Minggu, 03 November 2024

Catatan Kegiatan Literasi Iman: Menyelami Seluk Beluk Kepausan dalam Gereja Katolik

Kepausan dalam Gereja Katolik menjadi salah satu unsur dalam Gereja Katolik yang tidak pernah habis dibicarakan. Kepausan muncul seiring dengan didirikannya Gereja Katolik. Institusi ini sudah ada dalam Gereja sejak awal dengan hadirnya Petrus sebagai “ketua” para rasul dan kepala Gereja Katolik. Jabatan inilah yang menjadi pokok pembicaraan pada kegiatan Literasi Iman yang diselenggarakan oleh Kerohanian Katolik SMK Negeri 3 Surakarta pada bulan September 2024. Kegiatan Literasi Iman ini sekaligus menjadi cara untuk bersyukur atas kedatangan Paus Fransiskus yang baru saja mengunjungi Indonesia pada tanggal 3-6 September 2024.
Dalam kegiatan tersebut, siswa-siswi Katolik SMK Negeri 3 Surakarta diajak untuk mendalami berbagai hal seputar jabatan Paus ini. Bahan yang ditawarkan untuk didalami diambil dari website Majalah National Geographic Indonesia, yaitu: 1) “Sejarah Berdirinya Paus Memimpin Gereja Katolik dari Kekaisaran Romawi” melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134128323/sejarah-berdirinya-paus-memimpin-gereja-katolik-dari-kekaisaran-romawi; 2) “Sejarah Dunia: Mengapa Pemimpin Katolik Disebut dengan Paus?” melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134128401/sejarah-dunia-mengapa-pemimpin-katolik-disebut-dengan-paus; 3) “Pasang Surut Paus dalam Sejarah Kristen Eropa Abad Pertengahan” melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134128983/pasang-surut-paus-dalam-sejarah-kristen-eropa-abad-pertengahan; 4) “Sejarah Eropa: Bagaimana Negara-Negara Gereja Menjadi Vatikan?” melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134137051/sejarah-eropa-bagaimana-negara-negara-gereja-menjadi-vatikan; 5) “Apakah Nama Vatikan Ada Hubungannya dengan Dewi Etruska Vatika” melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/133262172/apakah-nama-vatikan-ada-hubungannya-dengan-dewi-etruska-vatika; 6) “Bagaimana Vatikan Jadi Salah Satu Negara Pertama yang Akui Kemerdekaan Indonesia?” melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134142064/bagaimana-vatikan-jadi-salah-satu-negara-pertama-yang-akui-kemerdekaan-indonesia. Bahan-bahan ini kemudian didalami secara berkelompok melalui pertanyaan-pertanyaan pembimbing literasi. 








Setelah sejenak berdiskusi dan saling menyampaikan poin-poin yang bisa dipelajari dari artikel, peneguhan pun dilakukan. Pengakuan Petrus sebagai yang terutama di antara para rasul ini didasarkan pada sabda Yesus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:18-19). Petrus menduduki posisi istimewa karena dia adalah pemegang tahta Uskup Roma. Roma, di abad-abad awal, dianggap sebagai pusat dunia karena disanalah pusat Kekaisaran Romawi. Oleh karena itu, siapapun yang mengemban tugas sebagai Uskup Roma secara otomatis menjadi kepala Gereja Katolik. 
Posisi Paus sebagai kepala Gereja Katolik menjadi semakin kuat setelah Kaisar Konstantinus menjadi kaisar Romawi dan memberikan kebebasan kepada agama Katolik untuk hidup di wilayah Kekaisaran Romawi. Sebelumnya Konstantinus, para penguasa Roma melakukan penganiayaan terhadap orang-orang Katolik. Bahkan, salah satu kaisar yang bernama Nero, memerintahkan untuk membunuh Petrus, sang kepala Gereja. Setelah Petrus wafat, orang lain ditunjuk untuk menggantikan posisi Petrus. 
Sebutan “Paus” bagi kepala Gereja Katolik belum muncul sampai abad III. Sebutan yang lazim sebelum abad III adalah Uskup Roma. Sebutan Paus dimulai dari terminologi bahasa Yunani “papas” yang digunakan sebagai panggilan sayang untuk merujuk kepada seorang ayah. Mulai saat itu, sebutan Paus ini menjadi populer untuk merujuk pada sang kepala Gereja Katolik. 
Awalnya, kehadiran Paus ini hanya dirasakan oleh orang-orang di Eropa karena saat itu dunia yang dijelajahi hanya seputar Eropa, baik Eropa Barat dan Eropa Timur. Amerika, Afrika, Asia, Oseania, belum dikenal waktu itu. Oleh karena itu, peran Paus hanya dirasakan oleh orang-orang Eropa yang saat itu menerima pewartaan agama Katolik. Melalui artikel "Pasang Surut Paus dalam Sejarah Kristen Eropa Abad Pertengahan" kita mendengar kiprah Paus Gregorius Agung I yang mengirimkan banyak misionaris ke seantero Eropa, Paus Stefanus yang mulai menjajaki kerjasama dengan para penguasa Eropa sehingga terbentuk Negara-negara Gereja, Paus Gregorius VII yang menyulut kemarahan kaisar Eropa, dan Paus Urbanus II yang memulai Perang Salib. 
Peran Paus menjadi semakin luas saat penjelajahan dunia mulai terjadi dan agama Katolik tersebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, Kekristenan mulai dikenal pada abad VII di Kota Barus, Sumatera dimana disana ditemukan jejak Gereja Nestorian. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita- berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”, yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Atas penyelidikan dari berita yang ditulis Abu Salih al-Armini itu, dapat diambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Barat adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria. Namun, tidak ada catatan lebih lanjut apakah komunitas itu terus hidup atau tidak. 
Catatan selanjutnya mengenai penyebaran agama Katolik di Indonesia terjadi pada abad XV dan XVI. Saat itu, bangsa Portugis datang ke kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso, seorang saudagar Portugis. Ketika itu, para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu misionaris pendatang di Indonesia itu adalah Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat. 
Kisah penyebaran iman Katolik di Hindia Belanda sempat terhenti selama beberapa abad karena adanya persoalan kebebasan beragama di Belanda yang berpengaruh ke tanah jajahan. Saat itu, Belanda dikuasai oleh orang-orang Kristen Protestan sehingga misi Katolik tidak begitu bebas bergerak. Oleh karena itu, misi Katolik tidak banyak berkembang di tanah jajahan. 
Kisa penyebaran iman Katolik dilanjutkan dengan kedatangan para pastor misionaris dari Belanda mulai tahun 1808 di Batavia. Yang mengawali pewartaan iman Katolik di Batavia itu adalah Pastor Jacobus Nelissen dan Pastor Lambertus Prinsen. Merekalah yang merintis kehidupan Gereja Katolik di Indonesia sampai sekarang. Hadirnya kedua orang ini menjadi tanda peran Paus yang semakin dikenal karena Paus Pius VII yang bertahta saat itu berkenan mendirikan wilayah Gerejawi Prefektur Apostolik Batavia yang membawahi seluruh wilayah Nusantara atau Hindia Belanda pada saat itu. Sejak saat itu, kepausan mulai dikenal di Indonesia. Peran Paus semakin besar karena Paus berkenan meningkatkan status wilayah Gerejawi menjadi Vikariat Apostolik di bawah kepemimpinan Monsinyur Jacobus Groof pada tahun 1841. Mulai tahun 1902, wilayah Gerejawi di Hindia Belanda semakin dimekarkan oleh Paus dengan pendirian wilayah-wilayah Gerejawi baru yang semula merupakan wilayah pelayanan Vikariat Apostolik Batavia. Berikut ini adalah linimasa perkembangan wilayah Gerejawi di Indonesia:

8 Mei 1807: Wilayah Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dipisahkan dari Prefektur Apostolik Kepulauan Samudera Hindia dan membentuk Prefektur Apostolik Batavia, dengan pusat pastoral di Batavia (sekarang Jakarta).
3 April 1841: Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Batavia.
22 Desember  1902: Wilayah Kepulauan Maluku dan Pulau Papua dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Nugini Belanda, dengan pusat pastoral di Kepulauan Kei.
11 Februari 1905: Wilayah Pulau Kalimantan dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Borneo Belanda, dengan pusat pastoral di Pontianak.
30 Juni 1911: Wilayah Pulau Sumatra dan kepulauan-kepulauan di Laut Natuna dan Selat Karimata (sekarang Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung) dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Sumatra, dengan pusat pastoral di Padang.
16 September 1913: Wilayah Kepulauan Nusa Tenggara dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil, dengan pusat pastoral di Ende.
13 Maret 1918: Prefektur Apostolik Borneo Belanda ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Borneo Belanda.
19 November 1919: Wilayah Pulau Sulawesi dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Celebes, dengan pusat pastoral di Manado.
29 Agustus 1920: Prefektur Apostolik Nugini Belanda ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Nugini Belanda.
12 Maret 1922: Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil.
27 Desember 1923: Wilayah Pulau Sumatra bagian selatan dipisahkan dari Prefektur Apostolik Sumatra dan membentuk Prefektur Apostolik Benkoelen, dengan pusat pastoral di Bengkulu. Wilayah kepulauan-kepulauan di Laut Natuna dan Selat Karimata dipisahkan dari Prefektur Apostolik Sumatra dan membentuk Prefektur Apostolik Banka dan Biliton, dengan pusat pastoral di Pulau Bangka. Prefektur Apostolik Sumatra berganti nama menjadi Prefektur Apostolik Padang.
27 April 1927: Wilayah Malang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Malang.
15 Februari 1928: Wilayah Surabaya dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Surabaia.
20 April 1932: Wilayah Bandung dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Bandung.
25 April 1932: Wilayah Purwokerto dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Purwokerto.
18 Juli 1932: Prefektur Apostolik Padang ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Padang.
1 Februari 1934: Prefektur Apostolik Celebes ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Celebes.
25 Mei 1936: Wilayah Timor Belanda (sekarang Timor Barat) dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Vikariat Apostolik Timor Belanda, dengan pusat pastoral di Atambua.
13 April 1937: Wilayah Pulau Sulawesi bagian selatan, khususnya Makassar dan sekitarnya, dipisahkan dari Vikariat Apostolik Celebes dan membentuk Prefektur Apostolik Makassar; Vikariat Apostolik Celebes berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Manado.
21 Mei 1938: Wilayah Kalimantan bagian timur, khususnya Banjarmasin dan sekitarnya, dipisahkan dari Vikariat Apostolik Borneo Belanda dan membentuk Prefektur Apostolik Bandjarmasin. Vikariat Apostolik Borneo Belanda berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Pontianak.
15 Maret 1939: Prefektur Apostolik Malang ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Malang.
13 Juni 1939: Prefektur Apostolik Benkoelen ditingkatkan dan berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Palembang, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Bengkulu ke Palembang.
25 Juni 1940: Wilayah Semarang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Vikariat Apostolik Semarang.
16 Oktober 1941: Prefektur Apostolik Bandung ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Bandung. Prefektur Apostolik Purwokerto ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Purwokerto. Prefektur Apostolik Surabaia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Surabaia.
23 Desember 1941: Vikariat Apostolik Padang berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Medan, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Padang ke Medan.
11 Maret 1948: Wilayah Sintang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Pontianak dan membentuk Prefektur Apostolik Sintang.
13 Mei 1948: Prefektur Apostolik Makassar ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Makassar.
11 November  1948: Vikariat Apostolik Timor Belanda berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Atambua.
9 Desember  1948: Wilayah Sukabumi dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Sukabumi.
10 Maret 1949: Prefektur Apostolik Bandjarmasin ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Bandjarmasin.
12 Mei 1949: Wilayah Hollandia (sekarang Jayapura) dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Nugini Belanda dan membentuk Prefektur Apostolik Hollandia. Vikariat Apostolik Nugini Belanda berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Amboina, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Kepulauan Kei ke Pulau Ambon.
25 Desember 1949: Vikariat Militer Indonesia didirikan untuk melayani kebutuhan iman Katolik tentara Indonesia dan keluarganya.
7 Februari 1950: Vikariat Apostolik Batavia berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Djakarta.
24 Juni 1950: Wilayah Merauke dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Amboina dan membentuk Vikariat Apostolik Merauke.
10 Juli 1950: Wilayah Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Prefektur Apostolik Denpasar.
8 Februari 1951: Prefektur Apostolik Banka dan Biliton ditingkatkan dan berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Pangkalpinang.
8 Maret 1951: Wilayah Larantuka dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Vikariat Apostolik Larantuka.
Wilayah Ruteng dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Vikariat Apostolik Ruteng.
Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Endeh.
19 Juni 1952: Wilayah Padang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Palembang dan membentuk Prefektur Apostolik Padang yang baru. Wilayah Lampung dipisahkan dari Vikariat Apostolik Palembang dan membentuk Prefektur Apostolik Tandjung–Karang, dengan pusat pastoral di Tanjungkarang (sekarang Bandar Lampung).
14 Juni 1954: Wilayah Ketapang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Pontianak dan membentuk Prefektur Apostolik Ketapang. Prefektur Apostolik Hollandia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Hollandia.
21 Februari 1955: Wilayah Samarinda dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Bandjarmasin dan membentuk Vikariat Apostolik Samarinda.
1956
23 April 1955: Prefektur Apostolik Sintang ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Sintang.
1959
20 Oktober 1955: Wilayah Pulau Sumba dipisahkan dari Vikariat Apostolik Endeh dan membentuk Prefektur Apostolik Weetebula.
17 November 1955: Wilayah Tapanuli dan Pulau Nias dipisahkan dari Vikariat Apostolik Medan dan membentuk Prefektur Apostolik Sibolga.
19 Desember 1955: Wilayah Manokwari dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Hollandia dan membentuk Prefektur Apostolik Manokwari.
3 Januari 1961: Hierarki Gereja Katolik secara mandiri di Indonesia secara resmi dibentuk dengan dikeluarkannya Quod Christus Adorandus oleh Paus Yohanes XXIII. Akibatnya, sebagian besar ordinariat Gereja Katolik di Indonesia ditingkatkan menjadi keuskupan sufragan atau keuskupan agung, kemudian batas-batas yurisdiksi dari keuskupan-keuskupan tersebut diperjelas. Setelah itu, enam provinsi gerejawi di Indonesia dibentuk, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, minus Pulau Papua, Prefektur Apostolik Weetebula, Prefektur Apostolik Sibolga. Vikariat Apostolik Medan, yang menjadi Keuskupan Agung Medan. Prefektur Apostolik Padang, yang menjadi Keuskupan Padang. Vikariat Apostolik Palembang, yang menjadi Keuskupan Palembang. Vikariat Apostolik Pangkalpinang, yang menjadi Keuskupan Pangkalpinang. Prefektur Apostolik Tandjung–Karang, yang menjadi Keuskupan Tandjung–Karang. Vikariat Apostolik Djakarta, yang menjadi Keuskupan Agung Djakarta. Vikariat Apostolik Bandung, yang menjadi Keuskupan Bandung. Prefektur Apostolik Sukabumi, yang ditingkatkan dan berubah nama menjadi Keuskupan Bogor, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Sukabumi ke Bogor. Vikariat Apostolik Semarang, yang menjadi Keuskupan Agung Semarang. Vikariat Apostolik Malang, yang menjadi Keuskupan Malang. Vikariat Apostolik Purwokerto, yang menjadi Keuskupan Purwokerto. Vikariat Apostolik Surabaia, yang menjadi Keuskupan Surabaia. Vikariat Apostolik Endeh, yang menjadi Keuskupan Agung Endeh. Prefektur Apostolik Denpasar, yang menjadi Keuskupan Denpasar. Vikariat Apostolik Larantuka, yang menjadi Keuskupan Larantuka. Vikariat Apostolik Ruteng, yang menjadi Keuskupan Ruteng. Vikariat Apostolik Atambua, yang menjadi Keuskupan Atambua. Vikariat Apostolik Pontianak, yang menjadi Keuskupan Agung Pontianak. Prefektur Apostolik Ketapang, yang menjadi Keuskupan Ketapang. Vikariat Apostolik Sintang, yang menjadi Keuskupan Sintang. Vikariat Apostolik Samarinda, yang menjadi Keuskupan Samarinda. Vikariat Apostolik Bandjarmasin, yang menjadi Keuskupan Bandjarmasin.  Vikariat Apostolik Makassar, yang menjadi Keuskupan Agung Makassar. Vikariat Apostolik Amboina, yang menjadi Keuskupan Amboina. Vikariat Apostolik Manado, yang menjadi Keuskupan Manado.
28 Juni 1963: Vikariat Apostolik Hollandia berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Kota Baru.
1964
12 Juni 1963: Vikariat Apostolik Kota Baru berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Sukarnapura.
1966
15 November 1963: Hierarki Gereja Katolik di Papua resmi terbentuk dan bergabung ke Indonesia. Akibatnya, seluruh ordinariat Gereja Katolik di Papua ditingkatkan menjadi keuskupan sufragan atau keuskupan agung, kemudian batas-batas yurisdiksi dari keuskupan-keuskupan tersebut diperjelas. Setelah itu, sebuah provinsi gerejawi tambahan di Indonesia dibentuk, yang meliputi seluruh wilayah Papua. Vikariat Apostolik Merauke menjadi Keuskupan Agung Merauke. Vikariat Apostolik Sukarnapura menjadi Keuskupan Sukarnapura. Prefektur Apostolik Manokwari menjadi Keuskupan Manokwari.
13 April 1967: Wilayah Timor Barat bagian barat dipisahkan dari Keuskupan Atambua dan membentuk Keuskupan Kupang, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Endeh.
1968
9 April 1967: Wilayah Sanggau dan Sekadau dipisahkan dari Keuskupan Agung Pontianak dan Keuskupan Ketapang, serta membentuk Prefektur Apostolik Sekadau, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
1969
6 Februari 1967: Prefektur Apostolik Weetebula ditingkatkan menjadi Keuskupan Weetebula dan menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Endeh.
25 April 1967: Keuskupan Sukarnapura berganti nama menjadi Keuskupan Djajapura.
29 Mei 1967: Wilayah Asmat dipisahkan dari Keuskupan Agung Merauke dan membentuk Keuskupan Agats, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Merauke.
3–4 Desember 1970: Keuskupan Agung Djakarta mendapat kunjungan pastoral dari Paus Paulus VI di Jakarta.
22 Agustus 1973: Beberapa keuskupan mengalami pergantian nama, yang disesuaikan dengan perubahan ejaan atau perubahan nama dari kota yang menjadi pusat pastoralnya. Keuskupan Tandjung–Karang menjadi Keuskupan Tanjungkarang. Keuskupan Agung Djakarta menjadi Keuskupan Agung Jakarta. Keuskupan Surabaia menjadi Keuskupan Surabaya. Keuskupan Bandjarmasin menjadi Keuskupan Banjarmasin. Keuskupan Agung Makassar menjadi Keuskupan Agung Ujung Pandang. Keuskupan Djajapura menjadi Keuskupan Jayapura.
14 Mei 1974: Keuskupan Agung Endeh berganti nama menjadi Keuskupan Agung Ende. Keuskupan Manokwari berganti nama menjadi Keuskupan Manokwari–Sorong, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Manokwari ke Sorong.
24 Oktober 1980: Prefektur Apostolik Sibolga ditingkatkan menjadi Keuskupan Sibolga dan menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Medan.
8 Juni 1982: Prefektur Apostolik Sekadau ditingkatkan dan berganti nama menjadi Keuskupan Sanggau, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Sekadau ke Sanggau, serta menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
21 Juli 1986: Vikariat Militer Indonesia ditingkatkan menjadi Ordinariat Militer Indonesia.
9–14 Oktober 1989: Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Ende (saat ini Keuskupan Maumere), dan Keuskupan Agung Medan mendapat kunjungan pastoral dari Paus Yohanes Paulus II, tepatnya di Jakarta, Yogyakarta, Maumere, dan Medan.
23 Oktober 1989: Keuskupan Kupang ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Kupang. Provinsi gerejawi baru terbentuk di Indonesia, ditandai dengan Keuskupan Atambua dan Keuskupan Weetebula yang berpindah metropolit dari Keuskupan Agung Ende ke Keuskupan Agung Kupang.
5 April 1993: Wilayah Kalimantan Tengah dipisahkan dari Keuskupan Banjarmasin dan membentuk Keuskupan Palangka Raya, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
15 Maret 2000: Keuskupan Agung Ujung Pandang berganti nama kembali menjadi Keuskupan Agung Makassar.
9 Januari 2002: Wilayah Kalimantan Utara dan Berau dipisahkan dari Keuskupan Samarinda dan membentuk Keuskupan Tanjung Selor, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
29 Januari 2003: Keuskupan Samarinda ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Samarinda.
Provinsi gerejawi baru terbentuk di Indonesia, ditandai dengan Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Palangka Raya, dan Keuskupan Tanjung Selor yang berpindah metropolit dari Keuskupan Agung Pontianak ke Keuskupan Agung Samarinda.
1 Juli 2003: Keuskupan Palembang ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Palembang.
Provinsi gerejawi baru terbentuk di Indonesia, ditandai dengan Keuskupan Pangkalpinang dan Keuskupan Tanjungkarang yang berpindah metropolit dari Keuskupan Agung Medan ke Keuskupan Agung Palembang.
19 Desember 2003: Wilayah Papua Tengah dan Provinsi Papua bagian barat dipisahkan dari Keuskupan Jayapura dan membentuk Keuskupan Timika, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Merauke.
14 Desember 2005: Wilayah Sikka dipisahkan dari Keuskupan Agung Ende dan membentuk Keuskupan Maumere, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Ende.
21 Juni 2024: Wilayah Manggarai Barat dipisahkan dari Keuskupan Ruteng dan membentuk Keuskupan Labuan Bajo, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Ende.
3–6 September 2004: Keuskupan Agung Jakarta mendapat kunjungan pastoral dari Paus Fransiskus di Jakarta. 
Inilah perkembangan wilayah Gerejawi di Indonesia yang bisa dikisahkan dimana di dalamnya para Paus berperan dalam pembentukannya. Dari masa ke masa, perkembangan Gereja di Indonesia tidak lepas dari peran Paus. Semoga dengan mempelajari kekayaan iman ini, kita boleh semakin setia, taat, dan tunduk kepada hierarki Gereja Katolik


Sumber Pustaka:
Anonim. "Daftar keuskupan di Indonesia" dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_keuskupan_di_Indonesia Diakses 02 November 2024.

Sumber Gambar:

Kamis, 19 September 2024

Bahagia sebagai Orang Biasa: Endorsement Paus Fransiskus untuk Rakyat Indonesia

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tentu membawa arti tersendiri bagi setiap orang yang mengalaminya. Paus Fransiskus sebagai figur publik tidak tidak akan lepas dari sorotan setiap orang yang melihatnya. Apapun yang disampaikan, yang dilakukan, bahkan yang dipakai oleh Paus Fransiskus bisa menjadi bahan obrolan. Salah satu bahan obrolan yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan adalah tentang apa yang dipakai oleh Paus Fransiskus. 
Kita tahu bahwa alih-alih naik jet pribadi, Paus Fransiskus memilih terbang dengan pesawat komersial ITA Airways Z400 yang disewa khusus sehingga bisa langsung mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang dan tiba di Indonesia pada hari Selasa, 3 September 2024 sekitar pukul 11.25 WIB. Sebelumnya, Paus Fransiskus selalu menggunakan maskapai nasional Italia, Alitalia, untuk melakukan perjalanan kenegaraan. Namun sejak maskapai Alitalia menutup semua penerbangan pada 15 Oktober 2021, ITA Airways menjadi pilihan baru untuk lawatan Paus. Salah satu alasan mengapa Paus Fransiskus memilih menggunakan pesawat komersial ketimbang jet pribadi dalam perjalanan apostoliknya karena lingkungan dan efisiensi. Maskapai ini telah menerapkan sejumlah langkah untuk mengurangi emisi CO2, termasuk perencanaan rute yang efisien dan pengoptimalan penggunaan bahan bakar dengan menggunakan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel - SAF), yang mencampurkan bahan bakar tradisional dengan bahan biologis, sehingga mampu mengurangi emisi hingga 80 persen. 
Setelah turun dari pesawat, Paus Fransiskus dijemput oleh mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid berwarna putih dengan plat nomor SCV 1. Pihak Toyota mengungkap bahwa pilihan menggunakan mobil Toyota Innova tersebut datang dari Paus Fransiskus sendiri. Bahkan, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius  Suharyo mengkonfirmasikan bahwa Paus memilih menggunakan mobil yang banyak digunakan oleh orang kebanyakan. Akhirnya, jadilah digunakan mobil yang banyak digunakan oleh masyarakat, Toyota Innova. Melansir laman resmi Toyota, harga mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid, dibanderol mulai Rp 477.600.000 untuk varian terendah, hingga Rp 633.600.000 untuk varian tertinggi. Soal harga, mobil yang dipakai Sri Paus tersebut jauh lebih murah ketimbang harga mobil dinas Menteri Kabinet Indonesia Maju maupun para pejabat. Diketahui bahwa para Menteri Kabinet Indonesia Maju mendapatkan kendaraan dinas berupa Toyota Crown 2.5 HV G-Executive yang dibanderol sekitar Rp 778 juta, namun saat diimpor ke Indonesia, harganya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Sementara itu, para pejabat di Indonesia rata-rata menggunakan mobil Toyota Alphard, baik untuk mobil dinas maupun pribadi. Harga mobil Alphard pun jelas jauh lebih mahal ketimbang mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid yang digunakan Paus Fransiskus. Misalnya, All New Alphard Hybrid, dibanderol sekitar Rp 1,4 miliar. 
Saat perjalanan menuju Kedutaan Besar Vatikan, Paus Fransiskus tertangkap kamera sedang mengenakan jam tangan murah merk CASIO classic quartz model MQ24-7B, jam tangan yang di Shopee masih ada yang jualnya, yaitu Rp 168 ribuan saat sale dari harga asli Rp 250 ribu. Kebiasaan memakai barang murah sudah dimiliki oleh Paus Fransiskus sejak lama. Sewaktu terpilih menjadi Paus Fransiskus di bulan Maret tahun 2013, Kardinal Jorge Mario Bergoglio menggunakan jam tangan merk SWATCH, classic model SUOB705. Jam SWATCH itu memiliki harga sekitar US$ 55, atau ekuivalen Rp850 ribuan dengan kurs sekarang. Model ini keluaran dekade 1990-an. Mengapa beliau ganti jam tangan dari SWATCH ke CASIO? Pada pertengahan tahun 2021, jam SWATCH itu direlakan oleh Paus untuk dilelang supaya bisa membantu Yayasan Brian LaViolette Scholarship, yang didirikan oleh keluarga LaViolette.
Misi Yayasan ini adalah “untuk memberi dukungan finansial bagi anak-anak yang sedang menempuh pendidikan di SMA.” Yayasan ini dibuat untuk menghormati anak dari keluarga LaViolette, yaitu Brian, yang meninggal saat berusia 15 tahun. Saat dilelang, jam tangan itu laku pada harga US$ 56,250 atau sekitar Rp 868 juta. Harganya naik 1022 kali lipat dari harga belinya. Jadi, harga lelang kondisi bekas jam tangan SWATCH model SUOB705 itu setara dengan 3 buah jam tangan Rolex Datejust 41 dengan kondisi unworn, yang sekitar US$ 18 ribuan per piece. Karena Paus Fransiskus tidak menikmati hasil lelang itu, beliau kemudian membeli jam tangan baru, yang merek CASIO model MQ24-7B itu. 
Cerita lain dari yang dipakai oleh Paus Fransiskus dikisahkan oleh Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Ia mengaku tak sengaja memperhatikan sepatu yang dipakai Paus Fransiskus saat menyambutnya di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa siang. Kemudian, ia memperhatikan sepatu Paus.  Ia menuturkan sepatu yang dipakai Paus Fransiskus saat mendarat di Indonesia terlihat seperti sepatu lama berwarna hitam dengan banyak lekukan. Menurut tradisi dalam Gereja Katolik, Paus biasanya memakai sepatu merah. Sepanjang sejarah Gereja Katolik, warna merah sengaja dipilih untuk mewakili darah para martir Katolik yang ditumpahkan selama berabad-abad mengikuti jejak Kristus. Sepatu kepausan berwarna merah juga dihubungkan dengan kaki Kristus sendiri yang berlumuran darah ketika Ia didorong, dicambuk, dan didorong di sepanjang Via Dolorosa dalam perjalanan menuju penyaliban, yang berpuncak pada penindikan tangan dan kaki-Nya di kayu salib. Sepatu merah juga melambangkan penyerahan Paus kepada otoritas tertinggi Yesus Kristus. Selain itu, dikatakan bahwa sepatu kepausan berwarna merah juga menandakan kasih Tuhan yang membara terhadap umat manusia seperti yang ditunjukkan pada hari Pentakosta ketika jubah merah dipakai untuk memperingati turunnya Roh Kudus ke atas para rasul ketika lidah api hinggap di kepala mereka. Sepatu merupakan salah satu atribut berwarna merah yang dikenakan oleh Paus setelah Paus Pius VI mengubah pakaiannya dari merah menjadi putih.  Selain sepatu, atribut berwarna merah yang tersisa adalah camauro (penutup kepala berwarna merah dengan tepian putih), mozetta (penutup bahu berwarna merah dengan tepian putih), dan mantel luar (mantel lebar berwarna merah). Namun, Paus Fransiskus ini memilih memakai sepatu warna hitam karena tidak ingin menonjolkan diri. Pemakaian sepatu hitam menjadi isyarat simbolis yang mewakili penghayatan Paus Fransiskus pada kerendahan hati dan kesederhanaan. Paus Fransiskus memilih untuk menghindari kebiasaan memakai atribut istimewa tersebut demi penampilan yang lebih sederhana dan membumi.
Dari semua hal yang dipakai oleh Paus Fransiskus ini, saya merefleksikan satu hal. Paus Fransiskus ingin meng-endorse kita untuk bahagia sebagai orang biasa. Kepada orang Indonesia, tampaknya ia ingin berseru, “Berbahagialah dengan kehidupanmu sebagai orang biasa.” Ia berbicara bukan dengan kata-kata tetapi dengan apa yang dipakainya. Saya menjadi ingat dengan kata-kata ini, “Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, sukailah apa yang kamu miliki.” Semoga kita boleh berbahagia sebagai orang biasa. Terimakasih Paus Fransiskus atas yang engkau pesankan melalui yang engkau kenakan.

Sumber Gambar:

Rabu, 04 September 2024

Menelisik Hubungan Diplomatik Indonesia dan Vatikan

Sudah sekian lama Indonesia dan Vatikan saling menjalin hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara satu negara dengan negara lain untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Hubungan diplomatik ini sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu. Untuk dapat menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain, perlu adanya pengakuan (recognition) terlebih dahulu terhadap negara tersebut, terutama oleh negara yang akan menerima perwakilan diplomatik suatu negara (Receiving State). Tanpa adanya pengakuan terhadap negara tersebut, pembukaan hubungan dan perwakilan diplomatik tidak dimungkinkan dan tidak akan bisa dilakukan. Indonesia dan Vatikan sudah memulai hubungan diplomatik tersebut sejak awal setelah dinyatakan kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Dan inilah kisahnya...

Awal Hubungan Diplomatik Indonesia dan Vatikan
Hubungan Indonesia dan Vatikan diawali pada saat Vatikan mengakui keberadaan Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tahun 1946. Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa Vatikan merupakan satu-satunya negara Eropa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan kemerdekaan ini pun berlanjut dengan pembangunan hubungan diplomatik antar negara. Pengakuan kemerdekaan yang dinyatakan oleh Vatikan ini tidak dapat dilepaskan dari peran Monsinyur Albertus Soegijapranata, SJ. Sebagai uskup pribumi pertama di Indonesia, kedudukannya memegang peran kunci dalam mendorong Vatikan untuk turut menyuarakan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, terutama bagi dunia Barat. Monsinyur Soegija ikut terlibat dalam penentuan duta apostolik (apostolic delegaat) sebagai perwakilan Vatikan untuk Indonesia. Ia menyarankan agar perwakilan Vatikan tersebut harus tergolong netral, tidak berkebangsaan Belanda atau Amerika Serikat, sehingga ia dapat bekerja sama dengan semua pihak, secara khusus untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Pada 6 Juli 1947, Paus Pius XII mengangkat Monsinyur de Jonghe d’Ardoye (orang Belgia) sebagai “Delegatus Apostolik di Kepulauan Indonesia” dan pada hari berikutnya Surat Apostolik untuk mendirikan Delegasi Apostolik “di kepulauan Indonesia” dikeluarkan. 
Dalam catatan hariannya, Monsinyur Soegija menulis bahwa pada 5 Juli 1947, Monsinyur George de Jonghe D’ardoye telah ditunjuk oleh Tahta Suci sebagai perwakilan Vatikan untuk Republik Indonesia dan berkedudukan di Jakarta. Tiga minggu setelah pengangkatannya, pada hari Minggu 27 Juli 1947, Monsinyur Jonghe d’Ardoye tiba dengan pesawat terbang di Batavia. Pada tanggal 6 Agustus 1947, Delegatus Apostolik menyerahkan surat resmi yang ditandatangani Monsinyur Tardini kepada Letnan-Jendral Hindia Belanda, Hubertus Johanna van Mook.
Keberadaan Monsinyur George de Jonghe D’ardoye memegang peranan sangat penting karena mayoritas bangsa Barat tidak menaruh dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Keberadaan perwakilan Vatikan menggambarkan bahwa di awal-awal masa kemerdekaan, Vatikan menjadi salah satu entitas politik Barat yang memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Berkat diplomasi Monsinyur Soegija, Vatikan mengambil peran untuk mendesak negara-negara Barat bersimpati kepada Indonesia. Jika ingin mengetahui mengapa dan bagaimana Vatikan mengakui kemerdekaan Indonesia, bisa melihat artikel berjudul "Bagaimana Vatikan Jadi Salah Satu Negara Pertama yang Akui Kemerdekaan Indonesia?" melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134142064/bagaimana-vatikan-jadi-salah-satu-negara-pertama-yang-akui-kemerdekaan-indonesia
Pada 4 Januari 1950, Tahta Suci menginstruksikan wakilnya untuk memberitahukan bahwa Republik Indonesia Serikat diakui oleh Vatikan. Dua hari berikutnya, Monsinyur de Jonghe d’Ardoye secara pribadi menyampaikan keputusan ini kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri Muhammad Hatta. Hatta pun mengusulkan supaya Tahta Suci mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Pada tanggal 10 Januari 1950, Tahta Suci memberitahukan kepada Jakarta, bahwa Tahta Suci menerima usul tersebut dan Internunsiatur akan didirikan serta Tahta Suci akan siap menerima misi diplomatik dari Indonesia. Kesiapan Tahta Suci Vatikan untuk menerima misi diplomatik ini disampaikan pada 16 Maret 1950. Saat itu, Tahta Suci Vatikan mengumumkan, bahwa “Yang Kudus, Tuhan kami berkenan mendirikan Internunsiatur Apostolik di Jakarta dalam Republik Indonesia Serikat, lalu menyetujui pula, bahwa pada saat yang sama itu, untuk mengangkat sebagai Internunsius Yang Mulia Monsinyur Georges de Jonghe d’Ardoye, Uskup Agung Tituler Misthia” (L’Osservatore Romano, 17 Maret 1950). Setelah menerima Surat Kepercayaan, Internunsius baru dapat menyerahkannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 6 April 1950, di Istana Negara. Pendirian Internunsius di Jakarta ini ditanggapi oleh pemerintah Indonesia dengan mengirimkan duta besar kepada Vatikan. Pada 25 Mei 1950, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia Serikat, Sukardjo Wirjopranoto menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Pius XII.

Mengenal Para Utusan Vatikan
Sejak tahun 1947, Vatikan sudah mulai mengirimkan utusan ke Indonesia sebagai perwakilan maupun duta. Perwakilan atau duta yang dikirim oleh Vatikan ini diberi sebutan nunsius. Nunsius (dari bahasa Latin "nuncius atau nuntius") atau nuncio (dari bahasa Italia "nuncio") - yang secara resmi disebut nunsius/nuncio apostolik atau nunsius/nuncio kepausan - adalah gelar untuk kepala diplomat Gerejawi, yang setara dengan duta besar sehingga sering disebut juga sebagai duta besar Takhta Suci. Nunsius mengepalai sekelompok orang yang menjadi perwakilan untuk sebuah negara atau organisasi internasional, di mana perwakilan tersebut disebut sebagai nunsiatur apostolik. Seorang nunsius dilantik oleh dan mewakili Takhta Suci, dan merupakan kepala misi diplomatik, yang disebut sebuah Nunsiatur Apostolik, yang setara dengan sebuah kedutaan besar. Takhta Suci secara hukum berbeda dari Vatikan atau Gereja Katolik. Seorang nunsius biasanya merupakan seorang uskup agung. Seorang nunsius kepausan umumnya memiliki pangkat yang setara dengan duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, meskipun di negara-negara Katolik, nunsius sering kali berpangkat di atas duta besar dalam protokol diplomat. 
Berikut ini adalah para utusan yang pernah mewakili Vatikan di Indonesia:
Georges de Jonghe d’Ardoye lahir pada tanggal 23 April 1887 di Saint-Gilles-les-Bruxelles, Belgia; ditahbiskan sebagai imam pada 21 Mei 1910; anggota dari the Society of Foreign Missions of Paris; diangkat sebagai Uskup Tituler Amathus di Cypro pada 23 Mei 1933 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada 17 September 1933; menjadi Perwakilan Apostolik untuk Indonesia (1947-1950) and Internunsius untuk Indonesia (1950-1955)
Domenico Enrici lahir pada tanggal 10 April 1909 di Cervasea San Stefano, Italia; ditahbiskan sebagai imam keuskupan Cuneo pada 29 Juni 1933; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Ancusa pada tanggal 17 September 1955 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 1 November 1955; menjadi Internunsius untuk Indonesia (1955-1958).
Gaetano Alibrandi lahir pada tanggal 14 Januari 1914 di Castiglione di Sicilia, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Acireale pada tanggal 1 November 1936; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Binda pada 5 Oktober 1961 dan ditahbiskan sebagai uskup pada 8 Desember 1961;  menjadi Internunsius untuk Indonesia (1958-1961).
Ottavio De Liva lahir pada tanggal 10 Juni 1911 di Sevigliano, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Udine pada tanggal 8 Juli 1934; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Heliopolis di Phoenicia pada tanggal 18 April 1962 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 27 Mei 1962; menjadi Internunsius untuk Indonesia (1962-1965).
Salvatore Pappalardo lahir pada tanggal 23 September 1918 di Villafranca Sicula, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Catania pada tanggal 12 April 1941; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Miletus pada 7 Desember 1965 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 16 Januari 1966; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1965-1969).
Joseph Mees lahir pada tanggal 18 April 1923 di Bornem, Belgia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Malines pada tanggal 4 April 1948; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Ypres pada tanggal 14 Juni 1969 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 30 Juni 1969; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1969-1973).
Vincenzo Maria Farano lahir pada 21 Juli 1921 di Trani, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Trani pada tanggal 3 Juni 1944; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Civitanova (Cluentum) pada tanggal 8 Agustus 1973 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 30 September 1973; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1973-1979)
Pablo Puente lahir pada tanggal 16 Juni 1931 di Colindres, Spanyol; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Santander pada tanggal 2 April 1956; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Macri pada tanggal 18 Maret 1980 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 25 Mei 1980; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1980-1986)
Francesco Canalini lahir pada tanggal 23 Maret 1936 di Osimo, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Osimo pada tanggal 18 Maret 1961; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Valeria pada tanggal 28 Mei 1986 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 12 Juli 1986; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1986-1991)
Pietro Sambi lahir pada tanggal 27 Juni 1938 di Sogliano al Rubicone, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Montefeltro pada tanggal 14 Maret 1964; dari klerus; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Belcastro (Bellicastrum) pada tanggal 10 Oktober 1985 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 9 November 1985; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1991-1998)
Renzo Fratini lahir pada tanggal 25 April 1944 di Urbisaglia, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Macerata pada tanggal 6 September 1969; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Botriana pada tanggal 7 Agustus 1993 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 2 Oktober 1993; menjadi Nunsius untuk Indonesia (1998-2004)
Albert Malcolm Ranjith Patabendige Don lahir pada tanggal 15 November 1947 di Polgahawela, Sri Lanka; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Kolombo pada tanggal 29 Juni 1975; diangkat sebagai Uskup Tituler Cabarsussi pada tanggal 17 Juni 1991 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 31 Agustus 1991; menjadi Nunsius untuk Indonesia dan untuk Timor Timur (2004-2005)
Leopoldo Girelli lahir pada tanggal 13 Maret 1953 di Predore, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Bergamo pada tanggal 17 Juni 1978; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Capri (Capreae) pada tanggal 13 April 2006 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 17 Juni 2006; menjadi Nunsius untuk Indonesia (2006-2011)
Antonio Guido Filipazzi lahir di Melzo, Italia, 8 Oktober 1963; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Ventimiglia-Sanremo pada tanggal 10 Oktober 1987; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Sutri and Nunsius Apostolik pada tanggal 8 Januari 2011 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 5 Februari 2011 oleh Paus Benediktus XVI; menjadi Nunsius Apostolik untuk Indonesia (2011-2017)
Piero Pioppo lahir di Savona, Italia Utara, pada 29 September 1960; ditahbiskan imam Keuskupan Acqui Terme pada 29 Juni 1985; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Torcello pada 25 Januari 2010 dan ditahbiskan uskup pada 18 Maret 2010; menjadi Nunsio Apostolik untuk Indonesia mulai 8 September 2017.

Buah-buah Diplomasi
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan membuahkan beberapa peristiwa yang menandai relasi baik antara pemerintah Indonesia dan Tahta Suci Vatikan. Setelah hubungan diplomatik secara resmi terbangun, tercatat bahwa Presiden Republik Indonesia beberapa kali berkunjung ke Vatikan. Soekarno tercatat sebagai presiden Republik Indonesia yang paling sering berkunjung ke Vatikan. Pada 13 Juni 1956, Soekarno diterima dalam audiensi oleh Paus Pius XII dan dianugerahi medali Grand Cross of Pian Order. Pian Order atau Ordo Paus Pius IX adalah Ordo Kesatriaan Kepausan yang awalnya didirikan oleh Paus Pius IV pada tahun 1560. Kunjungan Soekarno berikutnya dilakukan pada 14 Mei 1959 dan diterima oleh Paus Yohanes XXIII. Rekaman kunjungan ini bisa dilihat melalui video berikut ini:
Saat itu, Soekarno mengundang Paus supaya mengunjungi Indonesia. Dua kunjungan Presiden yang lain berlangsung pada 15 Juni 1963 saat sede vacante (kekosongan tahta Paus sesudah wafat Yohanes XXIII) dan pada 12 Oktober 1964 saat bertemu dengan Paus Paulus VI. Rekaman kunjungan ini bisa dilihat melalui video berikut ini:
Perkembangan lain dari buah hubungan diplomasi yang baik antara Indonesia dan Vatikan  dirasakan oleh Gereja Katolik. Pada 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII mengeluarkan Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus untuk mendirikan hirarki Katolik di Indonesia. Enam Provinsi Gereja diadakan (Jakarta, Semarang, Ende, Medan, Pontianak dan Makassar); vikariat-vikariat apostolik menjadi keuskupan atau keuskupan agung. Dengan dikeluarkannya Quod Christus Adorandus, dua puluh vikariat apostolik dan tujuh prefektur apostolik yang ada di Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi keuskupan agung dan keuskupan. Sejak saat itu juga, ada uskup di masing-masing wilayah Gerejawi yang mempunyai wewenang penuh mengatur penggembalaan. Peningkatan status ini memberikan konsekuensi bahwa Gereja Katolik di Indonesia sepenuhnya dianggap mampu untuk menjalankan pelayanan penggembalaan secara mandiri dan tidak lagi tergantung dari induk misi yang saat itu ada di Belanda. Pelaksanaan Konstitusi Apostolik tersebut dipercayakan kepada Internunsius Apostolik pada waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi
Buah diplomasi yang lain adalah dinaikannya status perwakilan kepausan dari Internunsiatur menjadi Nunsiatur. Pada 7 Desember 1966, Internunsiatur di Indonesia diangkat menjadi setingkat Nunsiatur Apostolik. Internunsius (jabatan tertinggi pada Internunsiatur) adalah diplomat Vatikan dengan pangkat menteri yang berkuasa penuh; diakreditasi pada pemerintahan sipil dan melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan tugas seorang nunsius (jabatan Internunsiatur setingkat dengan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh); sedangkan Nunsius (jabatan tertinggi pada Nunsiatur) adalah diplomat Vatikan yang diakreditasi sebagai duta besar untuk pemerintahan sipil yang memelihara hubungan diplomatik resmi dengan Takhta Suci. Pada tanggal yang sama, Monsinyur Salvatore Pappalardo diangkat menjadi Pro-Nunsius Apostolik di Indonesia. Pada tanggal 16 Mei 1966, Duta Isa Mohammad Nazir menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Paulus VI, yang mengakreditasikannya sebagai Duta Besar. Sebagai konsekuensi dari dinaikannya status perwakilan kepausan, pada tahun yang sama, pada tanggal 1 Juni, gedung baru Nunsiatur Apostolik diresmikan. Pendirian gedung baru Perwakilan Kepausan diawali oleh Monsinyur de Liva pada Oktober 1964 dan dilaksanakan sesuai rancangan arsitek Jerman Hermann Bohnekamp. Proses pembangunan berlangsung sekitar dua tahun. Pembukaan resmi gedung baru berlangsung pada 29 Juni 1966 dan dihadiri Presiden Soekarno. 
Buah hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan Tahta Suci Vatikan secara tidak langsung juga ditunjukkan melalui terpilihnya para klerus dari Indonesia sebagai kardinal. Kardinal adalah seorang klerus (kaum tertahbis dalam Gereja Katolik) yang dipilih sebagai pejabat khusus secara pribadi oleh Paus. Jadi, pemilihan kardinal ini sepenuhnya menjadi hak Paus. Paus memilih dan melantik para kardinal ini melalui sebuah upacara yang disebut dengan konsistorium atau konsistori. Lebih jauh mengenai para kardinal ini bisa dibaca melalui postingan berjudul "Ikut Bersukacita Menyambut Pengangkatan Monsinyur Ignatius Suharyo sebagai Kardinal" melalui link https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2019/10/ikut-bersukacita-menyambut-pengangkatan.html, Pada Konsistorium 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengangkat Monsinyur Justinus Darmojuwono, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Nama Tersuci Jesus dan Maria’ di Via Lata. Dialah Kardinal Indonesia pertama. Pada Konsistorium 26 November 1994, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Julius Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Hati Suci Maria’. Ia adalah kardinal kedua dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Pada Konsistorium 5 Oktober 2019, Paus Fransiskus mengangkat Ignatius Suharyo Harjoartmojo, Uskup Agung Jakarta sebagai kardinal dan diberi gelar Kardinal Imam Spirito Santo alla Ferratella. Ia adalah kardinal ketiga dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jika ingin lebih lanjut mengenal para kardinal dari Indonesia, bisa dilihat postingan berjudul "Mengenal Para Kardinal dari Indonesia" melalui link https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2019/10/mengenal-para-kardinal-dari-indonesia.html.  
Buah diplomasi Indonesia dan Vatikan berikutnya adalah terjadinya kunjungan Paus ke Indonesia. Tercatat, ada 3 orang Paus yang mengunjungi Indonesia sampai saat ini. Yang pertama, pada 3 Desember 1970, dalam rangkaian kunjungannya ke Asia dan Oseania, Paulus VI mengunjungi Indonesia. Ia tiba di Jakarta dari Sydney dan disambut oleh Presiden Soeharto. Paus bertemu dengan para imam dan biarawan/wati di Katedral Ibukota. Sesudah beristirahat di Nunsiatur dan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Indonesia, Paus merayakan Misa Kudus di Stadion Senayan sebelum meneruskan perjalanannya ke Hong Kong. Pada masa itu, Monsinyur Joseph Mees menjadi Wakil Kepausan. Kunjungan ini berlangsung singkat namun membekas di hati umat Katolik karena Paus Paulus VI menjadi kepala negara Vatikan pertama yang mengunjungi Indonesia.
Yang kedua, dalam kunjungannya Apostolik ke Asia Timur dan Mauritius (6-16 Oktober 1989), Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia dari 9 sampai 14 Oktober 1989.  Di ibukota, Paus bertemu dengan uskup-uskup, pejabat sipil, tokoh-tokoh keagamaan, klerus dan biarawan/wati serta mengunjungi tempat-tempat budaya. Selama berada ibukota Paus tinggal di Nunsiatur Apostolik, yang pada waktu itu dikepalai Monsinyur Francesco Canalini. Kunjungan ini berlangsung cukup lama. Sekitar 5 hari Paus Yohanes Paulus II berada di Indonesia. Selama berada di Indonesia, Paus Yohanes Paulus II tidak hanya berada di Jakarta, tetapi juga mengunjungi Yogyakarta, Maumere, Dili, dan Medan. Saat itu, umat Katolik di Indonesia bergembira karena bisa melihat dari dekat sang Gembala Tertinggi Gereja Katolik karena Paus di setiap tempat berkesempatan untuk mempersembahkan Ekaristi.
Yang ketiga, dalam rangkaian kunjungannya ke Asia dan Oseania (2-13 September 2024), Paus Fransiskus mengagendakan untuk mengunjungi Indonesia dari 3 sampai 6 September 2024. Setelah itu, Paus Fransiskus akan menempuh perjalan ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Kunjungan Paus ini seakan mengobati kerinduan umat Katolik di Indonesia yang sudah 35 tahun menanti kunjungan Gembala Tertingginya. Euforia kegembiraan menyambut Paus Fransiskus ini menggelora di hati setiap orang Katolik. Semoga kehadiran Sri Paus di Indonesia semakin mempererat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan serta memberikan berkat kepada setiap orang yang berkehendak baik.

Sumber Gambar:

Sumber Pustaka:
Nunsiatur Apostolik Indonesia. "Perwakilan Kepausan di Indonesia" dalam https://nunciatureindonesia.org/former-representatives/?lang=id Diakses 23 Agustus 2024.
Redaksi Katolikana. "Soekarno dan Tiga Medali Tertinggi Vatikan" dalam https://www.katolikana.com/2019/11/10/soekarno-dan-tiga-medali-tertinggi-vatikan/ Diakses 24 Agustus 2024.
Anonim. "Ordo Paus Pius IX" dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_Paus_Pius_IX Diakses 24 Agustus 2024.
Yusti H. Wuarmanuk. "Panorama Misi Gereja Mandiri Semarang" dalam https://www.hidupkatolik.com/2020/04/19/46961/panorama-misi-gereja-mandiri-semarang.php Diakses 24 Agustus 2024.

Rabu, 06 Maret 2024

Gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) sebagai Gerakan Pertobatan Keluar dan Kedalam Keuskupan Agung Semarang pada Masa Prapaskah

Pada bulan Maret 2024, Gereja Katolik di seluruh dunia sedang mengalami masa khusus dalam kehidupan iman, yaitu Masa Prapaska yang dimulai dengan perayaan Rabu Abu pada tanggal 14 Februari 2024. Mengenai Masa Prapaska, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa Masa Prapaska - dalam liturgi maupun dalam katekese liturgis - menampilkan dua ciri khas masa "empat puluh hari” ini, yakni 1) mengenangkan atau menyiapkan Baptis dan 2) membina pertobatan. Masa Prapaska merupakan masa yang lebih intensif mengajak umat beriman untuk mendengarkan sabda Allah dan berdoa sehingga mereka dapat menyiapkan diri untuk merayakan misteri Paska. Pertobatan selama masa empat puluh hari  itu hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan. Adapun praktek pertobatan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dan pelbagai daerah pun juga dengan situasi umat beriman, hendaknya makin digairahkan, dan dianjurkan oleh pimpinan gerejawi (Sacrosanctum Concillium 109-110). Dalam tata kelola Gereja, Konsili Vatikan II menetapkan bahwa kewenangan untuk mengatur liturgi dalam Gereja "semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup. Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai macam Konferensi Uskup se-daerah yang didirikan secara sah. Maka dari itu tidak seorangpun, meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri." (Sacrosanctum Concillium 22). Demikianlah yang terjadi di Keuskupan Agung Semarang, sejak tahun 1970-an, Gereja Katolik Keuskupan Agung menetapkan Gerakan Aksi Puasa Pembangunan atau yang dikenal dengan Gerakan APP sebagai langkah nyata pertobatan yang khas bagi umat Keuskupan Agung Semarang. Dalam tulisan ini, kita akan melihat lebih jauh mengenai Gerakan APP yang sudah terjadi di Keuskupan Agung Semarang.

Seringkali Gerakan APP dipahami sebagai kegiatan yang diisi dengan pendalaman atau sarasehan umat seputar tema APP yang sudah ditetapkan oleh Keuskupan Agung Semarang. Bahkan tidak jarang pendalaman atau sarasehan itu kental dengan nuansa ibadat yang melibatkan aturan liturgis tertentu. Atau seringkali dipahami bahwa Gerakan APP merupakan gerakan untuk mengumpulkan uang dalam kotak yang diedarkan kepada umat selama Masa Prapaska di Keuskupan Agung Semarang. Beberapa pandangan ini merupakan pandangan yang kurang tepat terhadap Gerakan APP. Bicara mengenai Gerakan APP, perlu disadari bahwa gerakan ini merupakan gerak pertobatan "kedalam" dan "keluar" yang perlu dihayati oleh seluruh umat.

Gerakan APP menjadi gerakan "kedalam" karena umat diajak untuk mengolah diri menjadi pribadi yang lebih baik untuk mempersiapkan diri merayakan Paska. Pengolahan diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik ini ditandai dengan laku pantang dan puasa. Pantang dan puasa merupakan tindakan yang erat dengan pengendalian diri. Pantang berarti mengurangi atau menghindari untuk melakukan atau mengonsumsi hal-hal yang disukai, misalnya pantang rokok, pantang daging, pantang telur, pantang jajan, pantang main game, dan sebagainya. Orang Katolik wajib berpantang pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat sampai Jumat Agung. Jadi, pantang hanya dilakukan pada 7 hari selama masa Prapaska. Yang wajib berpantang adalah semua orang katolik yang berusia empat belas (14) tahun ke atas. Puasa berarti makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Ada banyak tafsiran mengenai puasa ini. Bisa dihayati sebagai makan hanya satu kali sehari, makan kenyang satu kali sehari sedangkan yang lain tidak kenyang, dan sebagainya. Orang Katolik wajib berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Jadi, selama masa Prapaska, kewajiban puasa hanya dua hari saja. Yang wajib berpuasa adalah semua orang beriman yang berumur antara delapan belas (18) tahun sampai awal enam puluh (60) tahun. Aturan pantang dan puasa terasa begitu ringan. Yang perlu disadari adalah semangat tobat yang hendak dibangun saat menjalankan pantang dan puasa dalam kehidupan beriman. Jika umat beriman ingin memberikan tekanan lebih pada tindakan pantang dan puasa yang diakukannya sehingga menjadi lebih berat daripada yang sudah ditetapkan oleh Gereja, tentu sangat diperbolehkan sejalan dengan semangat tobat yang ingin dihayati. Penetapan puasa dan pantang secara pribadi secara lebih berat yang dilakukan oleh umat beriman di luar yang sudah ditetapkan oleh Gereja tidak mengikat dengan sangsi dosa. Pantang dan puasa dalam Masa Prapaska ini juga harus disertai dengan olah rohani. Selama masa Prapaskah ini, kita juga diundang untuk tekun membina kesalehan hidup, baik kesalehan rohani yang kita dapat wujudkan dengan 1) tekun setia dalam doa, membaca dan merenungkan sabda Tuhan, 2) tekun merayakan Ekaristi, 3) menerima Sakramen Tobat, 4) memperdalam khazanah pengetahuan iman, 5) mengikuti berbagai kesempatan untuk olah rohani (rekoleksi atau retret), serta 6) melaksanakan keutamaan hidup pribadi dalam setiap perbuatan baik yang kita usahakan. Inilah makna Gerakan APP sebagai gerakan "kedalam" sehingga membuat setiap orang Katolik meningkat dalam kebaikan pribadi.

Selain "kedalam," Gerakan APP harus menjadi gerakan "keluar" dimana setiap orang Katolik diutus menjadi berkat kepada semua orang yang ada di sekitarnya. Tindakan ini dilakukan melalui derma dan amal kasih. Oleh karena itu, dalam Masa Prapaska, keluarga-keluarga Katolik menerima Kotak APP sebagai sarana untuk mewujudkan diri menjadi berkat bagi orang lain. Sejak awal, Gerakan APP sudah digagas sebagai gerakan yang dapat memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan rakyat merupakan wujud dari pelayanan yang mendahulukan kaum miskin dengan pendekatan analisis struktural sekaligus kultural. Gerakan APP diharapkan sebagai penggerak pembangunan demi terwujudnya Kerajaan Allah. Dalam sejarahnya, Gerakan APP ini dimulai pada tahun 1970-an. Sejak Sinode Para Uskup tahun 1971, Gereja Katolik semakin menyadari bahwa pewartaan Injil tanpa usaha menegakkan keadilan tidaklah utuh. Mengaku Allah tetapi melupakan perjuangan keadilan dan pembebasan adalah sama dengan mengaku mencintai Allah tanpa sesama. Selanjutnya, kesadaran Gereja ini diwujudkan dalam bentuk pilihan mendahulukan kaum miskin dan tidak berdaya, preferential option for (and with) the poor and oppressed. Mendahulukan kaum miskin dan tertindas, memperjuangkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan, merupakan wujud serta tanda kesetiaan Kepada Injil Yesus. Gagasan APP diinisiasi pada tahun 1969 oleh R.P. Carolus Carri, SJ yang saat itu menjabat Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang. R.P. Carri yang menaruh kepedulian terhadap masalah-masalah sosial memanggil R.D. Gregorius Utomo untuk mempersiapkan kegiatan Aksi Puasa yang bisa menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin seperti yang disampaikan oleh Paus Paulus VI melalui dokumen Ajaran Sosial Gereja yang berjudul Populorium Progressio (1967). Gerakan ini berdasar pada pemahaman bahwa inti pewartaan Injil adalah Kerajaan Allah yang berpusat pada kebenaran, damai, dan sukacita. Ketiga karakter atau dimensi Kerajaan Allah ini tidak hanya berkaitan dengan bidang spiritual atau perasaan, melainkan dengan realitas yang harus diimplementasikan dalam kenyataan hidup konkrit. Oleh karena itu, gagasan yang ingin disampaikan dalam Gerakan APP adalah bagaimana nilai-nilai Kerajaan Allah bisa menyentuh hal-hal yang sehari-hari dialami oleh masyarakat. Keadilan dan kebenaran selalu mengacu pada hubungan sosial yang benar dengan pengertian dasar pembelaan terhadap yang lemah dan pembebasan orang-orang tertindas (Mzm 82). Mengenal Yahwe (Allah) berarti melakukan keadilan (Yer 22:16). Melakukan keadilan berarti masuk dalam hubungan dengan Allah yang memberikan hidup, dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan ciptaan. Yang menjadi dasar Gerakan APP adalah pertobatan yang mengarahkan diri kepada Allah dan ikut serta membangun Kerajaan-Nya. Wujud dan buah pertobatan bisa bermacam-macam dan selalu berkait erat dengan keadilan sebagaimana dikatakan Nabi Yesaya: "Inilah puasa yang kusukai membuka belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali mencekit, membebaskan yang teraniaya, mematahkan setiap penindasan..." (Yes 58). Dana yang dikumpulkan dalam Gerakan APP sebagai salah satu buah dari proses pertobatan melalui gerakan APP terarah kepada kesejahteraan dan kedamaian manusia terutama bagi mereka yang kehilangan harapan, tersingkir dan tertindas. Dengan demikian gerakan APP menjadi persembahan kepada Tuhan untuk keselamatan bersama. Pengumpulan dana ini akan digunakan oleh Gereja untuk mengalirkan berkat (dana) yang diperolehnya ke tengah masyarakat untuk pengembangan atau pemberdayaan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan dan kedamaian manusia. Dana yang dikumpulkan melalui Gerakan APP ini menjadi cara Gereja untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, prinsip subsidiaritas dan solidaritas sangat dikedepankan dalam pemanfaatan dana ini. Dana APP mengakomodasi kebutuhan dua kelompok umat dan masyarakat dengan kateori berikut: 1) Mereka yang berkekurangan dan atau yang ingin membangun kemandirian hidup serta 2) Mereka yang miskin dan berkekurangan dalam hal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Dana APP tidak hanya diperuntukkan bagi umat Katolik saja, tetapi diperuntukkan bagi siapa saja yang termasuk dalam kategori KLMTD, terutama mereka yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar tahap I (pangan, sandang, papan), maupun kebutuhan dasar tahap II (pendidikan, kesehatan, lapangan kerja). Dana APP dapat diperuntukkan untuk mereka yang tidak beragama Katolik, tetapi dalam hal ini, pihak pemohon (paroki) perlu bijaksana terutama untuk tidak menimbulkan gejolak sosial (isu SARA). Inilah makna Gerakan APP sebagai gerakan "keluar" sehingga dana APP dapat menjadi sarana untuk menjangkau kebutuhan setiap orang - termasuk mereka yang tidak beragama Katolik - yang memerlukan bantuan.

Berkaitan dengan Dana APP, ada beberapa wawasan yang bisa dipahami agar pemanfaatan dana tersebut sesuai dengan arahan Gereja Katolik. Menurut materi Sosialisasi Juknis Buku APP Tahun 2024, semangat dasar yang menghidupi pemanfaatan Dana APP adalah cinta kasih, solidaritas, subsidiaritas, dan kemurahan hati. Selain itu, dana APP juga dimanfaatkan dalam semangat Deus caritas est yang berarti bahwa Allah adalah kasih serta Yesus adalah Sang Gembala baik yang mencari dan menyelamatkan. Dana APP ini juga ingin berpihak kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Pemanfaatan dana APP juga memiliki prinsip dan kriteria. Adapun prinsip pengelolaan dana APP adalah 1) ditujukan untuk pelayanan karitatif dan pemberdayaan, terutama bagi mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel; 2) tepat sasaran, terkendali, transparan, dan akuntabel; 3) mengembangkan semangat keadilan dan pemerataan; serta 4) melibatkan berbagai pihak (termasuk dalam hal pendanaan yaitu dana swadaya dari masyarakat atau umat serta dana subsidi dari paroki). Adapun kriteria yang digunakan dalam pengelolaan dana APP ini adalah 1) selaras dengan kepentingan, citra, dan jatidiri Gereja; 2) sesuai kebutuhan (memenuhi kebutuhan dasar dan pemberdayaan); serta 3) layak, pantas, wajar, tidak berlebihan, efektif, dan efisien. Hal terakhir yang perlu diperhatikan berkaitan dengan dana APP ini adalah spesifikasi pemanfaatan dana. Bidang-bidang yang dapat mengambil manfaat dari dana ini adalah 1) Bidang Kesejahteraan (pemenuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan umum), 2) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Perorangan maupun Kelompok (pemberdayaan pada bidang pertanian, peternakan, perikanan, UMKM, ketrampilan dan jasa), 3) Bidang Pengembangan Iman dan Motivasi (retret, pelatihan, rekoleksi, kaderisasi dan sebagainya), 4) Bidang Emergency Response (bantuan kedaruratan bencana alam serta bantuan berkaitan dengan air, sanitasi, dan kebersihan atau WASH seperti yang dicanangkan oleh UNICEF). Berbagai macam catatan mengenai pemanfaatan Dana APP ini tentunya akan terus berubah sesuai perkembangan zaman. Namun, melalui dana APP, Gereja Katolik untuk menjadikan dirinya sebagai institusi yang terus signifikan dan relevan dengan zaman. Mengenai teknis pemanfaatan Dana APP ini, silakan menghubungi Tim Pelayanan PSE APP yang ada di bawah Bidang Diakonia paroki masing-masing.


Inilah sekilas yang dapat disampaikan berkaitan dengan Gerakan APP. Semoga tulisan sederhana ini semakin membuat kita menyadari bahwa APP merupakan gerakan "kedalam" maupun "keluar."

Sumber Pustaka:
Panitia Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Agung Semarang. Kembali ke Semangat Dasar Aksi Puasa Pembangunan, Kerangka Dasar. Semarang: Panitia Aksi Puasa Pembangunan Keuskupan Agung Semarang. 2002.
Martinus Sutomo, Pr. "Sosialisasi Buku Juknis APP 2024" (Materi Presentasi). Surakarta: Komisi PSE Kevikepan Surakarta. 2024.