Kamis, 19 September 2024

Bahagia sebagai Orang Biasa: Endorsement Paus Fransiskus untuk Rakyat Indonesia

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tentu membawa arti tersendiri bagi setiap orang yang mengalaminya. Paus Fransiskus sebagai figur publik tidak tidak akan lepas dari sorotan setiap orang yang melihatnya. Apapun yang disampaikan, yang dilakukan, bahkan yang dipakai oleh Paus Fransiskus bisa menjadi bahan obrolan. Salah satu bahan obrolan yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan adalah tentang apa yang dipakai oleh Paus Fransiskus. 
Kita tahu bahwa alih-alih naik jet pribadi, Paus Fransiskus memilih terbang dengan pesawat komersial ITA Airways Z400 yang disewa khusus sehingga bisa langsung mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang dan tiba di Indonesia pada hari Selasa, 3 September 2024 sekitar pukul 11.25 WIB. Sebelumnya, Paus Fransiskus selalu menggunakan maskapai nasional Italia, Alitalia, untuk melakukan perjalanan kenegaraan. Namun sejak maskapai Alitalia menutup semua penerbangan pada 15 Oktober 2021, ITA Airways menjadi pilihan baru untuk lawatan Paus. Salah satu alasan mengapa Paus Fransiskus memilih menggunakan pesawat komersial ketimbang jet pribadi dalam perjalanan apostoliknya karena lingkungan dan efisiensi. Maskapai ini telah menerapkan sejumlah langkah untuk mengurangi emisi CO2, termasuk perencanaan rute yang efisien dan pengoptimalan penggunaan bahan bakar dengan menggunakan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel - SAF), yang mencampurkan bahan bakar tradisional dengan bahan biologis, sehingga mampu mengurangi emisi hingga 80 persen. 
Setelah turun dari pesawat, Paus Fransiskus dijemput oleh mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid berwarna putih dengan plat nomor SCV 1. Pihak Toyota mengungkap bahwa pilihan menggunakan mobil Toyota Innova tersebut datang dari Paus Fransiskus sendiri. Bahkan, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius  Suharyo mengkonfirmasikan bahwa Paus memilih menggunakan mobil yang banyak digunakan oleh orang kebanyakan. Akhirnya, jadilah digunakan mobil yang banyak digunakan oleh masyarakat, Toyota Innova. Melansir laman resmi Toyota, harga mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid, dibanderol mulai Rp 477.600.000 untuk varian terendah, hingga Rp 633.600.000 untuk varian tertinggi. Soal harga, mobil yang dipakai Sri Paus tersebut jauh lebih murah ketimbang harga mobil dinas Menteri Kabinet Indonesia Maju maupun para pejabat. Diketahui bahwa para Menteri Kabinet Indonesia Maju mendapatkan kendaraan dinas berupa Toyota Crown 2.5 HV G-Executive yang dibanderol sekitar Rp 778 juta, namun saat diimpor ke Indonesia, harganya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Sementara itu, para pejabat di Indonesia rata-rata menggunakan mobil Toyota Alphard, baik untuk mobil dinas maupun pribadi. Harga mobil Alphard pun jelas jauh lebih mahal ketimbang mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid yang digunakan Paus Fransiskus. Misalnya, All New Alphard Hybrid, dibanderol sekitar Rp 1,4 miliar. 
Saat perjalanan menuju Kedutaan Besar Vatikan, Paus Fransiskus tertangkap kamera sedang mengenakan jam tangan murah merk CASIO classic quartz model MQ24-7B, jam tangan yang di Shopee masih ada yang jualnya, yaitu Rp 168 ribuan saat sale dari harga asli Rp 250 ribu. Kebiasaan memakai barang murah sudah dimiliki oleh Paus Fransiskus sejak lama. Sewaktu terpilih menjadi Paus Fransiskus di bulan Maret tahun 2013, Kardinal Jorge Mario Bergoglio menggunakan jam tangan merk SWATCH, classic model SUOB705. Jam SWATCH itu memiliki harga sekitar US$ 55, atau ekuivalen Rp850 ribuan dengan kurs sekarang. Model ini keluaran dekade 1990-an. Mengapa beliau ganti jam tangan dari SWATCH ke CASIO? Pada pertengahan tahun 2021, jam SWATCH itu direlakan oleh Paus untuk dilelang supaya bisa membantu Yayasan Brian LaViolette Scholarship, yang didirikan oleh keluarga LaViolette.
Misi Yayasan ini adalah “untuk memberi dukungan finansial bagi anak-anak yang sedang menempuh pendidikan di SMA.” Yayasan ini dibuat untuk menghormati anak dari keluarga LaViolette, yaitu Brian, yang meninggal saat berusia 15 tahun. Saat dilelang, jam tangan itu laku pada harga US$ 56,250 atau sekitar Rp 868 juta. Harganya naik 1022 kali lipat dari harga belinya. Jadi, harga lelang kondisi bekas jam tangan SWATCH model SUOB705 itu setara dengan 3 buah jam tangan Rolex Datejust 41 dengan kondisi unworn, yang sekitar US$ 18 ribuan per piece. Karena Paus Fransiskus tidak menikmati hasil lelang itu, beliau kemudian membeli jam tangan baru, yang merek CASIO model MQ24-7B itu. 
Cerita lain dari yang dipakai oleh Paus Fransiskus dikisahkan oleh Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Ia mengaku tak sengaja memperhatikan sepatu yang dipakai Paus Fransiskus saat menyambutnya di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa siang. Kemudian, ia memperhatikan sepatu Paus.  Ia menuturkan sepatu yang dipakai Paus Fransiskus saat mendarat di Indonesia terlihat seperti sepatu lama berwarna hitam dengan banyak lekukan. Menurut tradisi dalam Gereja Katolik, Paus biasanya memakai sepatu merah. Sepanjang sejarah Gereja Katolik, warna merah sengaja dipilih untuk mewakili darah para martir Katolik yang ditumpahkan selama berabad-abad mengikuti jejak Kristus. Sepatu kepausan berwarna merah juga dihubungkan dengan kaki Kristus sendiri yang berlumuran darah ketika Ia didorong, dicambuk, dan didorong di sepanjang Via Dolorosa dalam perjalanan menuju penyaliban, yang berpuncak pada penindikan tangan dan kaki-Nya di kayu salib. Sepatu merah juga melambangkan penyerahan Paus kepada otoritas tertinggi Yesus Kristus. Selain itu, dikatakan bahwa sepatu kepausan berwarna merah juga menandakan kasih Tuhan yang membara terhadap umat manusia seperti yang ditunjukkan pada hari Pentakosta ketika jubah merah dipakai untuk memperingati turunnya Roh Kudus ke atas para rasul ketika lidah api hinggap di kepala mereka. Sepatu merupakan salah satu atribut berwarna merah yang dikenakan oleh Paus setelah Paus Pius VI mengubah pakaiannya dari merah menjadi putih.  Selain sepatu, atribut berwarna merah yang tersisa adalah camauro (penutup kepala berwarna merah dengan tepian putih), mozetta (penutup bahu berwarna merah dengan tepian putih), dan mantel luar (mantel lebar berwarna merah). Namun, Paus Fransiskus ini memilih memakai sepatu warna hitam karena tidak ingin menonjolkan diri. Pemakaian sepatu hitam menjadi isyarat simbolis yang mewakili penghayatan Paus Fransiskus pada kerendahan hati dan kesederhanaan. Paus Fransiskus memilih untuk menghindari kebiasaan memakai atribut istimewa tersebut demi penampilan yang lebih sederhana dan membumi.
Dari semua hal yang dipakai oleh Paus Fransiskus ini, saya merefleksikan satu hal. Paus Fransiskus ingin meng-endorse kita untuk bahagia sebagai orang biasa. Kepada orang Indonesia, tampaknya ia ingin berseru, “Berbahagialah dengan kehidupanmu sebagai orang biasa.” Ia berbicara bukan dengan kata-kata tetapi dengan apa yang dipakainya. Saya menjadi ingat dengan kata-kata ini, “Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, sukailah apa yang kamu miliki.” Semoga kita boleh berbahagia sebagai orang biasa. Terimakasih Paus Fransiskus atas yang engkau pesankan melalui yang engkau kenakan.

Sumber Gambar:

Rabu, 04 September 2024

Menelisik Hubungan Diplomatik Indonesia dan Vatikan

Sudah sekian lama Indonesia dan Vatikan saling menjalin hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara satu negara dengan negara lain untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Hubungan diplomatik ini sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu. Untuk dapat menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain, perlu adanya pengakuan (recognition) terlebih dahulu terhadap negara tersebut, terutama oleh negara yang akan menerima perwakilan diplomatik suatu negara (Receiving State). Tanpa adanya pengakuan terhadap negara tersebut, pembukaan hubungan dan perwakilan diplomatik tidak dimungkinkan dan tidak akan bisa dilakukan. Indonesia dan Vatikan sudah memulai hubungan diplomatik tersebut sejak awal setelah dinyatakan kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Dan inilah kisahnya...

Awal Hubungan Diplomatik Indonesia dan Vatikan
Hubungan Indonesia dan Vatikan diawali pada saat Vatikan mengakui keberadaan Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tahun 1946. Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa Vatikan merupakan satu-satunya negara Eropa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan kemerdekaan ini pun berlanjut dengan pembangunan hubungan diplomatik antar negara. Pengakuan kemerdekaan yang dinyatakan oleh Vatikan ini tidak dapat dilepaskan dari peran Monsinyur Albertus Soegijapranata, SJ. Sebagai uskup pribumi pertama di Indonesia, kedudukannya memegang peran kunci dalam mendorong Vatikan untuk turut menyuarakan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, terutama bagi dunia Barat. Monsinyur Soegija ikut terlibat dalam penentuan duta apostolik (apostolic delegaat) sebagai perwakilan Vatikan untuk Indonesia. Ia menyarankan agar perwakilan Vatikan tersebut harus tergolong netral, tidak berkebangsaan Belanda atau Amerika Serikat, sehingga ia dapat bekerja sama dengan semua pihak, secara khusus untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Pada 6 Juli 1947, Paus Pius XII mengangkat Monsinyur de Jonghe d’Ardoye (orang Belgia) sebagai “Delegatus Apostolik di Kepulauan Indonesia” dan pada hari berikutnya Surat Apostolik untuk mendirikan Delegasi Apostolik “di kepulauan Indonesia” dikeluarkan. 
Dalam catatan hariannya, Monsinyur Soegija menulis bahwa pada 5 Juli 1947, Monsinyur George de Jonghe D’ardoye telah ditunjuk oleh Tahta Suci sebagai perwakilan Vatikan untuk Republik Indonesia dan berkedudukan di Jakarta. Tiga minggu setelah pengangkatannya, pada hari Minggu 27 Juli 1947, Monsinyur Jonghe d’Ardoye tiba dengan pesawat terbang di Batavia. Pada tanggal 6 Agustus 1947, Delegatus Apostolik menyerahkan surat resmi yang ditandatangani Monsinyur Tardini kepada Letnan-Jendral Hindia Belanda, Hubertus Johanna van Mook.
Keberadaan Monsinyur George de Jonghe D’ardoye memegang peranan sangat penting karena mayoritas bangsa Barat tidak menaruh dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Keberadaan perwakilan Vatikan menggambarkan bahwa di awal-awal masa kemerdekaan, Vatikan menjadi salah satu entitas politik Barat yang memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Berkat diplomasi Monsinyur Soegija, Vatikan mengambil peran untuk mendesak negara-negara Barat bersimpati kepada Indonesia. Jika ingin mengetahui mengapa dan bagaimana Vatikan mengakui kemerdekaan Indonesia, bisa melihat artikel berjudul "Bagaimana Vatikan Jadi Salah Satu Negara Pertama yang Akui Kemerdekaan Indonesia?" melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134142064/bagaimana-vatikan-jadi-salah-satu-negara-pertama-yang-akui-kemerdekaan-indonesia
Pada 4 Januari 1950, Tahta Suci menginstruksikan wakilnya untuk memberitahukan bahwa Republik Indonesia Serikat diakui oleh Vatikan. Dua hari berikutnya, Monsinyur de Jonghe d’Ardoye secara pribadi menyampaikan keputusan ini kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri Muhammad Hatta. Hatta pun mengusulkan supaya Tahta Suci mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Pada tanggal 10 Januari 1950, Tahta Suci memberitahukan kepada Jakarta, bahwa Tahta Suci menerima usul tersebut dan Internunsiatur akan didirikan serta Tahta Suci akan siap menerima misi diplomatik dari Indonesia. Kesiapan Tahta Suci Vatikan untuk menerima misi diplomatik ini disampaikan pada 16 Maret 1950. Saat itu, Tahta Suci Vatikan mengumumkan, bahwa “Yang Kudus, Tuhan kami berkenan mendirikan Internunsiatur Apostolik di Jakarta dalam Republik Indonesia Serikat, lalu menyetujui pula, bahwa pada saat yang sama itu, untuk mengangkat sebagai Internunsius Yang Mulia Monsinyur Georges de Jonghe d’Ardoye, Uskup Agung Tituler Misthia” (L’Osservatore Romano, 17 Maret 1950). Setelah menerima Surat Kepercayaan, Internunsius baru dapat menyerahkannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 6 April 1950, di Istana Negara. Pendirian Internunsius di Jakarta ini ditanggapi oleh pemerintah Indonesia dengan mengirimkan duta besar kepada Vatikan. Pada 25 Mei 1950, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia Serikat, Sukardjo Wirjopranoto menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Pius XII.

Mengenal Para Utusan Vatikan
Sejak tahun 1947, Vatikan sudah mulai mengirimkan utusan ke Indonesia sebagai perwakilan maupun duta. Perwakilan atau duta yang dikirim oleh Vatikan ini diberi sebutan nunsius. Nunsius (dari bahasa Latin "nuncius atau nuntius") atau nuncio (dari bahasa Italia "nuncio") - yang secara resmi disebut nunsius/nuncio apostolik atau nunsius/nuncio kepausan - adalah gelar untuk kepala diplomat Gerejawi, yang setara dengan duta besar sehingga sering disebut juga sebagai duta besar Takhta Suci. Nunsius mengepalai sekelompok orang yang menjadi perwakilan untuk sebuah negara atau organisasi internasional, di mana perwakilan tersebut disebut sebagai nunsiatur apostolik. Seorang nunsius dilantik oleh dan mewakili Takhta Suci, dan merupakan kepala misi diplomatik, yang disebut sebuah Nunsiatur Apostolik, yang setara dengan sebuah kedutaan besar. Takhta Suci secara hukum berbeda dari Vatikan atau Gereja Katolik. Seorang nunsius biasanya merupakan seorang uskup agung. Seorang nunsius kepausan umumnya memiliki pangkat yang setara dengan duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, meskipun di negara-negara Katolik, nunsius sering kali berpangkat di atas duta besar dalam protokol diplomat. 
Berikut ini adalah para utusan yang pernah mewakili Vatikan di Indonesia:
Georges de Jonghe d’Ardoye lahir pada tanggal 23 April 1887 di Saint-Gilles-les-Bruxelles, Belgia; ditahbiskan sebagai imam pada 21 Mei 1910; anggota dari the Society of Foreign Missions of Paris; diangkat sebagai Uskup Tituler Amathus di Cypro pada 23 Mei 1933 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada 17 September 1933; menjadi Perwakilan Apostolik untuk Indonesia (1947-1950) and Internunsius untuk Indonesia (1950-1955)
Domenico Enrici lahir pada tanggal 10 April 1909 di Cervasea San Stefano, Italia; ditahbiskan sebagai imam keuskupan Cuneo pada 29 Juni 1933; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Ancusa pada tanggal 17 September 1955 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 1 November 1955; menjadi Internunsius untuk Indonesia (1955-1958).
Gaetano Alibrandi lahir pada tanggal 14 Januari 1914 di Castiglione di Sicilia, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Acireale pada tanggal 1 November 1936; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Binda pada 5 Oktober 1961 dan ditahbiskan sebagai uskup pada 8 Desember 1961;  menjadi Internunsius untuk Indonesia (1958-1961).
Ottavio De Liva lahir pada tanggal 10 Juni 1911 di Sevigliano, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Udine pada tanggal 8 Juli 1934; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Heliopolis di Phoenicia pada tanggal 18 April 1962 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 27 Mei 1962; menjadi Internunsius untuk Indonesia (1962-1965).
Salvatore Pappalardo lahir pada tanggal 23 September 1918 di Villafranca Sicula, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Catania pada tanggal 12 April 1941; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Miletus pada 7 Desember 1965 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 16 Januari 1966; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1965-1969).
Joseph Mees lahir pada tanggal 18 April 1923 di Bornem, Belgia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Malines pada tanggal 4 April 1948; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Ypres pada tanggal 14 Juni 1969 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 30 Juni 1969; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1969-1973).
Vincenzo Maria Farano lahir pada 21 Juli 1921 di Trani, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Trani pada tanggal 3 Juni 1944; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Civitanova (Cluentum) pada tanggal 8 Agustus 1973 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 30 September 1973; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1973-1979)
Pablo Puente lahir pada tanggal 16 Juni 1931 di Colindres, Spanyol; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Santander pada tanggal 2 April 1956; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Macri pada tanggal 18 Maret 1980 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 25 Mei 1980; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1980-1986)
Francesco Canalini lahir pada tanggal 23 Maret 1936 di Osimo, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Osimo pada tanggal 18 Maret 1961; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Valeria pada tanggal 28 Mei 1986 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 12 Juli 1986; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1986-1991)
Pietro Sambi lahir pada tanggal 27 Juni 1938 di Sogliano al Rubicone, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Montefeltro pada tanggal 14 Maret 1964; dari klerus; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Belcastro (Bellicastrum) pada tanggal 10 Oktober 1985 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 9 November 1985; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1991-1998)
Renzo Fratini lahir pada tanggal 25 April 1944 di Urbisaglia, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Macerata pada tanggal 6 September 1969; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Botriana pada tanggal 7 Agustus 1993 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 2 Oktober 1993; menjadi Nunsius untuk Indonesia (1998-2004)
Albert Malcolm Ranjith Patabendige Don lahir pada tanggal 15 November 1947 di Polgahawela, Sri Lanka; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Kolombo pada tanggal 29 Juni 1975; diangkat sebagai Uskup Tituler Cabarsussi pada tanggal 17 Juni 1991 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 31 Agustus 1991; menjadi Nunsius untuk Indonesia dan untuk Timor Timur (2004-2005)
Leopoldo Girelli lahir pada tanggal 13 Maret 1953 di Predore, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Bergamo pada tanggal 17 Juni 1978; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Capri (Capreae) pada tanggal 13 April 2006 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 17 Juni 2006; menjadi Nunsius untuk Indonesia (2006-2011)
Antonio Guido Filipazzi lahir di Melzo, Italia, 8 Oktober 1963; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Ventimiglia-Sanremo pada tanggal 10 Oktober 1987; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Sutri and Nunsius Apostolik pada tanggal 8 Januari 2011 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 5 Februari 2011 oleh Paus Benediktus XVI; menjadi Nunsius Apostolik untuk Indonesia (2011-2017)
Piero Pioppo lahir di Savona, Italia Utara, pada 29 September 1960; ditahbiskan imam Keuskupan Acqui Terme pada 29 Juni 1985; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Torcello pada 25 Januari 2010 dan ditahbiskan uskup pada 18 Maret 2010; menjadi Nunsio Apostolik untuk Indonesia mulai 8 September 2017.

Buah-buah Diplomasi
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan membuahkan beberapa peristiwa yang menandai relasi baik antara pemerintah Indonesia dan Tahta Suci Vatikan. Setelah hubungan diplomatik secara resmi terbangun, tercatat bahwa Presiden Republik Indonesia beberapa kali berkunjung ke Vatikan. Soekarno tercatat sebagai presiden Republik Indonesia yang paling sering berkunjung ke Vatikan. Pada 13 Juni 1956, Soekarno diterima dalam audiensi oleh Paus Pius XII dan dianugerahi medali Grand Cross of Pian Order. Pian Order atau Ordo Paus Pius IX adalah Ordo Kesatriaan Kepausan yang awalnya didirikan oleh Paus Pius IV pada tahun 1560. Kunjungan Soekarno berikutnya dilakukan pada 14 Mei 1959 dan diterima oleh Paus Yohanes XXIII. Rekaman kunjungan ini bisa dilihat melalui video berikut ini:
Saat itu, Soekarno mengundang Paus supaya mengunjungi Indonesia. Dua kunjungan Presiden yang lain berlangsung pada 15 Juni 1963 saat sede vacante (kekosongan tahta Paus sesudah wafat Yohanes XXIII) dan pada 12 Oktober 1964 saat bertemu dengan Paus Paulus VI. Rekaman kunjungan ini bisa dilihat melalui video berikut ini:
Perkembangan lain dari buah hubungan diplomasi yang baik antara Indonesia dan Vatikan  dirasakan oleh Gereja Katolik. Pada 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII mengeluarkan Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus untuk mendirikan hirarki Katolik di Indonesia. Enam Provinsi Gereja diadakan (Jakarta, Semarang, Ende, Medan, Pontianak dan Makassar); vikariat-vikariat apostolik menjadi keuskupan atau keuskupan agung. Dengan dikeluarkannya Quod Christus Adorandus, dua puluh vikariat apostolik dan tujuh prefektur apostolik yang ada di Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi keuskupan agung dan keuskupan. Sejak saat itu juga, ada uskup di masing-masing wilayah Gerejawi yang mempunyai wewenang penuh mengatur penggembalaan. Peningkatan status ini memberikan konsekuensi bahwa Gereja Katolik di Indonesia sepenuhnya dianggap mampu untuk menjalankan pelayanan penggembalaan secara mandiri dan tidak lagi tergantung dari induk misi yang saat itu ada di Belanda. Pelaksanaan Konstitusi Apostolik tersebut dipercayakan kepada Internunsius Apostolik pada waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi
Buah diplomasi yang lain adalah dinaikannya status perwakilan kepausan dari Internunsiatur menjadi Nunsiatur. Pada 7 Desember 1966, Internunsiatur di Indonesia diangkat menjadi setingkat Nunsiatur Apostolik. Internunsius (jabatan tertinggi pada Internunsiatur) adalah diplomat Vatikan dengan pangkat menteri yang berkuasa penuh; diakreditasi pada pemerintahan sipil dan melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan tugas seorang nunsius (jabatan Internunsiatur setingkat dengan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh); sedangkan Nunsius (jabatan tertinggi pada Nunsiatur) adalah diplomat Vatikan yang diakreditasi sebagai duta besar untuk pemerintahan sipil yang memelihara hubungan diplomatik resmi dengan Takhta Suci. Pada tanggal yang sama, Monsinyur Salvatore Pappalardo diangkat menjadi Pro-Nunsius Apostolik di Indonesia. Pada tanggal 16 Mei 1966, Duta Isa Mohammad Nazir menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Paulus VI, yang mengakreditasikannya sebagai Duta Besar. Sebagai konsekuensi dari dinaikannya status perwakilan kepausan, pada tahun yang sama, pada tanggal 1 Juni, gedung baru Nunsiatur Apostolik diresmikan. Pendirian gedung baru Perwakilan Kepausan diawali oleh Monsinyur de Liva pada Oktober 1964 dan dilaksanakan sesuai rancangan arsitek Jerman Hermann Bohnekamp. Proses pembangunan berlangsung sekitar dua tahun. Pembukaan resmi gedung baru berlangsung pada 29 Juni 1966 dan dihadiri Presiden Soekarno. 
Buah hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan Tahta Suci Vatikan secara tidak langsung juga ditunjukkan melalui terpilihnya para klerus dari Indonesia sebagai kardinal. Kardinal adalah seorang klerus (kaum tertahbis dalam Gereja Katolik) yang dipilih sebagai pejabat khusus secara pribadi oleh Paus. Jadi, pemilihan kardinal ini sepenuhnya menjadi hak Paus. Paus memilih dan melantik para kardinal ini melalui sebuah upacara yang disebut dengan konsistorium atau konsistori. Lebih jauh mengenai para kardinal ini bisa dibaca melalui postingan berjudul "Ikut Bersukacita Menyambut Pengangkatan Monsinyur Ignatius Suharyo sebagai Kardinal" melalui link https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2019/10/ikut-bersukacita-menyambut-pengangkatan.html, Pada Konsistorium 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengangkat Monsinyur Justinus Darmojuwono, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Nama Tersuci Jesus dan Maria’ di Via Lata. Dialah Kardinal Indonesia pertama. Pada Konsistorium 26 November 1994, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Julius Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Hati Suci Maria’. Ia adalah kardinal kedua dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Pada Konsistorium 5 Oktober 2019, Paus Fransiskus mengangkat Ignatius Suharyo Harjoartmojo, Uskup Agung Jakarta sebagai kardinal dan diberi gelar Kardinal Imam Spirito Santo alla Ferratella. Ia adalah kardinal ketiga dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jika ingin lebih lanjut mengenal para kardinal dari Indonesia, bisa dilihat postingan berjudul "Mengenal Para Kardinal dari Indonesia" melalui link https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2019/10/mengenal-para-kardinal-dari-indonesia.html.  
Buah diplomasi Indonesia dan Vatikan berikutnya adalah terjadinya kunjungan Paus ke Indonesia. Tercatat, ada 3 orang Paus yang mengunjungi Indonesia sampai saat ini. Yang pertama, pada 3 Desember 1970, dalam rangkaian kunjungannya ke Asia dan Oseania, Paulus VI mengunjungi Indonesia. Ia tiba di Jakarta dari Sydney dan disambut oleh Presiden Soeharto. Paus bertemu dengan para imam dan biarawan/wati di Katedral Ibukota. Sesudah beristirahat di Nunsiatur dan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Indonesia, Paus merayakan Misa Kudus di Stadion Senayan sebelum meneruskan perjalanannya ke Hong Kong. Pada masa itu, Monsinyur Joseph Mees menjadi Wakil Kepausan. Kunjungan ini berlangsung singkat namun membekas di hati umat Katolik karena Paus Paulus VI menjadi kepala negara Vatikan pertama yang mengunjungi Indonesia.
Yang kedua, dalam kunjungannya Apostolik ke Asia Timur dan Mauritius (6-16 Oktober 1989), Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia dari 9 sampai 14 Oktober 1989.  Di ibukota, Paus bertemu dengan uskup-uskup, pejabat sipil, tokoh-tokoh keagamaan, klerus dan biarawan/wati serta mengunjungi tempat-tempat budaya. Selama berada ibukota Paus tinggal di Nunsiatur Apostolik, yang pada waktu itu dikepalai Monsinyur Francesco Canalini. Kunjungan ini berlangsung cukup lama. Sekitar 5 hari Paus Yohanes Paulus II berada di Indonesia. Selama berada di Indonesia, Paus Yohanes Paulus II tidak hanya berada di Jakarta, tetapi juga mengunjungi Yogyakarta, Maumere, Dili, dan Medan. Saat itu, umat Katolik di Indonesia bergembira karena bisa melihat dari dekat sang Gembala Tertinggi Gereja Katolik karena Paus di setiap tempat berkesempatan untuk mempersembahkan Ekaristi.
Yang ketiga, dalam rangkaian kunjungannya ke Asia dan Oseania (2-13 September 2024), Paus Fransiskus mengagendakan untuk mengunjungi Indonesia dari 3 sampai 6 September 2024. Setelah itu, Paus Fransiskus akan menempuh perjalan ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Kunjungan Paus ini seakan mengobati kerinduan umat Katolik di Indonesia yang sudah 35 tahun menanti kunjungan Gembala Tertingginya. Euforia kegembiraan menyambut Paus Fransiskus ini menggelora di hati setiap orang Katolik. Semoga kehadiran Sri Paus di Indonesia semakin mempererat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan serta memberikan berkat kepada setiap orang yang berkehendak baik.

Sumber Gambar:

Sumber Pustaka:
Nunsiatur Apostolik Indonesia. "Perwakilan Kepausan di Indonesia" dalam https://nunciatureindonesia.org/former-representatives/?lang=id Diakses 23 Agustus 2024.
Redaksi Katolikana. "Soekarno dan Tiga Medali Tertinggi Vatikan" dalam https://www.katolikana.com/2019/11/10/soekarno-dan-tiga-medali-tertinggi-vatikan/ Diakses 24 Agustus 2024.
Anonim. "Ordo Paus Pius IX" dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_Paus_Pius_IX Diakses 24 Agustus 2024.
Yusti H. Wuarmanuk. "Panorama Misi Gereja Mandiri Semarang" dalam https://www.hidupkatolik.com/2020/04/19/46961/panorama-misi-gereja-mandiri-semarang.php Diakses 24 Agustus 2024.

Rabu, 06 Maret 2024

Gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) sebagai Gerakan Pertobatan Keluar dan Kedalam Keuskupan Agung Semarang pada Masa Prapaskah

Pada bulan Maret 2024, Gereja Katolik di seluruh dunia sedang mengalami masa khusus dalam kehidupan iman, yaitu Masa Prapaska yang dimulai dengan perayaan Rabu Abu pada tanggal 14 Februari 2024. Mengenai Masa Prapaska, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa Masa Prapaska - dalam liturgi maupun dalam katekese liturgis - menampilkan dua ciri khas masa "empat puluh hari” ini, yakni 1) mengenangkan atau menyiapkan Baptis dan 2) membina pertobatan. Masa Prapaska merupakan masa yang lebih intensif mengajak umat beriman untuk mendengarkan sabda Allah dan berdoa sehingga mereka dapat menyiapkan diri untuk merayakan misteri Paska. Pertobatan selama masa empat puluh hari  itu hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan. Adapun praktek pertobatan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dan pelbagai daerah pun juga dengan situasi umat beriman, hendaknya makin digairahkan, dan dianjurkan oleh pimpinan gerejawi (Sacrosanctum Concillium 109-110). Dalam tata kelola Gereja, Konsili Vatikan II menetapkan bahwa kewenangan untuk mengatur liturgi dalam Gereja "semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup. Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai macam Konferensi Uskup se-daerah yang didirikan secara sah. Maka dari itu tidak seorangpun, meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri." (Sacrosanctum Concillium 22). Demikianlah yang terjadi di Keuskupan Agung Semarang, sejak tahun 1970-an, Gereja Katolik Keuskupan Agung menetapkan Gerakan Aksi Puasa Pembangunan atau yang dikenal dengan Gerakan APP sebagai langkah nyata pertobatan yang khas bagi umat Keuskupan Agung Semarang. Dalam tulisan ini, kita akan melihat lebih jauh mengenai Gerakan APP yang sudah terjadi di Keuskupan Agung Semarang.

Seringkali Gerakan APP dipahami sebagai kegiatan yang diisi dengan pendalaman atau sarasehan umat seputar tema APP yang sudah ditetapkan oleh Keuskupan Agung Semarang. Bahkan tidak jarang pendalaman atau sarasehan itu kental dengan nuansa ibadat yang melibatkan aturan liturgis tertentu. Atau seringkali dipahami bahwa Gerakan APP merupakan gerakan untuk mengumpulkan uang dalam kotak yang diedarkan kepada umat selama Masa Prapaska di Keuskupan Agung Semarang. Beberapa pandangan ini merupakan pandangan yang kurang tepat terhadap Gerakan APP. Bicara mengenai Gerakan APP, perlu disadari bahwa gerakan ini merupakan gerak pertobatan "kedalam" dan "keluar" yang perlu dihayati oleh seluruh umat.

Gerakan APP menjadi gerakan "kedalam" karena umat diajak untuk mengolah diri menjadi pribadi yang lebih baik untuk mempersiapkan diri merayakan Paska. Pengolahan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik ini ditandai dengan laku pantang dan puasa. Pantang dan puasa merupakan tindakan yang erat dengan pengendalian diri. Pantang berarti mengurangi atau menghindari untuk melakukan atau mengonsumsi hal-hal yang disukai, misalnya pantang rokok, pantang daging, pantang telur, pantang jajan, pantang main game, dan sebagainya. Orang Katolik wajib berpantang pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat sampai Jumat Agung. Jadi, pantang hanya dilakukan pada 7 hari selama masa Prapaska. Yang wajib berpantang adalah semua orang katolik yang berusia empat belas (14) tahun ke atas. Puasa berarti makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Ada banyak tafsiran mengenai puasa ini. Bisa dihayati sebagai makan hanya satu kali sehari, makan kenyang satu kali sehari sedangkan yang lain tidak kenyang, dan sebagainya. Orang Katolik wajib berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Jadi, selama masa Prapaska, kewajiban puasa hanya dua hari saja. Yang wajib berpuasa adalah semua orang beriman yang berumur antara delapan belas (18) tahun sampai awal enam puluh (60) tahun. Aturan pantang dan puasa terasa begitu ringan. Yang perlu disadari adalah semangat tobat yang hendak dibangun saat menjalankan pantang dan puasa dalam kehidupan beriman. Jika umat beriman ingin memberikan tekanan lebih pada tindakan pantang dan puasa yang diakukannya sehingga menjadi lebih berat daripada yang sudah ditetapkan oleh Gereja, tentu sangat diperbolehkan sejalan dengan semangat tobat yang ingin dihayati. Penetapan puasa dan pantang secara pribadi secara lebih berat yang dilakukan oleh umat beriman di luar yang sudah ditetapkan oleh Gereja tidak mengikat dengan sangsi dosa. Pantang dan puasa dalam Masa Prapaska ini juga harus disertai dengan olah rohani. Selama masa Prapaskah ini, kita juga diundang untuk tekun membina kesalehan hidup, baik kesalehan rohani yang kita dapat wujudkan dengan 1) tekun setia dalam doa, membaca dan merenungkan sabda Tuhan, 2) tekun merayakan Ekaristi, 3) menerima Sakramen Tobat, 4) memperdalam khazanah pengetahuan iman, 5) mengikuti berbagai kesempatan untuk olah rohani (rekoleksi atau retret), serta 6) melaksanakan keutamaan hidup pribadi dalam setiap perbuatan baik yang kita usahakan. Inilah makna Gerakan APP sebagai gerakan "kedalam" sehingga membuat setiap orang Katolik meningkat dalam kebaikan pribadi.

Selain "kedalam," Gerakan APP harus menjadi gerakan "keluar" dimana setiap orang Katolik diutus menjadi berkat kepada semua orang yang ada di sekitarnya. Tindakan ini dilakukan melalui derma dan amal kasih. Oleh karena itu, dalam Masa Prapaska, keluarga-keluarga Katolik menerima Kotak APP sebagai sarana untuk mewujudkan diri menjadi berkat bagi orang lain. Sejak awal, Gerakan APP sudah digagas sebagai gerakan yang dapat memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan rakyat merupakan wujud dari pelayanan yang mendahulukan kaum miskin dengan pendekatan analisis struktural sekaligus kultural. Gerakan APP diharapkan sebagai penggerak pembangunan demi terwujudnya Kerajaan Allah. Dalam sejarahnya, Gerakan APP ini dimulai pada tahun 1970-an. Sejak Sinode Para Uskup tahun 1971, Gereja Katolik semakin menyadari bahwa pewartaan Injil tanpa usaha menegakkan keadilan tidaklah utuh. Mengaku Allah tetapi melupakan perjuangan keadilan dan pembebasan adalah sama dengan mengaku mencintai Allah tanpa sesama. Selanjutnya, kesadaran Gereja ini diwujudkan dalam bentuk pilihan mendahulukan kaum miskin dan tidak berdaya, preferential option for (and with) the poor and oppressed. Mendahulukan kaum miskin dan tertindas, memperjuangkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan, merupakan wujud serta tanda kesetiaan Kepada Injil Yesus. Gagasan APP diinisiasi pada tahun 1969 oleh R.P. Carolus Carri, SJ yang saat itu menjabat Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang. R.P. Carri yang menaruh kepedulian terhadap masalah-masalah sosial memanggil R.D. Gregorius Utomo untuk mempersiapkan kegiatan Aksi Puasa yang bisa menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin seperti yang disampaikan oleh Paus Paulus VI melalui dokumen Ajaran Sosial Gereja yang berjudul Populorium Progressio (1967). Gerakan ini berdasar pada pemahaman bahwa inti pewartaan Injil adalah Kerajaan Allah yang berpusat pada kebenaran, damai, dan sukacita. Ketiga karakter atau dimensi Kerajaan Allah ini tidak hanya berkaitan dengan bidang spiritual atau perasaan, melainkan dengan realitas yang harus diimplementasikan dalam kenyataan hidup konkrit. Oleh karena itu, gagasan yang ingin disampaikan dalam Gerakan APP adalah bagaimana nilai-nilai Kerajaan Allah bisa menyentuh hal-hal yang sehari-hari dialami oleh masyarakat. Keadilan dan kebenaran selalu mengacu pada hubungan sosial yang benar dengan pengertian dasar pembelaan terhadap yang lemah dan pembebasan orang-orang tertindas (Mzm 82). Mengenal Yahwe (Allah) berarti melakukan keadilan (Yer 22:16). Melakukan keadilan berarti masuk dalam hubungan dengan Allah yang memberikan hidup, dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan ciptaan. Yang menjadi dasar Gerakan APP adalah pertobatan yang mengarahkan diri kepada Allah dan ikut serta membangun Kerajaan-Nya. Wujud dan buah pertobatan bisa bermacam-macam dan selalu berkait erat dengan keadilan sebagaimana dikatakan Nabi Yesaya: "Inilah puasa yang kusukai membuka belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali mencekit, membebaskan yang teraniaya, mematahkan setiap penindasan..." (Yes 58). Dana yang dikumpulkan dalam Gerakan APP sebagai salah satu buah dari proses pertobatan melalui gerakan APP terarah kepada kesejahteraan dan kedamaian manusia terutama bagi mereka yang kehilangan harapan, tersingkir dan tertindas. Dengan demikian gerakan APP menjadi persembahan kepada Tuhan untuk keselamatan bersama. Pengumpulan dana ini akan digunakan oleh Gereja untuk mengalirkan berkat (dana) yang diperolehnya ke tengah masyarakat untuk pengembangan atau pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan dan kedamaian manusia. Dana yang dikumpulkan melalui Gerakan APP ini menjadi cara Gereja untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, prinsip subsidiaritas dan solidaritas sangat dikedepankan dalam pemanfaatan dana ini. Dana APP mengakomodasi kebutuhan dua kelompok umat dan masyarakat dengan kateori berikut: 1) Mereka yang berkekurangan dan atau yang ingin membangun kemandirian hidup serta 2) Mereka yang miskin dan berkekurangan dalam hal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Dana APP tidak hanya diperuntukkan bagi umat Katolik saja, tetapi diperuntukkan bagi siapa saja yang termasuk dalam kategori KLMTD, terutama mereka yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar tahap I (pangan, sandang, papan), maupun kebutuhan dasar tahap II (pendidikan, kesehatan, lapangan kerja). Dana APP dapat diperuntukkan untuk mereka yang tidak beragama Katolik, tetapi dalam hal ini, pihak pemohon (paroki) perlu bijaksana terutama untuk tidak menimbulkan gejolak sosial (isu SARA). Inilah makna Gerakan APP sebagai gerakan "keluar" sehingga dana APP dapat menjadi sarana untuk menjangkau kebutuhan setiap orang - termasuk mereka yang tidak beragama Katolik - yang memerlukan bantuan.

Berkaitan dengan Dana APP, ada beberapa wawasan yang bisa dipahami agar pemanfaatan dana tersebut sesuai dengan arahan Gereja Katolik. Menurut materi Sosialisasi Juknis Buku APP Tahun 2024, semangat dasar yang menghidupi pemanfaatan Dana APP adalah cinta kasih, solidaritas, subsidiaritas, dan kemurahan hati. Selain itu, dana APP juga dimanfaatkan dalam semangat Deus caritas est yang berarti bahwa Allah adalah kasih serta Yesus adalah Sang Gembala baik yang mencari dan menyelamatkan. Dana APP ini juga ingin berpihak kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Pemanfaatan dana APP juga memiliki prinsip dan kriteria. Adapun prinsip pengelolaan dana APP adalah 1) ditujukan untuk pelayanan karitatif dan pemberdayaan, terutama bagi mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel; 2) tepat sasaran, terkendali, transparan, dan akuntabel; 3) mengembangkan semangat keadilan dan pemerataan; serta 4) melibatkan berbagai pihak (termasuk dalam hal pendanaan yaitu dana swadaya dari masyarakat atau umat serta dana subsidi dari paroki). Adapun kriteria yang digunakan dalam pengelolaan dana APP ini adalah 1) selaras dengan kepentingan, citra, dan jatidiri Gereja; 2) sesuai kebutuhan (memenuhi kebutuhan dasar dan pemberdayaan); serta 3) layak, pantas, wajar, tidak berlebihan, efektif, dan efisien. Hal terakhir yang perlu diperhatikan berkaitan dengan dana APP ini adalah spesifikasi pemanfaatan dana. Bidang-bidang yang dapat mengambil manfaat dari dana ini adalah 1) Bidang Kesejahteraan (pemenuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan umum), 2) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Perorangan maupun Kelompok (pemberdayaan pada bidang pertanian, peternakan, perikanan, UMKM, ketrampilan dan jasa), 3) Bidang Pengembangan Iman dan Motivasi (retret, pelatihan, rekoleksi, kaderisasi dan sebagainya), 4) Bidang Emergency Response (bantuan kedaruratan bencana alam serta bantuan berkaitan dengan air, sanitasi, dan kebersihan atau WASH seperti yang dicanangkan oleh UNICEF). Berbagai macam catatan mengenai pemanfaatan Dana APP ini tentunya akan terus berubah sesuai perkembangan zaman. Namun, melalui dana APP, Gereja Katolik untuk menjadikan dirinya sebagai institusi yang terus signifikan dan relevan dengan zaman. Mengenai teknis pemanfaatan Dana APP ini, silakan menghubungi Tim Pelayanan PSE APP yang ada di bawah Bidang Diakonia paroki masing-masing.


Inilah sekilas yang dapat disampaikan berkaitan dengan Gerakan APP. Semoga tulisan sederhana ini semakin membuat kita menyadari bahwa APP merupakan gerakan "kedalam" maupun "keluar."

Sumber Pustaka:
Panitia Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Agung Semarang. Kembali ke Semangat Dasar Aksi Puasa Pembangunan, Kerangka Dasar. Semarang: Panitia Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Agung Semarang. 2002.
Martinus Sutomo, Pr. "Sosialisasi Buku Juknis APP 2024" (Materi Presentasi). Surakarta: Komisi PSE Kevikepan Surakarta. 2024.

Senin, 19 Februari 2024

Mengenal Negara Kota Vatikan, Pusat Pemerintahan Gereja Katolik

Dalam bulan Februari, ada salah satu tanggal yang digunakan oleh Gereja Katolik untuk memperingati kepemimpinan Petrus. Setiap tanggal 22 Februari, diperingati Pesta Tahta Santo Petrus. Tahta Santo Petrus (dalam bahasa Latin dikenal dengan Cathedra Petri) disimbolkan dalam rupa Kursi Santo Petrus, sebuah wadah relikui yang disimpan di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Wadah relikui hasil pahatan artis Benini tersebut digunakan untuk menempatkan potongan kayu dari sebuah kursi yang menurut tradisi telah digunakan oleh Rasul Santo Petrus, pemimpin Gereja perdana di Roma dan secara resmi sebagai Paus pertama. Pada 2012, Paus Benediktus XVI menyebut kursi tersebut sebagai "sebuah lambang misi khusus Petrus dan para penggantinya untuk menaungi kawanan Kristus, menjaganya bersatu dalam kepercayaan dan kasih." 

Peringatan ini merupakan penegasan terhadap otoritas yang diberikan Yesus kepada Petrus dan para penggantinya (para Paus) untuk memimpin Gereja di dunia ini. Maksud dari peringatan Pesta Tahta Santo Petrus adalah untuk menghormati Petrus sebagai wakil Kristus dan gembala tertinggi Gereja yang mempunyai kuasa rohani atas segenap anggota Gereja dan semua Gereja setempat. Dari tahta di Roma, Petrus dan para penggantinya (yaitu para Paus) memegang kunci dan mempertahankan persatuan Gereja dalam ajaran iman dan moral. Kuasa Petrus ini, yang lazim disebut Primat Petrus, diberikan langsung oleh Yesus sebelum kenaikan-Nya ke surga (Yoh. 21:15-19).

Kitab Suci menyebutkan bahwa Petrus memiliki peran khusus. Teks tertua yang menyebut tentang Petrus berasal dari Surat Paulus  kepada umat di Korintus: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah dibangkitkan Allah pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci; bahwa ia telah menampakkan diri kepada Kefas, dan kemudian kepada kedua belas murid” (1 Kor 15:3-5). Dalam teks ini, Pertus mendapat prioritas, ia disebut pada tempat pertama. Prioritas yang sama ini juga tampak dalam Injil Lukas, “Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan menampakkan diri kepada Simon” (Luk 24:34). Teks-teks itu menunjukkan betapa pentingnya penampakan Tuhan diberi legitimasi oleh seorang saksi iman yang terpercaya sehingga Petrus ditampakkan sebagai saksi iman akan penampakan Tuhan di antara jemaat perdana. Selain dua teks itu, beberapa teks lain dalam Kitab Suci menjadi tanda bahwa Petrus menduduki tempat pertama dalam kelompok kedua belas murid inti. Saat menyebut daftar kedua belas rasul, semua teks menyebut Petrus pada tempat pertama. Juga saat Kitab Suci menyebut ketiga rasul yang paling akrab dengan Yesus, Petrus selalu disebut pada tempat pertama sebelum Yakobus dan Yohanes. Petrus juga selalu berfungsi sebagai juru bicara para rasul. Jika pihak luar ingin berhubungan dengan kelompok para rasul, seperti di dalam kasus para pemungut bea bait Allah, Petruslah orang pertama yang dihubungi.

Petrus juga merupakan satu-satunya murid yang namanya diubah oleh Yesus. Dalam Kitab Suci, pemberian nama baru macam ini hanya terjadi pada tiga orang, yakni Abram menjadi Abraham (Kej.17:5), Sarai menjadi Sara (Kej.17:5) dan Yakob menjadi Israel (Kej. 32:28). Perubahan nama selalu menyangkut suatu janji yang berkaitan dengan pendasaran keberadaan umat Allah. Perubahan nama juga terjadi pada Petrus karena Petrus dipilih menjadi dasar umat Allah yang baru. Teks yang selalu dikutip berkenaan dengan perubahan ini adalah Mat 16:13-19 dimana Yesus menjanjikan kepada Simon bahwa berdasarkan imannya yang ditanam Allah sendiri ia bakal menjadi dasar yang kuat. Dasar itu bisa dianggap sebagai wadas di atasnya umat Kristus bisa didirikan. Simon sekaligus menjadi pengurus rumah di dalam kerajaan Allah dan pemegang kuncinya. Ini berarti Simon mempunyai otoritas rohani yang diakui dengan sungguh oleh Allah di surga.

Bicara mengenai Tahta Petrus, kita tidak bisa melepaskan pandangan kita dari tempat yang menjadi keberadaan Tahta Petrus ini. Pembicaraan mengenai Tahta Petrus akan membawa kita kepada sebuah kota yang menjadi pusat Gereja Katolik, yaitu Vatikan. Dalam pendalaman ajaran iman kali ini, kita akan berbicara mengenai Kota Vatikan untuk memperingati Pesta Tahta Santo Petrus.

Kota Vatikan lebih dikenal secara internasional dengan nama Negara Kota Vatikan. Kota Vatikan adalah negara yang mandiri dan merdeka di dalam kota Roma. Wilayah Vatikan meliputi daerah seluas 44 hektar dan memiliki sekitar 1.000 warga negara. Seluruh warga negaranya lahir di luar Vatikan. Vatikan menjadi negara mandiri berkat perjanjian antara Tahta Suci dan Kerajaan Italia. Perjanjian itu dinamai Perjanjian Lateran yang ditandatangani pada tanggal 11 Februari 1929. Perjanjian ini diperbarui pada tahun 1984 setelah sistem pemerintahan Italia berubah menjadi sistem republik. Nama resmi Vatikan adalah Città del Vaticano atau secara lebih formal disebut Stato della Città del Vaticano. Dalam dokumen resmi, nama yang digunakan adalah Status Civitatis Vaticanæ. Bahasa resmi yang digunakan dalam dokumen-dokumen resmi adalah bahasa Latin, sedangkan bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Italia. 

Nama “Vatikan” sudah digunakan sejak Kekaisaran Romawi untuk menyebut daerah perbukitan di pinggir Sungai Tiber. Orang mengenalnya dengan Bukit Vatikan. Pada abad I, Bukit Vatikan pernah menjadi wilayah yang dipenuhi rumah peristirahatan para bangsawan Romawi. Di Bukit itulah, menurut tradisi, Petrus mengalami kemartiran dan dikuburkan. Catatan paling awal yang merekam kematian Petrus adalah surat Klemens, Uskup Roma, kepada umat di Korintus yang ditulis sekitar tahun 96 Masehi. Sejarawan Eusebius menulis bahwa Petrus "datang ke Roma, dan disalibkan dengan posisi kepala di bawah" berdasarkan catatan Origenes. Dimana dan bagaimana Petrus mati juga disebutkan oleh Tertulianus dalam tulisannya Scorpiace, yang menyebut bahwa kematian Petrus terjadi selama penganiayaan orang Kristen oleh Nero. Tacitus menyebut tentang penganiayaan orang Kristen dalam tulisannya Annals, meski tidak menyebut nama Petrus. "Mereka dicabik-cabik oleh anjing sampai tewas, atau dipaku pada kayu salib, atau dijebloskan ke api dan terbakar." Lebih lanjut, Tertulianus mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi di taman kerajaan dekat Sirkus Nero. Selain tempat itu, tidak ada tempat yang memungkinkan lagi untuk penganiayaan publik setelah peristiwa kebakaran besar Kota Roma yang menghancurkan Sirkus Maximus dan bagian kota lainnya pada tahun 64 M.

Dalam perkembangan waktu, sekitar tahun 326, Kaisar Konstantinus memerintahkan untuk membangun gereja besar atau basilika untuk menandai makam Petrus. Berikut ini adalah gambar Basilika Santo Petrus pada tahun 1450-an:
Basilika yang dibangun tahun 326 itu kemudian direnovasi pada tahun 1506. Pembangunan basilika baru terjadi sampai tahun 1626. Berikut ini adalah gambar Basilika Santo Petrus baru sekitar tahun 1753:
Basilika Santo Petrus menjadi bangunan terpenting di Kota Vatikan karena di sanalah terdapat makam Santo Petrus. Basilika Santo Petrus menjadi simbol pusat pemerintahan dan tempat tinggal Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik.

Negara Kota Vatikan memiliki sistem pemerintahan yang sangat khusus. Nama resmi pemerintahan Kota Vatikan adalah Tahta Suci dengan Paus sebagai pemimpin negara. Kekuasaan legislatif ada di Komisi Kepausan yang terdiri dari dewan para kardinal yang dipilih oleh Paus setiap lima tahun. Kekuasaan eksekutif ada di tangan Presiden Komisi yang dibantu oleh Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal. Meskipun ada pembagian kekuasaan, di atas semuanya itu, Paus memiliki kekuasaan mutlak dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif di seluruh wilayah Kota Vatikan. Sistem pemerintahan Tahta Suci disebut Kuria Roma. Kuria Roma terdiri dari serangkaian kantor yang mengendalikan urusan Gereja pada tingkat yang paling tinggi. Kuria Roma terdiri dari Sekretaris Negara, sembilan Kongregasi, tiga Tribunal (Pengadilan Gereja), sebelas Dewan Kepausan, dan tujuh Komisi Kepausan. Sebagai sebuah negara merdeka, Vatikan juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara melalui pertukaran duta besar antara Vatikan dan negara tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Vatikan sejak 1947, 
Selayaknya negara mendiri, Kota Vatikan juga memerlukan biaya untuk menjalankan roda ekonominya. Ekonomi Vatikan disokong oleh sumbangan umat Katolik seluruh dunia, penjualan souvenir, penjualan tiket museum, donasi dari beberapa negara, biaya masuk dan visa turis, serta penjualan berbagai benda publikasi yang terkait dengan Kota Vatikan. 

Negara Kota Vatikan memiliki sistem keamanan yang didukung oleh Garda Swiss sebagai kekuatan militer dan Corpo della Gendarmeria sebagai kekuatan kepolisian. Garda Swiss adalah pasukan yang terdiri dari para pemuda Swiss yang beragama Katolik dan disumpah sebagai pengawal pribadi Paus. Gendarmeria bertanggungjawab atas ketertiban publik, penegakan hukum, pengendalian massa dan lalu lintas, serta penyelidikan kriminal di Vatikan.


Sebagai negara berdaulat, Vatikan memiliki bendera berwarna kuning putih dengan lambang Tahta Suci di sebelah kanan pada bagian putih. 
Vatikan merupakan pusat pemerintahan Gereja Katolik Roma. Setiap orang Katolik perlu mengenal keberadaan kota ini. Semoga kita semakin mencintai dan mau mendalami iman kita melalui pengenalan ini...

Sumber Gambar:

Sumber Pustaka:
_____. "Saint Peter's tomb" dalam https://en.wikipedia.org/wiki/Saint_Peter%27s_tomb. Diakses 5 Februari 2024.
_____. "Vatican City" dalam https://en.wikipedia.org/wiki/Vatican_City. Diakses 2 Februari 2024.
Frater Kristo Suhardi, SVD. "Pesta Tahta Santo Petrus (22 Februari)" dalam https://www.seminariledalero.org/post/2017/02/21/pesta-tahta-santo-petrus-22-februari. Diakses 2 Februari 2024.