Setahun yang lalu, pada 7 Juni 2012, film layar
lebar “Soegija” memasuki masa tayang. Dalam waktu singkat, film itu pun menjadi
buah bibir umat. Film ini tampaknya berhasil menggugah kembali ingatan kolektif
umat Katolik terhadap semangat “beriman di tengah masyarakat”. Berbagai
komentar dituai oleh film ini. Ada yang pro dan ada yang kontra. Apapun
komentarnya, pemutaran film ini berjalan terus dengan peminat yang begitu luar
biasa.
Pasca menonton “Soegija”, ada sebuah pertanyaan
yang menggelitik. “Pelajaran apa yang dapat ditilik dari film ini? Adakah cukup
hanya berhenti di sini atau adakah sesuatu yang dapat dilakukan?” Jawaban atas
pertanyaan itu dapat didekati dari berbagai macam segi, tergantung sudut
pandang masing-masing. Salah satu sudut pandang yang kiranya dapat digunakan
untuk menjawab pertanyaan itu adalah sudut pandang pendidikan bela negara.
Pendidikan bela negara merupakan upaya yang
dilakukan oleh negara untuk menanamkan kesadaran bela negara dalam diri masyarakat
di suatu negara tertentu. Di beberapa negara, perwujudan dari pendidikan bela
negara ini adalah dengan mengikuti wajib militer. Di Indonesia, pendidikan
bela negara diwujudkan melalui berbagai
macam kegiatan untuk membangkitkan kesadaran untuk membela negara dalam diri
masyarakat. Pada masa awal kemerdekaan, di bawah pemerintahan Soekarno,
pendidikan bela negara dialami langsung melalui berbagai perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan. Saat itu, rakyat dididik oleh situasi bangsa yang
baru saja merdeka dalam situasi di mana kemerdekaan itu akan direbut kembali
oleh bangsa penjajah. Setelah benar-benar merdeka, pendidikan bela negara
diwadahi oleh Pelajaran Civics (Kewarganegaraan). Di era Soeharto, pendidikan
bela negara menemukan perwujudannya dalam berbagai macam aktivitas, mulai dari
Penataran P4 di semua lini masyarakat serta Pendidikan Moral Pancasila dan
Pendidikan Kewiraan di lingkungan pendidikan formal. Masuk era Reformasi,
pendidikan bela negara seakan-akan lenyap ditelan bumi karena masyarakat tidak
lagi percaya penuh kepada pemerintah dan negara. Metode penanaman kesadaran
bela negara warisan Orde Baru diemohi oleh masyarakat karena masyarakat telah
menengarai berbagai penyelewengan.
Di saat masyarakat ragu terhadap negara dan
menjauhi pengabdian kepada negara ini, “Soegija” hadir menyegarkan memori
masyarakat dan umat terhadap peran warga negara atas kesadaran untuk membela
negara. Sebuah fragmen dalam film “Soegija” mengisahkan bagaimana Sang Uskup
bersikap menghadapi banyak pengungsi yang sedang berlindung di Gereja Bintaran.
“Saya akan meminta umat dan Gereja untuk
mengumpulkan obat-obatan, bahan-bahan makanan dan selimut.” Di bagian lain,
Uskup Soegija juga mengatakan, “Ini
saatnya kita terpanggil mempertahankan hak Allah, hak agama, dan hak bangsa.”
Ungkapan-ungkapan ini seakan ingin menggali kembali kesadaran umat untuk
berperan serta dalam mewujudkan keselamatan bangsa dan negara. Melalui
“Soegija”, umat digugah untuk terlibat dan berbagi dengan masyarakat
sezamannya.
Jalinan kisah yang ada di dalam film “Soegija”
juga ingin berbicara kepada masyarakat mengenai
lima nilai dasar dalam bela negara, yaitu a) Cinta Tanah Air; b)
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara; c) Keyakinan terhadap Pancasila sebagai
Ideologi Bangsa; d) Sikap Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara; serta e) Kemampuan Awal Bela Negara.
“Soegija” mampu mengungkapkan lima nilai dasar ini melalui kisah-kisah kecil
nan sederhana. Heroisme tidak selalu ditunjukkan melalui tindakan mengangkat
senjata, namun ditampakkan melalui kegiatan sehari-hari. Fragmen keteguhan
sikap saat Gereja hendak dirampas Jepang dan pemindahan tahta Keuskupan dari
Semarang ke Jogjakarta sebagai dukungan kepada Republik merupakan
cuplikan-cuplikan kisah yang mampu berbicara mengenai keberpihakan kepada
bangsa dan negara.
Betapa banyak pelajaran yang dapat kita petik dari
“Soegija”. Kali ini, kita belajar untuk menjadi umat beriman yang siap untuk
membela negara. UUD 1945 Pasal 31 menyatakan, “Setiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam pembelaan negara.” Panggilan untuk membela negara ini
selaras dengan apa yang dinasehatkan oleh Monsinyur Soegijapranata dalam Surat
Gembala berjudul “Alit Ning Mentes –
Kecil Namun Berisi” berikut ini:
“Orang Katolik sudah semestinya bersatu dalam kesatuan
yang tertata dan mempunyai disiplin; mempunyai jiwa merdeka dan
bertanggungjawab; mempunyai tata susila dan sopan santun, rendah hati;
mempunyai semangat rela berkorban untuk kesejahteraan Gereja dan Negara. Orang
Katolik memang bukan bagian yang besar, tetapi harus menjadi bagian yang lebih
baik.”
Di bulan Agustus ini, terlebih menjelang Peringatan
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68, kita diajak merenungkan kembali
peran kita – orang Katolik – sebagai warga negara dan warga masyarakat. Sudahkah
kita menjalankan apa yang dinasehatkan oleh beliau Monsinyur Soegijapranata? Inilah panggilan kita,
seluruh orang Katolik, sebagai warga negara Indonesia. Dengan caranya sendiri,
melalui bahasa khas sinema, “Soegija” telah membangkitkan kesadaran akan
panggilan tersebut.
Gambar diambil dari:
http://www.jagatreview.com/wp-content/uploads/2012/06/Soegija-Pidato.jpg;
http://kebuncerita.com/wp-content/uploads/2012/10/Soegija.png;
http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2012/05/Mgr-pidato.jpg