Kamis, 07 Oktober 2021

10 Tahun Ruang Podjok: Tidak Pernah Berhenti Melayani, Sementara Hanya Berganti Ruangan

Bulan Oktober selalu menjadi bulan istimewa bagi Ruang Podjok Agama Katolik Skaga. Bulan ini, selain dirayakan sebagai salah satu bulan untuk menghormati Bunda Maria sebagai Ratu Rosario, menjadi bulan peringatan kelahiran bagi Ruang Podjok Agama Katolik Skaga. Tidak terasa, pada tahun ini, di bulan Oktober, aktivitas di Ruang Podjok sudah berjalan selama sepuluh tahun. Bayangkan... aktivitas kegiatan rohani di sekolah secara rutin bisa berjalan selama sepuluh tahun... 

Momen ini, bagi saya, tidak ingin saya rayakan sebagai suatu pencapaian. Namun, momen ini ingin saya gunakan untuk bersyukur atas karya Allah yang terjadi di Ruang Podjok selama sepuluh tahun ini... Saya, sebagai Penjaga Ruang Podjok, menyadari bahwa selama ini, yang terutama bekerja di Ruang Podjok adalah Allah sendiri. Ia menghembuskan nafas kehidupan agar terjadi aktivitas di Ruang Podjok. Ia menganugerahkan Roh Kudus kepada setiap pribadi yang pernah singgah di Ruang Podjok. Ia membimbing seluruh anggota dengan inspirasi yang luar biasa, terutama di tengah pandemi yang masih melanda dunia ini.

Oleh karena itu, tulisan ini mengambil judul "10 Tahun Ruang Podjok: Tidak Pernah Berhenti, Sementara Hanya Berganti Ruangan."

Mengapa saya memilih judul itu? Saya merasa bahwa judul ini sangat aktual dengan kondisi pandemi Covid-19 yang masih melanda ini. Saya masih ingat bahwa pada kuartal pertama tahun 2020, dunia dipaksa berhenti untuk mencegah penyebaran wabah penyakit. Di situlah aktivitas Ruang Podjok secara fisik juga terhenti seiring dengan terhentinya aktivitas persekolahan yang sangat potensial menimbulkan kerumunan dan ditakutkan menjadi sarang penyebaran wabah. Saat itu, saya pun dipaksa untuk memasuki babak baru dalam pelayanan  Ruang Podjok, yaitu pelayanan secara online. Apa-apa online... Seluruh kegiatan online... Inilah episode baru kehidupan pelayanan Ruang Podjok yang harus diterima dengan lapang hati... Bulan-bulan pertama masih terasa sulit... Namun, saya kemudian berpikir: kalau saya berhenti, pelayanan tidak akan berlanjut. Akhirnya, setelah Paskah tahun 2020, pelayanan kembali berjalan sesuai dengan anjuran dari pemerintah: yaitu secara online.

Saya menyangka bahwa aktivitas online akan berakhir pada akhir tahun 2020. Ternyata tidak, aktivitas online ternyata berlanjut sampai akhir tahun pelajaran. Oleh karena itu, di awal tahun pelajaran baru, saya membuat status dalam media sosial yang saya miliki tentang keberadaan Ruang Podjok: "Di tengah gelombang pandemi, kegiatan Kerohanian Katolik SMK Negeri 3 Surakarta tidak pernah berhenti... Hanya ruangannya saja yang berganti... Mari bergabung dan mencecap pengalaman para murid pertama saat bertemu dengan Yesus..." Bagi saya, status ini menunjukkan bagaimana Ruang Podjok tetap hadir melayani selama pandemi. Pandemi memang membuat aktivitas terbatasi, tetapi pandemi tidak boleh membuat manusia berhenti untuk melayani. Bagi saya, pandemi malah membawa berkah dalam pelayanan kerohanian ini. Pelayanan kerohanian ini boleh berkembang melalui cara baru untuk menyapa dan hadir di tengah siswa-siswi Katolik SMK Negeri 3 Surakarta.

Dari sudut pandang pribadi, pandemi telah membawa berkah bagi saya untuk mengembangkan diri dan pelayanan  kerohanian ini. Ketika pandemi melanda, media online yang dulunya hanya berfungsi sebagai sarana dokumentasi menjadi tulang punggung untuk memberikan pelayanan. Internet dan konektivitas menjadi tumpuan yang dapat diandalkan dalam pelayanan kerohanian ini. Dalam pandemi pula, pelayanan  kerohanian ini berkembang. Semula, pelayanan hanya berjalan melalui grup WhatsApp... Seiring perjalanan waktu, semakin banyak media sosial yang dirambah: Instagram dan Google Meet menjadi sarana untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan. 

Satu setengah tahun pandemi ini, muncul sebuah pertanyaan dalam benak saya: Akankah kegiatan persekolahan bisa berjalan lagi seperti dulu? Banyak siswa berkerumun... Berbagai aktivitas bersama... Kegiatan yang begitu padat... Saya sendiri tidak tahu bagaimana akan menjawabnya. Nah, kalaupun dunia persekolahan tidak bisa kembali seperti dulu, paling tidak pelayanan kerohanian ini sudah bersiap diri untuk menghadapi situasi baru. Pengalaman mencecap pelayanan secara online bisa menjadi suatu alternatif yang terus dipilih ketika tidak dimungkinkan terjadi perjumpaan secara langsung oleh sejumlah besar orang dalam waktu yang sama. Bagi saya, pelayanan secara online mungkin akan terus digunakan. Lagipula, pelayanan secara online ini akan menjangkau mereka yang tidak terjangkau, menyapa mereka yang tidak tersapa, dan merengkuh mereka yang tidak terengkuh entah di manapun mereka.

Semua orang memang berharap bahwa situasi segera membaik. Semoga nantinya, kegiatan di Ruang Podjok bisa kembali terjadi secara fisik meskipun tetap ada kebiasaan baru yang wajib dilakukan. Sementara belum terjadi, Ruang Podjok Agama Katolik Skaga tidak pernah berhenti melayani, sementara hanya berganti ruangan...

Terimakasih Tuhan karena sudah menyelenggarakan kehidupan kami selama sepuluh tahun ini... Semoga Tuhan tetap berkenan memelihara seluruh aktivitas di Ruang Podjok Agama Katolik Skaga di tahun-tahun mendatang... Syukur kepada Allah...

Minggu, 25 Juli 2021

Catatan Penjaga Podjok: Cura Personalis, Mencari dan Menyelamatkan...

Sejak diberi kepercayaan mengelola Ruang Podjok, Penjaga Podjok mencoba mengadopsi cara-cara sekolah Katolik bertindak untuk memberikan pelayanan kepada para anggota Ruang Podjok. Salah satu kekhasan yang coba diterapkan adalah Cura Personalis. 

Istilah Cura Personalis berasal dari tradisi pendidikan sekolah-sekolah yang dikelola para Yesuit. Pater Wladimir Ledochowski, SJ. mencetuskan istilah ini pada tahun 1934 untuk menekankan pentingnya perhatian  pribadi kepada  para  siswa  serta mengarahkan  setiap  individu  dengan  jalan petuah dan nasehat. 

Sebelum pandemi melanda, Penjaga Podjok sudah mencoba menerapkan Cura Personalis. Ada beberapa siswa-siswi yang sempat diperhatikan secara pribadi. Biasanya, langkah ini dilakukan dengan memanggil siswa (beserta orangtua jika diperlukan), lalu ada proses pembinaan bersama antara sekolah dan orangtua. 




Nah, untuk lebih jelasnya, mari sedikit mengenal tentang Cura Personalis... 

Cura Personalis adalah ungkapan dalam lembaga kerasulan atau komunitas Yesuit. Ungkapan dari bahasa Latin ini tidak digunakan secara langsung oleh Ignasius, pendiri Serikat Yesus, tempat para Yesuit hidup dan berkarya. Ungkapan Cura Personalis digunakan pertama kali oleh Pater Wladimir Ledochowski, SJ., Superior Jendral Serikat Yesus antara 1915 sampai 1942. Pada tahun 1934, dia mengirimkan New Instruction kepada Yesuit di Amerika Serikat mengenai ciri-ciri penting pendidikan Yesuit  di sana. Dia memberikan kejelasan dan arah kepada para Yesuit yang bersikukuh untuk tidak setuju terhadap kebutuhan akademik katolik Roma setelah perang dunia. Dua hal ditekankan Pater Ledochowski adalah keunggulan akademik dan kerjasama yang lebih  besar diantara kolese dan universitas pada level nasional. Di bawah sub judul “The Spirit behind Our Plan of Studies” (Iuxta Spiritum Rationis Studiorum), Pater Ledochowski menegaskan bahwa tujuan akhir pendidikan Yesuit adalah membantu  siswa mengetahui dan mencintai Tuhan lebih mendalam. Sebagai jalan menuju tujuan itu, dia menyinggung sebuah doktrin katolik dan filsafat skolastik, yaitu sebuah pendekatan pada pendidikan  yang  memandang belajar intelektual dalam perkembangan pribadi manusia yang utuh. Pater Ledochowski menekankan  dua  poin,  yaitu: perhatian pribadi kepada  para  siswa  dan mengarahkan setiap  individu  dengan  jalan petuah dan nasehat. 

Pada bulan Oktober 1972, ketika Pater Pedro Arrupe, SJ., Superior Jendral Serikat Yesus pada waktu itu, mempersiapkan diri mengunjungi St.  Peter College di Jersey untuk perayaan seratus tahun, Pater Laurence J. McGinley, SJ., Presiden Fordham University, mempersiapkan  kotbah  untuk kedatangan Pater Arrupe. Pater McGinley mengemukakan naskah lima halaman. Di akhir naskah itu dia mengungkapkan tiga hal yang    menjadi fokus  perhatiannya, yaitu: 1) kepercayaan abadi kepada para hadirin bahwa yang mereka kerjakan semuanya  adalah  penting,  2)  pendidikan kita yang unik telah diterima dan dimiliki sebagai warisan, dan 3) apa yang oleh para Yesuit  telah  ditemukan ialah suasana Cura Personalis - yaitu konsern, perhatian, atensi, cinta seorang guru pada muidnya dalam atmosfer kepercayaan personal. 

Pada tahun 1986, Cura Personalis mendapat penekanan yang menonjol pada sebuah dokumen  berjudul Ciri Khas Pendidikan pada Lembaga Pendidikan Yesuit. Dokumen ini merupakan dokumen Pendidikan Serikat setelah Ratio Studiorum yang  berlaku  lama  sejak  Abad Pertengahan. Dalam dokumen itu disampaikan bahwa 1) para  guru diharapkan mampu menghormati kebebasan para siswa dan 2) para guru diharapkan mendengarkan masalah-masalah  dan  kebingungan mereka tentang makna hidup, ikut ambil bagian dalam duka dan  sukanya, menolong mereka demi pertumbuhan pribadi dan hubungan dengan sesamanya. Dengan cara itu, anggota komunitas pendidikan yang dewasa membimbing para siswa dalam memperkembangkan seperangkat nilai untuk sampai kepada keputusan hidup yang mengatasi egoisme: keprihatinan pada kebutuhan orang lain. Disampaikan pula bahwa para  guru harus berusaha hidup dengan   memberikan teladan bagi para siswa dan rela berbagi pengalaman hidupnya sendiri. 

Cura Personalis, perhatian pada pribadi orang, hendaknya tetap menjadi ciri dasar pendidikan Jesuit. Pater Barton T. Geger, S.J., menyatakan bahwa instruksi Pater Ledochowski  jelas menyatakan bahwa  guru dan   dosen   di  lembaga   pendidikan Yesuit bertanggungjawab tidak hanya secara akademik, tetapi mereka diminta  menghayati   hidup   sebagai jalan panggilan. Selain untuk urusan akademis, mereka diajak memberikan hidupnya untuk para murid dan mahasiswa. Mengenai Cura Personalis ini, ada sebuah ungkapan yang saya temukan dalam dokumen Ways of Proceeding in Jesuit Schools, based upon ‘Characteristics’ yang diterbitkan oleh Serikat Yesus Provinsi Spanyol pada tahun 2006, “Kasih pastoral adalah suatu dimensi "cura personalis" yang memungkinkan tumbuhnya benih iman dan komitmen religius dalam diri setiap individu karena memungkinkan setiap pribadi mengenali dan menanggapi pesan kasih ilahi."

Pada masa pandemi, Cura Personalis menjadi salah satu andalan Penjaga Podjok untuk mengembangkan pendidikan karakter bagi siswa-siswi. Ada beberapa siswi yang kemudian diminta hadir ke sekolah. Di sana, para guru menyampaikan persoalan yang dihadapi berkenaan dengan mereka. Para siswi pun didengarkan kesulitan dan persoalan yang mereka alami. Ada kesempatan untuk memberikan nasehat. Bahkan, para siswi pun diberi solusi jika sekolah bisa membantu. 






Pandemi atau tidak pandemi, Cura Personalis tetap coba dijalankan di Ruang Podjok. Bagi saya pribadi, Cura Personalis ini merupakan cara yang sejalan dengan arahan Bapak Uskup Agung Semarang, yaitu untuk mencari dan menyelamatkan. Mencari karena selama pandemi, mungkin ada siswa-siswi yang menempuh jalan yang tidak seharusnya dilalui. Menyelamatkan karena Cura Personalis ini ingin menolong siswa-siswi untuk kembali menempuh jalan yang seharusnya. Meskipun demikian, Cura Personalis tetap memerlukan peran dua pihak, yaitu guru dan siswa. Guru harus tulus mencari dan menyelamatkan, sedangkan siswa juga harus mau dicari dan diselamatkan. Ibarat menolong orang yang jatuh ke jurang, orang yang ditolong harus mau menyambut tangan penolong yang sudah mengulurkan tangannya. Tanpa peran serta dua pihak ini, Cura Personalis tidak akan berhasil dengan baik. Semoga dengan demikian, siswa-siswi boleh mendapatkan bimbingan yang baik untuk menemukan kehendak Tuhan dalam dirinya.

Selasa, 16 Maret 2021

Catatan Penjaga Podjok: Setahun Pembelajaran Jarak Jauh, Tetap Semangat atau Sudah Loyo?


Tepat hari ini, 16 Maret 2021, resmi sudah saya melakukan Pembelajaran Jarak Jauh selama setahun. Saya mencoba melihat catatan presensi saya setahun yang lalu. Dalam aplikasi yang saya gunakan, pada tanggal 16 Maret 2020 tercatat bahwa saya melakukan presensi pagi pukul 06.57 dan setelah itu tertulis keterangan FM (
Force Majeure). Force Majeure adalah keadaan memaksa yang terjadi di luar kemampuan manusia sehingga kerugian tidak dapat dihindari. Saat itu, keadaan tersebut terjadi karena merebaknya virus yang menyebabkan pandemi Covid-19. Saat itulah yang mengubah semua keadaan, termasuk dunia pendidikan. Sekolah yang menjadi salah satu tempat publik, terpaksa harus ditutup untuk mencegah penyebaran penyakit secara masif. Akhirnya, pembelajaran di sekolah pun harus dilakukan dengan cara jarak jauh yang membuat pembelajaran terjadi meskipun guru dan murid tidak saling bertatap muka, bahkan terpisahkan dengan jarak yang relatif jauh.

Berhadapan dengan kenyataan tersebut, dunia persekolahan pun dipaksa untuk berubah. Satu hal yang pasti: Berubah atau Punah. Dengan segera, saya pun juga mengubah paradigma yang selama ini bercokol dalam kepala saya. Tadinya, saya menganggap bahwa pembelajaran jarak jauh tidak akan banyak bermanfaat. Tadinya, saya menganggap bahwa soal esai adalah bentuk soal yang paling mengasah kemampuan siswa. Tadinya, saya menganggap bahwa teknologi hanya berperan sebagai pelengkap dalam pembelajaran. Dan pandemi Covid-19 memaksa saya untuk mengubah semuanya itu. Dengan cepat, saya pun mengadopsi perubahan. Awalnya saya ragu untuk membuat perubahan, tetapi sekali lagi semua harus dilakukan. 

Tidak butuh waktu lama ternyata untuk berubah. Yang lebih diperlukan adalah kemauan untuk berubah. Nyatanya, dalam waktu enam minggu, pembelajaran yang tadinya dilakukan dengan tatap muka penuh bisa diubah menjadi pembelajaran daring. Kisah ini sudah saya coretkan melalui tulisan berikut: Catatan Penjaga Podjok: Mengelola Kelas Daring #1 Perubahan yang harus dilakukan dengan segera ini terus diperbarui dari waktu ke waktu. Ada banyak gagasan yang kemudian membuat pembelajaran daring menjadi semakin matang dan cukup bisa dipertanggungjawabkan (meskipun masih harus diakui bahwa tatapmuka tetap menjadi pilihan utama). Pembelajaran daring pun kemudian terus berjalan dari waktu ke waktu sampai sekarang.

Di tengah kegamangan yang terjadi selama pembelajaran daring, sering muncul pertanyaan: kapan situasi ini akan berakhir? Dalam waktu dekat? Atau masih jauh dari selesai? Dalam proses yang belum selesai ini, ada banyak reaksi. Ada yang bertahan dalam pembelajaran daring. Ada yang curi-curi pembelajaran tatap muka. Untuk yang curi-curi pembelajaran tatap muka seringkali muncul lelucon seperti ini:

Orang Dewasa : "Dik, mau kemana?"

Anak : "Sekolah, Om..." 

Orang Dewasa : "Lho, kok gak pakai seragam?"

Anak : "Iya Om, biar Corona gak tau kalau kita sedang sekolah..."

Orang Dewasa : &^%$#@$*!???

Memang situasi yang terjadi membuat banyak reaksi. Saya sendiri termasuk yang memilih reaksi bertahan. Ya mau bagaimana lagi? Virusnya menyebar ketika banyak orang berkumpul. Mana berani saya membuat kerumunan. Ini juga sekaligus supaya saya tidak termasuk golongan Covidiot. Covidiot merupakan istilah yang muncul selama pandemi ini. Dilansir dari laman Health, covidiot adalah mereka yang tidak menganggap serius Covid-19 dan risikonya, terlepas dari apa yang dikatakan pejabat pemerintah dan komunitas kesehatan global. Pada saat yang sama, mereka mungkin melakukan perilaku egois yang tidak mendukung upaya memperlambat dan menghentikan penyebaran virus corona. Saya sendiri menganggap bahwa dengan bertahan dalam pembelajaran daring, saya ikut terlibat menghambat penyebaran virus karena kita tidak tahu siapa yang membawa dan siapa yang menularkan. 

Sampai hari ini saya memang masih memilih reaksi bertahan dalam pembelajaran daring. Efeknya apa? Banyak... Salah satunya adalah kelelahan dalam menjalani pembelajaran daring. Memang pembelajaran daring ini tidak memiliki banyak variasi. Ya cuma itu itu saja... Namun, saya sendiri merasakan bahwa pembelajaran daring ini membuat saya banyak belajar: belajar untuk setia dalam hal yang itu-itu saja, belajar untuk membuat persiapan jauh hari, belajar untuk merencanakan, belajar untuk melakukan yang sudah direncanakan, belajar untuk mengatasi kesulitan dan banyak lainnya... 

Lalu kalau ditanya: Masih Semangat atau Sudah Loyo? Jawabannya pasti: Harus Terus Semangat... Mengapa? Ya karena bisanya cuma menjalani. Kalau saya kemudian menjadi kendor, pasti keadaan akan semakin buruk. Lalu siapa yang rugi? Banyak pihak: saya sendiri rugi, siswa-siswi saya rugi, bahkan masa depan pun dirugikan. Oleh karena itu jawabannya pasti... Harus Semangat... Saya menyadari bahwa pembelajaran jarak jauh bukanlah hal yang saya inginkan, tetapi kalau saya menyerah dengan keadaan, menjadi pasti bahwa saya sendirilah yang akan menanggung kerugian... Oleh karena itu, mari tetap semangat... Kata Abah Lala, "Rasah Aleman..." Semoga Anda sekalian yang membaca tulisan ini pun boleh menimba semangat yang sama... untuk tetap semangat... Berkah Dalem...

Rabu, 17 Februari 2021

Catatan Penjaga Podjok: Kita dan Asesmen Kompetensi Minimum

Sudah lama terdengar bahwa Ujian Nasional akan digantikan dengan Asesmen Nasional? Benarkah seperti itu? Apakah Asesmen Nasional menjadi pengganti Ujian Nasional? Semoga tulisan berikut sedikit memberikan informasi kepada kita...
Selama pandemi Covid-19, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan mengadakan pelatihan bagi guru yang diselenggarakan secara daring melalui program Guru Belajar. Salah satu seri dari  program tersebut adalah Seri Asesmen Kompetensi Minimum atau AKM.
Asesmen Kompetensi Minimum adalah salah satu instrumen dari Asesmen Nasional. Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap satuan pendidikan dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. Ada tiga instrumen utama Asesmen Nasional, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. AKM menjadi alat ukur mutu pendidikan dari segi kompetensi literasi dan numerasi yang dimiliki peserta didik.Oleh karena itu, guru diajak untuk belajar mendalami AKM secara khusus agar dapat menyiapkan strategi pembelajaran yang akan diterapkan pada satuan pendidikan dimana dia bertugas.
Bimtek Seri AKM berlangsung dalam 11 angkatan (4 Januari - 27 Februari 2021). Tujuan Bimtek Seri AKM adalah 1) Memahami konsep Asesmen Nasional; 2) Memahami bentuk pelaksanaan Asesmen Nasional; 3) Menganalisis contoh soal literasi membaca pada Asesmen Kompetensi Minimum; 4) Menganalisis contoh soal literasi numerasi pada Asesmen Kompetensi Minimum; 5) Membaca dan menindaklanjuti laporan hasil Asesmen Kompetensi Minimum; 6) Mengajak rekan guru untuk mengikuti program Guru Belajar Seri AKM. Peserta Program Seri AKM adalah semua Guru SD, SMP dan SMA/SMK; Kepala Sekolah SD, SMP dan SMA/SMK; Pengawas SD, SMP dan SMA/SMK; semua Guru SDLB, SMPLB, dan SMALB; Kepala Sekolah SDLB, SMPLB, dan SMALB; Peserta yang berasal dari Pendidikan Kesetaraan Jenjang Dasar dan Menengah dan telah memiliki Akun SIMPKB.
Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. Asesmen Nasional mengukur mutu setiap satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Asesmen Nasional terdiri dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1) Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk mengukur literasi membaca dan literasi matematika (numerasi) murid, 2) Survei Karakter untuk mengukur sikap, nilai, keyakinan, dan kebiasaan yang mencerminkan karakter murid; 3) Survei Lingkungan Belajar untuk mengukur kualitas berbagai aspek input dan proses belajar-mengajar di kelas maupun di tingkat satuan pendidikan. Asesmen Nasional dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Asesmen Nasional dirancang untuk menghasilkan informasi akurat untuk memperbaiki kualitas belajar-mengajar, yang pada gilirannya akan meningkatkan hasil belajar murid. Asesmen Nasional bertujuan untuk menunjukkan apa yang seharusnya menjadi tujuan utama satuan pendidikan, yakni pengembangan kompetensi dan karakter murid. Asesmen Nasional juga memberi gambaran tentang karakteristik esensial sebuah satuan pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan utama tersebut.
Asesmen Nasional tidak menentukan kelulusan dan tidak diberikan kepada murid yang ada di akhir jenjang satuan pendidikan. Asesmen Nasional tidak digunakan untuk menilai peserta didik yang menjadi peserta asesmen. Hasil Asesmen Nasional tidak akan memuat skor atau nilai peserta didik secara individual. Penilaian kelulusan peserta didik merupakan kewenangan pendidik dan satuan pendidikan. Melalui Asesmen Nasional, pemerintah melakukan evaluasi sistem pendidikan. Asesmen Nasional merupakan cara untuk memotret dan memetakan mutu sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, tidak semua murid menjadi peserta dalam Asesmen Nasional. Yang diperlukan adalah informasi sampel dari setiap satuan pendidikan pada jenjang kelas yang menjadi target dari Asesmen Nasional. Asesmen Nasional tidak menggantikan peran Ujian Nasional dalam mengevaluasi prestasi atau hasil belajar murid secara individual. Asesmen Nasional menggantikan peran Ujian Nasional sebagai sumber informasi untuk memetakan dan mengevaluasi mutu sistem pendidikan. Sebagai alat evaluasi mutu sistem, Asesmen Nasional akan menghasilkan potret yang lebih utuh tentang kualitas hasil belajar dan proses pembelajaran di satuan pendidikan. 
Laporan Hasil Asesmen Nasional akan dirancang untuk menjadi “cermin” atau umpan balik yang berguna bagi satuan pendidikan, Dinas Pendidikan, dan lembaga penyelenggara pendidikan dalam proses evaluasi diri dan perencanaan program penyelenggaraan pelayanan pendidikan.
Peserta Asesmen Nasional terdiri dari Murid, Guru, dan Kepala Sekolah. Murid akan dipilih secara acak oleh Kemdikbud. Satuan pendidikan mengirim daftar murid yang akan dijadikan sampel. Semua guru baik status kepegawaian tetap maupun pegawai lepas atau honorer boleh mengikuti Asesmen Nasional dan tidak ada batasan jumlah. Asesmen Nasional untuk murid akan dilaksanakan dua hari. Hari pertama untuk Asesmen Literasi Membaca dan Survei Karakter serta hari kedua untuk Asesmen Numerasi dan Survei Lingkungan Belajar.Bentuk Soal dalam AKM dapat dilihat melalui https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/akm/ 
Berikut ini adalah beberapa infografis yang dapat disimak untuk lebih memahami Asesmen Kompetensi Minimum:



Apa kepentingan kita terhadap Asesmen Nasional, terutama Asesmen Kompetensin Minimum? Kita terlibat untuk menyiapkan peserta didik dalam menguasai kompetensi literasi dan numerasi serta karakter yang diukur melalui Asesmen Kompetensi Minimum. Oleh karena itu, kita berkepentingan untuk memahami Asesmen Kompetensi Minimum agar kita bisa menyiapkan generasi mendatang yang cakap, kompeten, dan berkarakter. 
Menurut informasi terbaru, Asesmen Kompetensi Minimum memang belum jadi dilaksanakan dalam waktu dekat ("Mendikbud: Pelaksanaan Asesmen Nasional Diundur Jadi September 2021" yang dapat diakses melalui https://setkab.go.id/mendikbud-pelaksanaan-asesmen-nasional-diundur-jadi-september-2021/). Namun, kapanpun dilaksanakan, satuan pendidikan tetap harus mempersiapkan diri untuk terlibat dalam penilaian tersebut. Mumpung masih ditunda, semoga waktu yang ada ini bisa menjadi saat yang baik dan memadai untuk menyiapkan diri. Semoga tulisan ini boleh menambah informasi bagi siapa saja yang ingin tahu tentang Asesmen Nasional, khususnya Asesmen Kompetensi Minimum...