“Semoga dengan kegiatan ini, kami tidak digolongkan dalam kelompok orang-orang yang kurang piknik...”
Itulah ungkapan yang selintas terbersit di benak saya ketika menyiapkan kegiatan ini... Mendengar kata “ziarah” setiap orang Katolik pasti akan segera membayangkan aktivitas bepergian menuju ke sebuah tempat yang dikhususkan untuk berdoa atau menenangkan diri. Ya memang itulah yang seharusnya terjadi dalam ziarah...
Kata “ziarah” ini pun menjadi pembicaraan di antara beberapa anggota Ruang Podjok mulai pertengahan tahun ini. Sudah lama mereka memendam keinginan untuk bepergian sambil berdoa bersama. Apalagi, ini adalah Tahun Kaum Muda di Keuskupan Agung Semarang. Seperti yang telah diketahui, Gereja Katolik Indonesia pada tahun ini menyelenggarakan perayaan besar untuk kaum muda se-Asia, Asian Youth Day yang dipuncaki dengan acara bersama di Yogyakarta pada bulan Agustus yang lalu. Di tahun ini, memang kaum muda diajak untuk bergerak dengan berbagai aktivitas. Nah, Ruang Podjok menanggapi Tahun Kaum Muda ini dengan mengadakan ziarah ke Gua Maria Jatiningsih Yogyakarta.
Ide ini dilontarkan oleh beberapa anggota Ruang Podjok. Penjaga Podjok pun menanggapi ide ini asal bisa menyediakan dana sendiri. Penyediaan dana sendiri ini didasarkan pada pertimbangan kepraktisan. Mengapa begitu? Ziarah memang bukan program tahunan dari Ruang Podjok. Ada tiga program tahunan dengan biaya besar yang sudah biasa dilakukan dari tahun ke tahun, yaitu Natal, Paska, dan Retret. Ziarah bukanlah program tahunan. Oleh karena itu, pasti tidak akan ada dana yang dianggarkan untuk itu. Maka, Penjaga Podjok cari jalan yang praktis untuk memungkinkan kegiatan itu terjadi dengan mencari uang sendiri. Puji Tuhan, panitia yang dibentuk mau berjuang untuk mewujudkan itu.
Meskipun anggota Ruang Podjok ini banyak perempuannya, pada kesempatan ini terbukti bahwa perempuan-perempuan anggota Ruang Podjok adalah perempuan-perempuan yang tangguh, yang tidak takut bekerja keras untuk mencapai tujuan dengan baik. Semangat inilah yang membuat Penjaga Podjok pun mau untuk mendukung kegiatan ini sepenuhnya. Penggalangan dana untuk ziarah ini dilakukan melalui berbagai cara. Ada yang jualan stiker. Ada yang jualan donat. Ada yang menembusi gereja-gereja untuk minta jatah parkir.
Memang tidak semua usaha itu membuahkan hasil, tetapi paling tidak sudah ada usaha untuk menyediakan dana secara mandiri.
Memang tidak semua usaha itu membuahkan hasil, tetapi paling tidak sudah ada usaha untuk menyediakan dana secara mandiri.
Hari demi hari... bulan demi bulan pun berjalan. Sampai akhirnya, tibalah bulan Desember. Di bulan Desember ini, persiapan pun semakin intensif. Pendapatan dan pengeluaran mulai dihitung. Akhirnya, ditetapkan bahwa ziarah akan dilaksanakan pada hari Rabu (20/12/2017). Tidak sedikit tantangan dan hambatan yang ada, tetapi karena semua sudah diputuskan, semua harus dilakukan. Hari Rabu pagi, sebuah bis DAMRI sudah terparkir di depan sekolah dan siap untuk mengantar para peserta menuju Gua Maria Ratuning Katentreman Jatiningsih, Klepu, Sleman, Yogyakarta. Beberapa waktu sebelumnya, panitia berjuang keras untuk memperoleh bis yang nyaman. Akhirnya, pilihan jatuh pada Perum DAMRI, perusahaan otobus plat merah yang sudah berpengalaman untuk menyediakan transportasi bagi masyarakat.
Gua Maria Jatiningsih merupakan gua Maria yang terletak di salah satu tepian Sungai Progo. Pagi itu, sekitar jam setengah tujuh pagi, kami mulai berangkat dari Solo. Sebelum jalan, kami pun mengiringi seluruh acara itu dengan doa mohon pernyertaan Tuhan agar diberi keselamatan dan kelancaran. Setelah itu, bis pun mulai berjalan... Perjalanan menuju Gua Maria Ratuning Katentreman Jatiningsih memakan waktu kurang lebih 2,5 jam dari Kota Solo. Perjalanan ini terasa santai karena memang kami tidak dikejar oleh waktu. Terima kasih kepada Bapak-bapak Kru Bis DAMRI UABK Surakarta yang telah membuat perjalanan ini begitu nyaman... Dalam perjalanan kali ini, Penjaga Podjok tidak sendirian. Ada tiga orang guru yang menemani dan mendampingi para anggota Ruang Podjok. Terima kasih kepada Ibu Susiati, Ibu Herwijati, dan Bapak Fajar Kriscahyo yang telah menemani dalam ziarah kali ini... Selain itu, ziarah ini juga dimungkinkan atas dukungan dari Bapak Ibu Guru dan Karyawan yang beragama Katolik: Ibu Yulia, Bapak Christianto Raharjo, Ibu Sunaryati, Ibu Mei, dan Bapak Suwandi karena sudah mendukung, baik melalui bantuan dana maupun dukungan doa... Terima kasih atas dukungannya untuk kegiatan ini...
Kurang lebih pukul 10.00, rombongan pun tiba di Gua Maria Jatiningsih. Gua Maria Sendang Jatiningsih terletak 17 km di barat Kota Yogyakarta, tepatnya di Dusun Jitar, Desa Sumber Arum, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman. Gua Maria Jatiningsih atau yang juga biasa disebut dengan nama Sendang Jatiningsih merupakan salah satu tempat peribadatan sekaligus peziarahan umat Katolik. Sebelum dibangun menjadi Gua Maria, dulunya tempat ini bernama Sendang Pusung. Pusung sendiri merupakan singkatan dari kalimat bahasa Jawa “sing ngapusi busung” yang artinya siapa yang berbohong akan terkena tulah. Kemudian namanya diubah menjadi Sendang Jatiningsih yang berarti sumber air dari rahmat Tuhan yang mendatangkan kedamaian.
Pembangunan kawasan ini sebagai tempat peziarahan diawali pada tahun 1952. Saat itu, ada warga Dusun Jitar yang memutuskan untuk dibabtis dan memeluk agama Katolik. Setahun kemudian jumlah warga yang memeluk Katolik semakin bertambah banyak, hingga akhirnya setiap jumat malam mereka mengadakan ibadah. Selain itu mereka juga kerap berlatih kesenian seperti karawitan, kethoprak, serta selawatan. Hal itu lantas menggerakkan hari seorang umat bernama Ignatius Purwidono untuk menghibahkan tanah miliknya yang berada di tepi Kali Progo sebagai tempat ibadah yang sekarang menjadi Gua Maria Sendang Jatiningsih. Setelah dana swadaya dari umat terkumpul, maka dimulailah pembangunan Gua Maria Sendang Jatiningsih. Batu putih untuk dinding gua diambil dari Gunung Kidul, sedangkan patung Bunda Maria dibuat oleh seorang pematung asal Muntilan. Gua Maria ini diresmikan pada tahun 1986. Pada tahun 1999 dilakukan renovasi atas Gua Maria Jatiningsih dan dilakukan pemberkatan oleh Uskup Agung Semarang pada 17 Desember 2000. Kini Gua Maria Sendang Jatiningsih tidak hanya dijadikan tempat beribadah warga Jitar, namun sudah dijadikan sebagai tempat peziarahan oleh umat Kalotik dari berbagai tempat.
Setelah tiba di sana, anggota Ruang Podjok pun segera bergegas untuk melakukan Doa Jalan Salib. Doa Jalan Salib ini merupakan devosi yang sangat populer di tengah umat, terutama pada saat Masa Prapaska karena doa ini mengenangkan kembali kisah sengsara dan wafat Yesus. Para anggota Ruang Podjok pun berdoa dengan khusuk. Setelah selesai berdevosi, para anggota Ruang Podjok pun diberi kesempatan untuk berdoa secara pribadi atau hening di kawasan doa tersebut.
Sejak awal dibangun, Gua Maria Sendang Jatiningsih memang dikonsep terbuka dan menyatu dengan alam. Pohon-pohon jati berukuran besar dibiarkan terus tumbuh sehingga daunnya bisa memayungi umat yang berdoa di depan gua. Di tempat ini, peziarah bisa berdoa di bawah langit biru dan ditemani hembusan angin yang sejuk. Namun yang paling menyenangkan dari semuanya adalah bunyi gemericik air yang mengalir tiada henti. Memang Gua Maria ini dibangun tepat di pinggir aliran Sungai Progo sehingga menjadikan kawasan ini menjadi sejuk dan segar. Kebetulan, rombongan Ruang Podjok datang saat Sungai Progo dalam keadaan berlimpah air. Suara gemericik sungai berubah menjadi gemuruh yang sedikit menciutkan nyali. Penjaga Gua Maria pun berpesan kepada umat yang ingin turun ke Sungai Progo, “Kalau turun hati-hati ya karena jalannya licin...” Seperti layaknya Gua Maria pada umumnya, di tempat ini juga terdapat sebuah sendang atau mata air. Air yang mengalir ini diberi nama Tirta Wening Banyu Panguripan atau yang bermakna air bening pemberi kehidupan. Sumber air ini biasanya dibawa pulang oleh para peziarah. Sambil berjalan pulang, Penjaga Podjok pun membawa pulang air suci ini sebagai oleh-oleh sekaligus menjadi sumber air kedua yang dikumpulkan untuk proses pengumpulan tujuh sumber mata air.
Gua Maria Jatiningsih merupakan gua Maria yang terletak di salah satu tepian Sungai Progo. Pagi itu, sekitar jam setengah tujuh pagi, kami mulai berangkat dari Solo. Sebelum jalan, kami pun mengiringi seluruh acara itu dengan doa mohon pernyertaan Tuhan agar diberi keselamatan dan kelancaran. Setelah itu, bis pun mulai berjalan... Perjalanan menuju Gua Maria Ratuning Katentreman Jatiningsih memakan waktu kurang lebih 2,5 jam dari Kota Solo. Perjalanan ini terasa santai karena memang kami tidak dikejar oleh waktu. Terima kasih kepada Bapak-bapak Kru Bis DAMRI UABK Surakarta yang telah membuat perjalanan ini begitu nyaman... Dalam perjalanan kali ini, Penjaga Podjok tidak sendirian. Ada tiga orang guru yang menemani dan mendampingi para anggota Ruang Podjok. Terima kasih kepada Ibu Susiati, Ibu Herwijati, dan Bapak Fajar Kriscahyo yang telah menemani dalam ziarah kali ini... Selain itu, ziarah ini juga dimungkinkan atas dukungan dari Bapak Ibu Guru dan Karyawan yang beragama Katolik: Ibu Yulia, Bapak Christianto Raharjo, Ibu Sunaryati, Ibu Mei, dan Bapak Suwandi karena sudah mendukung, baik melalui bantuan dana maupun dukungan doa... Terima kasih atas dukungannya untuk kegiatan ini...
Kurang lebih pukul 10.00, rombongan pun tiba di Gua Maria Jatiningsih. Gua Maria Sendang Jatiningsih terletak 17 km di barat Kota Yogyakarta, tepatnya di Dusun Jitar, Desa Sumber Arum, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman. Gua Maria Jatiningsih atau yang juga biasa disebut dengan nama Sendang Jatiningsih merupakan salah satu tempat peribadatan sekaligus peziarahan umat Katolik. Sebelum dibangun menjadi Gua Maria, dulunya tempat ini bernama Sendang Pusung. Pusung sendiri merupakan singkatan dari kalimat bahasa Jawa “sing ngapusi busung” yang artinya siapa yang berbohong akan terkena tulah. Kemudian namanya diubah menjadi Sendang Jatiningsih yang berarti sumber air dari rahmat Tuhan yang mendatangkan kedamaian.
Pembangunan kawasan ini sebagai tempat peziarahan diawali pada tahun 1952. Saat itu, ada warga Dusun Jitar yang memutuskan untuk dibabtis dan memeluk agama Katolik. Setahun kemudian jumlah warga yang memeluk Katolik semakin bertambah banyak, hingga akhirnya setiap jumat malam mereka mengadakan ibadah. Selain itu mereka juga kerap berlatih kesenian seperti karawitan, kethoprak, serta selawatan. Hal itu lantas menggerakkan hari seorang umat bernama Ignatius Purwidono untuk menghibahkan tanah miliknya yang berada di tepi Kali Progo sebagai tempat ibadah yang sekarang menjadi Gua Maria Sendang Jatiningsih. Setelah dana swadaya dari umat terkumpul, maka dimulailah pembangunan Gua Maria Sendang Jatiningsih. Batu putih untuk dinding gua diambil dari Gunung Kidul, sedangkan patung Bunda Maria dibuat oleh seorang pematung asal Muntilan. Gua Maria ini diresmikan pada tahun 1986. Pada tahun 1999 dilakukan renovasi atas Gua Maria Jatiningsih dan dilakukan pemberkatan oleh Uskup Agung Semarang pada 17 Desember 2000. Kini Gua Maria Sendang Jatiningsih tidak hanya dijadikan tempat beribadah warga Jitar, namun sudah dijadikan sebagai tempat peziarahan oleh umat Kalotik dari berbagai tempat.
Setelah tiba di sana, anggota Ruang Podjok pun segera bergegas untuk melakukan Doa Jalan Salib. Doa Jalan Salib ini merupakan devosi yang sangat populer di tengah umat, terutama pada saat Masa Prapaska karena doa ini mengenangkan kembali kisah sengsara dan wafat Yesus. Para anggota Ruang Podjok pun berdoa dengan khusuk. Setelah selesai berdevosi, para anggota Ruang Podjok pun diberi kesempatan untuk berdoa secara pribadi atau hening di kawasan doa tersebut.
Sejak awal dibangun, Gua Maria Sendang Jatiningsih memang dikonsep terbuka dan menyatu dengan alam. Pohon-pohon jati berukuran besar dibiarkan terus tumbuh sehingga daunnya bisa memayungi umat yang berdoa di depan gua. Di tempat ini, peziarah bisa berdoa di bawah langit biru dan ditemani hembusan angin yang sejuk. Namun yang paling menyenangkan dari semuanya adalah bunyi gemericik air yang mengalir tiada henti. Memang Gua Maria ini dibangun tepat di pinggir aliran Sungai Progo sehingga menjadikan kawasan ini menjadi sejuk dan segar. Kebetulan, rombongan Ruang Podjok datang saat Sungai Progo dalam keadaan berlimpah air. Suara gemericik sungai berubah menjadi gemuruh yang sedikit menciutkan nyali. Penjaga Gua Maria pun berpesan kepada umat yang ingin turun ke Sungai Progo, “Kalau turun hati-hati ya karena jalannya licin...” Seperti layaknya Gua Maria pada umumnya, di tempat ini juga terdapat sebuah sendang atau mata air. Air yang mengalir ini diberi nama Tirta Wening Banyu Panguripan atau yang bermakna air bening pemberi kehidupan. Sumber air ini biasanya dibawa pulang oleh para peziarah. Sambil berjalan pulang, Penjaga Podjok pun membawa pulang air suci ini sebagai oleh-oleh sekaligus menjadi sumber air kedua yang dikumpulkan untuk proses pengumpulan tujuh sumber mata air.
Sekitar jam 11.30, rombongan mulai bergerak meninggalkan Gua Maria Ratuning Katentreman Jatiningsih. Siang itu, perjalanan dilanjutkan menuju tempat rekreasi yang sudah dipilih, yaitu The World Landmark Merapi Park. Kata anggota Ruang Podjok, tempat rekreasi ini baru hits dan instagramable. Perjalanan menuju tempat itu ditempuh dalam waktu kira-kira satu setengah jam. Sampai di tempat tujuan, sudah banyak pengunjung yang datang ke tempat itu. Tidak lama kemudian satu per satu dari rombongan memasuki taman. Segera saja kamera-kamera berbunyi untuk mengambil gambar. Siang itu, mendung sudah menggelayut di atas taman. Tidak lama berselang, hujan pun segera turun dan membasahi taman. Keadaan menjadi kacau balau... Untunglah... para anggota Ruang Podjok segera mendapatkan tempat berteduh..
Menit demi menit berlalu...hujan tidak segera mereda. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke bis. Sesuai kesepakatan, kira-kira pukul setengah empat sore, saat rombongan kembali ke bis, seluruh rombongan pun mulai bergerak pulang... Terima kasih atas kebersamaan hari itu.. Terima kasih kepada semua saja yang telah mendukung dalam kegiatan ziarah di akhir tahun ini.... Tuhan memberkati kita semua...