan mereka hanya punya waktu kurang dari setahun. “Aku dan suamiku menangis di dekat Sadako yang sedang tertidur tenang,” demikian isi surat yang ditulis sang ibu, Fujiko Sasaki pada 1956 seperti dimuat situs The Global Human. Menghadapi penyakit Sadako, orangtuanya menulis, “Jika di dunia ada obat untuk menyembuhkan penyakitnya, aku akan pinjam uang, 10 juta yen sekalipun. Atau, jika mungkin, biarkan aku mati untuknya...” 
Suatu hari, seorang sahabat Sadako, Chizuko Hamamoto datang menjenguk dan bercerita tentang sebuah legenda. Konon, seseorang yang bisa melipat 1000 bangau kertas akan dikabulkan permintaannya. Bangau adalah simbol panjang umur. “Kau ingat legenda yang menyebut jika kau melipat 1.000 bangau kertas, para Dewa akan mengabulkan keinginanmu?” kata dia. Hamamoto lalu melipat selembar kertas berwarna emas menjadi sebuah bangau kertas. Lipatannya sangat bagus. Ia memberikannya ke Sadako. “Ini milikmu yang pertama.” Sadako tak punya kertas lipat karena harganya sangat mahal saat itu. Jadi, ia menggunakan apapun, koran, bungkus obat, juga kertas pelapis bingkisan semoga cepat sembuh. Ia melipat dan terus melipat. 
Masahiro Sasaki, kakak Sadako, mengatakan bahwa origami adalah semacam pelarian Sadako yang tahu soal usianya yang tak bakal panjang tapi memilih diam dan berpura-pura tak tahu di depan keluarganya. “Kupikir, melipat bangau membantunya mengalihkan pikiran dari kesedihan, penderitaan, dan rasa sakit...Itu bukan hanya sekedar lipatan kertas, namun penuh dengan seluruh emosi Sadako,” kata dia seperti dimuat Japan Times. Dalam menyelesaikan lipatan bangaunya, Sadako hanya bisa setengah jalan saat maut menjemputnya. Namun, hingga kematiannya, gadis kecil itu tak pernah menyerah, tabah, dan bersikap ceria hingga akhir hidupnya. Masahiro mengatakan, dengan bantuan keluarga dan teman, Sadako berhasil menyelesaikan 1.000 bangau kertas. Sadako mencoba membuat seribu bangau kertas, namun hanya mampu mencapai jumlah 644 sebelum meninggal. Teman-temannya pun melanjutkan impiannya. Setelah genap seribu, mereka menguburkan semuanya bersamanya. 
Teman-teman sekelas Sadako yang sangat terpukul karena kepergiannya menggalang dana untuk mendirikan peringatan untuk Sadako dan anak-anak lain yang tewas akibat bom atom. Mereka menulis dan mempublikasikan buku tentang Sadako. Butuh tiga tahun bagi mereka untuk mendapatkan cukup dana pembangunan Children's Peace Monument di Peace Memorial Park, Hiroshima. Ada patung Sadako di puncak monumen. Di bawahnya terdapat plakat berisi pesan dari anak-anak bertuliskan, “Kore wa bokura no sakebi desu. Kore wa watashitachi no inori desu. Sekai ni heiwa o kizuku tame no - Ini adalah seruan kami. Ini adalah doa kami. Untuk membangun perdamaian di dunia.” Setiap tahun, ribuan anak-anak datang ke sana, meninggalkan lipatan origami burung bangau untuk mengenang jiwa-jiwa kecil yang tewas akibat bom atom. Patung Sadako juga terdapat di Taman Perdamaian di Seattle. Ia menjadi simbol dampak perang nuklir. 
Setelah kematiannya, sang ayah membagikan hampir semua bangau kertas ke orang-orang yang datang dan ingin mendengar kisah Sadako. Setelah dibagikan, hanya lima yang tersisa. Alih-alih menyimpannya, Masahiro Sasaki memutuskan untuk menyumbangkan sisa lipatan bangau itu ke beberapa tempat di dunia. Bangau pertama pada tahun 2010 disumbangkan ke Tribute WTC Visitor Center di New York, yang didirikan untuk memperingati orang-orang yang tewas dalam serangan teror 11 September 2001. Satu bangau lagi diberkan kepada museum perdamaian di Austria. Bangau kertas ketiga, dengan bantuan Clifton Truman Daniel, cucu tertua Presiden AS Harry Truman, yang memerintahkan pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, diletakkan di USS Arizona Memorial di Pearl Harbor.”


Mendengar kisah ini, Penjaga Podjok semakin diteguhkan. Ternyata, secara kebetulan, teman-teman yang menyemarakkan Ruang Podjok telah memberikan harapan baik di tahun pelajaran ini. Semoga harapan-harapan baik yang disimbolkan melalui lipatan bangau-bangau kertas ini semakin membuat kegiatan dan aktivitas di Ruang Podjok semakin baik. Tuhan memberkati kegiatan dan aktivitas yang akan dilaksanakan di Ruang Podjok.

Sumber Pustaka:
http://news.liputan6.com/read/2124194/25-10-1955-kisah-tragis-gadis-sadako-dan-1000-bangau-kertas
https://id.wikipedia.org/wiki/Seribu_bangau_kertas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar