Kata “pelayanan sosial” merupakan kosakata baru dalam dinamika
pembelajaran di Ruang Podjok. Kata ini menjadi ngetren setelah ada beberapa
anggota keluarga Ruang Podjok yang tidak mengikuti kegiatan Ziarah dan Bakti
Sosial di Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. Pembaruan itu memang tidak mudah. Baru
digulirkan sebentar saja, kata pelayanan sosial ini sudah menuai komentar di
sana-sini. Dalam konteks ini, pelayanan sosial menjadi sebuah konsekuensi
pilihan dari siswa-siswi yang memilih tidak ikut dalam Ziarah dan Bakti Sosial.
Siswa-siswi tersebut memang diberi tugas khusus untuk memberikan pelayanan
sosial di tempat yang telah ditentukan. Anggota keluarga Ruang Podjok yang
mengikuti pelayanan sosial ini adalah Debi Perpitasari, Erna Yuniati, Ellanda
Surya Kusuma, dan Yama Rucika Diana Sari.
Awalnya, pelayanan sosial yang direncanakan di panti jompo, namun berdasarkan
kesepakatan bersama siswa-siswi yang akan melaksanakan, tugas pelayanan sosial
dipindahkan ke panti asuhan. Panti asuhan yang dituju dalam pelayanan sosial
tahun ini adalah Panti Asuhan Yayasan Anak Mandiri (Beth San) di Jalan
Sidomukti, Cemani, Grogol, Sukoharjo. Banyak komentar di sana-sini tentang
pelayanan sosial ini. Ada pula siswa-siswi yang tidak bertanggungjawab sehingga
tidak mau melaksanakan tugas ini sebagai konsekuensi atas pilihannya. Adakah
kata “pelayanan sosial” itu menjadi sesuatu yang menyeramkan? Sebentar, kita
tampaknya perlu memahami istilah ini secara benar terlebih dahulu.
Kata “pelayanan sosial” diterjemahkan dari kata asing “community
service.” Pelayanan sosial adalah pelayanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk kepentingan masyarakat atau sebuah lembaga. Pelayanan
sosial ini berbeda dengan sukarelawan karena pelayanan sosial tidak selalu
dilakukan secara sukarela. Pelayanan sosial dilakukan dengan berbagai alasan,
yaitu 1) pemerintah memerlukan pelayanan sosial dari warga seperti wajib
militer; 2) pengadilan memerlukan pelayanan sosial sebagai sanksi hukuman; 3)
sekolah memerlukan pelayanan sosial tersebut sebagai persyaratan untuk mencapai
tingkat yang lebih tinggi. Di Amerika, pelayanan sosial ini menjadi syarat
seseorang untuk lulus dari sekolah lanjutan. Di beberapa sekolah lanjutan di
negara bagian Washington, seorang pelajar harus memiliki 200 jam pelayanan
sosial untuk menerima ijazah. San
Francisco Unified School District menuntut siswa sekolah lanjutan untuk
memiliki 100 jam pelayanan sosial sebagai syarat kelulusan.
Pelayanan sosial juga dapat menjadi hukuman atau sanksi alternatif
bagi para pelanggar hukum. Dalam hal ini, pelayanan sosial menjadi sarana rehabilitasi,
sanksi sosial, atau denda. Dalam hal ini, pelayanan sosial selama jam tertentu
menggantikan denda yang harus ditanggung dan pelaksanaan pelayanan sosial ini
harus dicatat oleh pengawas pelayanan sosial. Pelayanan sosial sebagai sanksi
alternatif ini dapat dilakukan dalam banyak hal, misalnya: seorang yang
membuang sampah sembarangan harus melakukan pembersihan taman atau menyapu
tepian jalan, seorang yang mabuk saat mengemudi harus memberikan pembinaan di
beberapa sekolah tentang bahaya mengemudi dalam keadaan mabuk, seorang
pengacara yang terhukum harus melakukan tindakan pembelaan hukum secara gratis
bagi mereka yang tidak bisa membayar pengacara.
Praktek pelayanan sosial yang telah dilakukan sejauh ini memiliki
beberapa manfaat. Pertama, mereka yang melakukan pelayanan sosial memiliki
pengalaman bersentuhan di dunia nyata. Dengan demikian, pengetahuan dan
kerampilan mereka bertambah sehingga dapat membuat mereka semakin trampil di
dunia kerja. Kedua, mereka dapat berlatih bersosialisasi dengan orang lain.
Kebanyakan pelayanan sosial membuat orang berhubungan dengan orang lain. Dengan
demikian, mereka yang terlibat dalam pelayanan sosial bisa belajar berelasi
secara lebih baik dengan orang lain.
Di Indonesia, pelayanan sosial belum begitu populer. Bangsa yang
dahulu dikenal dengan bangsa yang ramah ini sekarang menjadi bangsa yang liar. Komaruddin
Hidayat menyatakan bahwa yang seharusnya ada dalam pendidikan – baik dalam
keluarga maupun sekolah – adalah penerapan nilai kemurahan hati dan belas
kasih. Namun, semuanya itu telah hilang. Yang tertinggal di sekolah,
kampus dan birokrasi adalah semangat berebut, bukan semangat berbuat kebaikan
(KOMPAS, 23 Juni 2013). Masih dalam media yang sama, Karen Armstrong – lewat bukunya
Twelve Steps to a Compassionate Life
(2010) – menyatakan bahwa dunia sedang terpolarisasi secara sangat berbahaya.
Ada ketidakseimbangan yang mencemaskan antara kekayaan dan kekuasaan. Hal itu
dapat membuat kemarahan, kebencian, keterasingan, dan keterhinaan meledak dalam
kekejaman yang membahayakan. Menanamkan aspek belas kasih kepada kaum muda
menjadi hal yang sangat penting dan berdampak sangat panjang.
Kesadaran untuk mau terlibat dalam pelayanan sosial perlu
dilakukan melalui kegiatan sehari-hari yang sangat sederhana. Cara hidup yang
mengedepankan belas kasih ini merupakan antitesis dari karakter hidup keji dan
suka mencuri. Orang korupsi itu bermental miskin karena meskipun sudah
berkecukupan masih merasa miskin terus menerus. Berbeda dengan orang yang
bermental kaya, yang meskipun hidup pas-pasan tetap mau berbagi karena merasa
hidupnya sudah cukup. Maka, perlulah kita mengenal apa yang dikatakan oleh Ibu Teresa dari Kalkuta,
“Sebarkanlah kasih kepadapun kamu pergi. Janganlah biarkan siapapun yang datang kepadamu pergi tanpa merasa lebih gembira.”