Minggu, 12 April 2020

Gereja Berada dalam Mode Tersebar Karena Wabah, Bukan Kali Pertama Gereja Mengalaminya

Selamat Paskah... Paskah 2020 dirayakan oleh umat Katolik secara istimewa. Paskah kali ini tentu akan meninggalkan kesan yang amat mendalam dalam diri umat beriman. Umat diberi kesempatan untuk membangun persekutuan iman bersama di dalam hakikat Gereja yang paling kecil, yaitu keluarga. Saya sendiri menghayati Paskah kali ini secara amat istimewa dan itu saya abadikan dalam status yang saya buat di media sosial. 
Jutaan umat Katolik mengalami Paska yang unik tahun ini. Pembatasan sosial secara fisik yang diberlakukan oleh pemerintah dalam berbagai versi tidak memungkinkan terjadinya perayaan-perayaan liturgi yang diikuti oleh banyak orang. Menyikapi situasi ini, hirarki Gereja Katolik cepat bertindak dengan mengeluarkan pernyataan yang mengatur jalannya liturgi selama pandemi Covid 19 ini. Kondisi seperti ini bukan pertama kalinya dialami oleh Gereja. Para paus dan uskup pernah mengambil kebijakan yang sama berabad-abad lalu untuk mencegah penularan wabah. Dua contoh diantaranya adalah wabah di Milan pada tahun 1576 dan wabah di Roma pada tahun 1656. 
Di Italia, kebijakan untuk meniadakan perayaan liturgi ini dipahami dengan cepat. Pengalaman Gereja Katolik hidup di tengah wabah yang sedang berjangkit membantu umat untuk memahami bagaimana dramatisnya peristiwa yang sedang terjadi. Italia pernah mengalami dua wabah yang membunuh ribuan orang sehingga diadakanlah pengekangan aktivitas kehidupan beriman dan pembatasan perayaan gerejawi. Berikut ini akan dipaparkan kisah singkat bagaimana Gereja Katolik hidup di tengah dua wabah yang pernah terjadi pada tahun 1656 dan 1576.
Selama terjadinya wabah tahun 1656, Paus Alexander VII mengambil keputusan besar untuk mencegah penularan yang bisa mengakibatkan jutaan kematian di seluruh Semenanjung Italia. Dalam laporan sejarah, ditulis demikian, “Descrizione del contagio che da Napoli si comunicò a Roma nell'anno 1656" (Rome, 1837), kita membaca: ‘Tidak hanya perkumpulan secara sipil [...] tetapi perkumpulan secara rohani dilarang, seperti perayaan di kapel kepausan, prosesi umum, perkumpulan kesalehan, perayaan-perayaan kudus di gereja; juga menutup acara-acara perayaan luar biasa yang sangat dicintai oleh banyak orang.’” Paus juga mempromulgasikan yubileum universal tanpa prosesi atau kunjungan ke beberapa basilika tertentu untuk mencegah berkerumunnya orang-orang. 
Marco Rapetti Arrigoni – seorang wartawan Italia, penulis beberapa artikel mengenai pandemi dalam sejarah serta sikap otoritas religius – menulis dalam blognya bahwa “Dewan Kesehatan” [yang berada di kota Roma dan berurusan langsung dengan wabah] memiliki sistem karantina yang didasarkan pada pemisahan yang ketat atas mereka yang sedang dirawat di rumah sakit yang tersebar di beberapa bagian kota. Ada pengaturan terpisah bagi mereka yang sakit, yang terduga sakit, dan yang sembuh. “Tujuannya adalah isolasi secara cepat dan memindahkan mereka yang terjangkit, dengan kewajiban mengarantina siapa saja yang pernah mengadakan kontak dengan mereka.”  Sebagai tambahan, Arrigoni mencatat, “Dewan Kesehatan, atas perintah Tahta Suci, juga ikut campur mengatur kehidupan religius dengan mempertimbangkan pembatasan-pembatasan yang perlu. “Adorasi Ekaristi Umat 40 Jam ditunda. Prosesi dan kotbah di jalanan dilarang. Perayaan dan upacara diadakan dalam ruangan. Otoritas Gerejawi diwajibkan untuk melaksanakan devosi dan doa pribadi dan tertutup.” Meskipun demikian, orang-orang Roma tetap mengunjungi Gereja Santa Maria di Portico, yang menjadi tempat bertahta ikon Perawan Terberkati dari Portico, pelindung kota dari bawah penyakit. Karena ditakutkan bahwa berkerumunnya orang-orang akan membuah wabah semakin mudah tersebut, Dewan Kesehatan memerintahkan agar gereja tersebut ditutup.
Saat terjadi wabah tahun 1576, sama seperti Paus yang memberikan perhatian pada keselamatan jiwa-jiwa dan juga kesehatan umat beriman, otoritas Gereja pengikut Santo Ambrosius di Milan pernah melakukan hal yang sama. Ketika Milan terserang wabah pada tahun 1576, Gubernur Kota Milan, Antonio de Guzman y Zuñiga, menetapkan pembatasan bagi para peziarah. Arrigoni mencatat bahwa untuk memasuki kota, para peziarah harus berada dalam kelompok kecil. Kelompok kecil itu harus memiliki surat atau dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan kota asal dan menyatakan bahwa kelompok tersebut tidak memiliki gejala penyakit sampar.
Kardinal Carolus Borromeus, Uskup Agung Milan, mendorong para imam untuk menolong mereka yang sedang sakit. Ia sendiri pun melakukan hal yang sama. Arrigoni mencatat beberapa fakta menarik tentang kardinal ini. Waspada atas resiko penularan dan untuk mencegah dirinya sebagai pembawa wabah, sang kardinal menjaga jarak aman saat berinteraksi dengan lawan bicaranya. Ia sangat sering berganti pakaian dan mencucinya dalam air mendidih. Ia mensterilkan segala yang dipegangnya dengan api atau dengan busa yang selalu direndam dalam cuka yang selalu dibawanya serta. Ketika mengunjungi wilayah keuskupannya, Kardinal Borromeus menyimpan uang-uang logam untuk derma dalam bejana yang diisi cuka.
Dalam rangka memohon kepada Tuhan untuk mengentikan wabah, Uskup Agung Milan tersebut melakukan empat prosesi. Prosesi tersebut hanya boleh dihadiri oleh para pria dewasa yang dibagi dalam dua baris dengan jarak 3 meter satu satu sama lain. Mereka yang terjangkit dan terduga sakit dilarang menghadiri acara tersebut. Dengan bertelanjang kaki dan tali bergantung di lehernya, Kardinal Carolus Borromeus sendiri yang memimpin prosesi pertama dari Katedral Milan sampai Basilika Santo Ambrosius. 
Ia juga mengajukan permohonan agar seluruh warga kota untuk tetap tinggal dalam rumah selama 40 hari. Sebuah laporan kuni juga menyebutkan bahwa sang kardinal melakukan segala yang ia bisa untuk membantu mereka yang miskin dan sakit. Pada 15 Oktober 1576, Pengadilan menerima permohonan Kardinal Borromeus dan mengeluarkan pernyataan umum tentang karantina seluruh pendidik Milan. Pada 18 Oktober 1576, sang kardinal juga mengeluarkan keputusan yang sama bagi para klerus dan religius yang memerintahkan mereka untuk “tinggal di rumah” kecuali bagi mereka yang memberikan pendampingan spiritual maupun material kepada para warga. Warga Milan yang berada dalam karantina tidak dapat pergi ke gereja untuk berdoa atau menghadiri Ekaristi. Santo Carolus Borromeus memastikan bahwa setiap perempatan jalan kota harus diberi salib dan altar yang dapat digunakan untuk merayakan Ekaristi sehingga umat beriman bisa berpartisipasi dari jauh melalui jendela rumahnya. Sejak pertengahan Desember 1576, penyebaran wabah tampak melambat. Meskipun ada perkembangan situasi, pejabat yang berwenang tetap memutuskan untuk memperpanjang karantina. Meskipun menyetujui pepanjangan ini, sang kardinal menyesalkan bahwa umat tidak dapat pergi ke gereja, bahkan untuk merayakan Natal.
Pengalaman Gereja menghadapi wabah sepanjang sejarah telah membuat Gereja Katolik bisa mengambil sikap yang tepat. Gereja memang tidak lepas dari dunia. Pengalaman berinteraksi dengan dunia membuat Gereja bisa bertindak secara bijaksana. Semoga kita juga boleh belajar sesuatu dari pengalaman sepanjang sejarah hidup kita. Selamat Paskah. Berkah Dalem.
#banggamenjadiorangkatolik #merayakanpaskahdarirumah

Sumber Pustaka:
https://www.vaticannews.va/en/vatican-city/news/2020-04/epidemics-quarantines-empty-churches-history-tornielli.html Diakses 12 April 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar