Kamis, 18 Januari 2024

Mengenal Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani Sedunia

Tanggal 18-25 Januari merupakan tanggal-tanggal istimewa dalam Gereja Katolik - dan juga Gereja-gereja selain Katolik - karena pada waktu itu, dirayakanlah Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani Sedunia. Dalam kurun waktu tanggal-tanggal itu, Gereja Katolik dan Gereja Kristiani lainnya memiliki waktu istimewa (dalam bahasa Jawa disebut wekdal mirunggan atau waktu yang dikhususkan) untuk berdoa bagi kesatuan umat Kristiani sedunia. Pekan Doa ini rutin dilaksanakan setiap tahunnya dengan tema-tema tertentu yang berbeda antara tahun yang satu dan tahun yang lain. 

Dulu, sebelum pandemi Covid-19 menyerang, SMK Negeri 3 Surakarta selalu merayakan Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani Sedunia ini dengan menyelenggarakan acara Natalan Bersama Kerohanian Kristen dan Kerohanian Katolik. Natalan Bersama ini kadangkala dilakukan di sekolah atau dengan meminjam tempat di gereja-gereja sekitar. Beberapa gereja yang pernah dipakai untuk Natalan Bersama dalam rangka Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani Sedunia ini adalah  GKJ Danukusuman (di gedung yang lama) dan Gereja Katolik San Inigo. Kisah-kisah tersebut dapat dilihat melalui postingan-postingan berikut: Merekam Kegiatan Selama Satu Semester dan Mengumpulkan Serpih-Serpih Kisah #1

Munculnya tradisi Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani Sedunia ini memiliki akar dari beberapa peristiwa yang pernah terjadi di dunia ini. Adapun beberapa peristiwa dan momen penting yang berkaitan dengan sejarah Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani dapat dipaparkan sebagai berikut:

Sekitar tahun 1740, di Skotlandia muncul suatu gerakan Pentakostal, yang memiliki hubungan dengan Amerika Utara. Gerakan ini memiliki amanat pokok yang mencakup doa bagi dan bersama semua Gereja. 

Pada abad berikutnya, ada beberapa peristiwa. Tahun 1820, James Haldane Stewart menerbitkan tulisan berjudul “Butir-butir untuk Kesatuan Umum Umat Kristiani demi Pencurahan Roh.” Tahun 1840, Ignatius Spencer, seorang petobat kepada Gereja Katolik Roma, menyarankan adanya suatu “Doa Bersama untuk Kesatuan.” Tahun 1867, Konferensi Para Uskup Anglikan Pertama di Lambeth menandaskan doa untuk kesatuan dalam Mukadimah Keputusan Konferensi. Tahun 1894, Paus Leo XIII mendorong kebiasaan menyelenggarakan suatu Pekan Doa untuk kesatuan dalam kerangka Pentakosta.

Sejarah Pekan Doa Sedunia diusulkan oleh Pastor Paul Wattson - seorang pendiri komunitas religius Anglikan yang kemudian bergabung dalam Gereja Katolik - pada tahun 1908 karena Pekan Doa - saat itu disebut Pekan Kesatuan Gereja - di bumi belahan utara biasanya dilaksanakan pada tanggal 18-25 Januari setiap tahunnya untuk melingkupi Pesta Santo Petrus dan Paulus yang memiliki makna simbolis. Sementara itu, di bagian selatan, Januari merupakan hari libur sehingga gereja-gereja di sana memilih waktu lain untuk menyelenggarakan Pekan Doa, misalnya pada hari sekitar Pentakosta dimana tanggal-tanggal tersebut juga memiliki makna simbolis persatuan Kristiani. Konsep Pekan Doa ini, dimulai pada tahun 1907 saat Pastor Paul mengadakan surat menyurat kepada Pendeta Spencer Jones, seorang rohaniwan dari Moreton-in-Marsh, Inggris. Pendeta Spencer menyarankan sebuah hari yang dikhususkan sebagai waktu doa bagi kesatuan umat Kristiani. Pastor Paul setuju atas gagasan tersebut, tetapi mengembangkan waktu yang diusulkan menjadi satu oktaf atau delapan hari. Setahun kemudian, Pastor Paul Wattson dan Suster Lurana White memulai Pekan Doa tersebut. Pastor Paul menyebutnya "Oktaf Kesatuan Gereja" yang dilakukan antara 18 Januari pada Pesta Pengakuan Santo Petrus dan 25 Januari pada Pesta Bertobatnya Santo Paulus. Gagasan ini mendapatkan restu dari Paus Pius X dan kemudian digalakkan oleh Paus Benedictus XVI yang menekankan perayaan tersebut dalam Gereja Katolik melalui Surat Romanorum Pontificum pada 25 Februari 1916. 

Tahun 1926, Gerakan Faith and Order mulai menerbitkan “Saran-saran untuk suatu Pekan Doa untuk Kesatuan umat Kristiani.” Gagasan Pekan Doa ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Abbas Paul Couturier dari Prancis pada tahun 1935 yang menganjurkan adanya “Pekan Doa Universal untuk Kesatuan Umat Kristiani,” yang secara inklusif melibatkan semua orang, untuk memohon dan mengupayakan “kesatuan yang dikehedaki Kristus lewat sarana-sarana yang Ia kehendaki.” Dalam tulisan-tulisan terakhirnya, ia melihat Pekan Doa ini sebagai alat yang memungkinkan doa universal Kristus "untuk memasuki dan menjiwai seluruh Persekutuan Kristiani" sehingga semua itu harus berkembang sampah menjadi seruan seluruh Umat Allah.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1958, Unité Chrétienne (Lyon, Prancis) dan Komisi Faith and Order dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia mulai bekerja bersama dalam  menyiapkan bahan-bahan untuk Pekan Doa.

Setelah Konsili Vatikan II, perkembangan Pekan Doa ini menjadi semakin sempurna. Tahun 1963, nama Oktaf Kesauan Gereja berubah menjadi Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani. Tahun 1964, di Yerusalem, Paus Paulus VI dan Batrik Athenagoras I bersama-sama melambungkan doa Yesus “agar mereka semua bersatu” (Yoh. 17). Pada tahun yang sama,  terbitlah “Dekrit mengenai Ekumenisme” dari Konsili Vatikan II yang menandaskan bahwa doa merupakan  jiwa dari gerakan ekumenis sehingga dekrit ini mendorong pelaksanaan Pekan Doa. Pada tahun 1966, Komisi Faith and Order dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia dan Sekretariat untuk Memajukan Kesatuan Umat Kristiani [sekarang dikenal sebagai Dewan Kepausan untuk Memajukan Kesatuan Umat Kristiani] mulai membentuk badan resmi untuk bersama-sama menyiapkan bahan-bahan Pekan Doa. Pada tahun 1968, secara resmi, untuk pertama kalinya digunakan bahan Pekan Doa yang disiapkan bersama oleh Faith and Order dan Sekretariat untuk Memajukan Kesatuan Umat Kristiani [sekarang dikenal sebagai Dewan Kepausan untuk Memajukan Kesatuan Umat Kristiani].

Pada Tahun 1975, untuk pertama kalinya digunakan bahan Pekan Doa yang didasarkan pada teks dasar yang disiapkan oleh suatu kelompok ekumenis lokal. Kelompok pertama yang melaksanakan rencana ini dengan mempersiapkan draft awal 1975 adalah suatu kelompok di Australia. Tahun 1988, bahan-bahan Pekan Doa digunakan dalam ibadat pembukaan Federasi Kristiani Malaysia, yang menghimpun kelompok-kelompok Kristiani utama di negeri itu. Tahun 1994, teks untuk Pekan Doa 1996 disiapkan dalam kerjasama dengan YMCA dan YWCA.

Pada tahun 2004, dicapai kepekatan bahwa bahan-bahan untuk Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani disusun dan diterbitkan bersama dalam format yang sama oleh Faith and Order (DGD) dan Dewan Kepausan untuk  Memajukan Kesatuan Kristiani (Gereja Katolik). Tahun 2008, diadakan Perayaan Ulang tahun ke-100 Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani. (Pendahulunya, Pekan Kesatuan Gereja, pertama kali dilaksanakan pada tahun 1908.)

Setiap tahun, panduan Pekan Doa disusun oleh sebuah kelompok ekumenis dari berbagai wilayah di dunia ini. Dokumen itu kemudian akan ditinjau oleh sebuah komite yang terdiri dari para anggota Komisi Kepausan untuk Kesatuan Umat Kristiani dan Komisi dari Persekutuan Gereja-gereja Sedunia. Pekerjaan ini dikerjakan oleh dua pihak sebagai tanda hasrat kesatuan yang memotivasi orang-orang Kristiani dan sebagai tanda bahwa doa merupakan jalan utama untuk mencapai kesatuan penuh karena kita semua disatukan dalam tujuan yang sama seperti diinginkan oleh Tuhan yang menginginkan persatuan.

Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani Sedunia merupakan ungkapan yang paling efektif dari dorongan yang diberikan oleh Konsili Vatikan Ii untuk mencari kepenuhan penuh di antara para murid Kristus. Konsili Vatikan II mengemukakan bahwa gerakan ekumenisme merupakan pusat kegiatan dan kehidupan Gereja: "Konsili suci mengundang segenap umat Katolik, untuk mengenali tanda-tanda zaman, dan secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis. Yang dimaksudkan dengan “Gerakan Ekumenis” ialah: kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha, yang menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat kristen; misalnya: pertama, semua daya-upaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian serta tindakan-tindakan, yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, dan karena itu mempersukar hubungan-hubungan dengan mereka; kemudian, dalam pertemuan-pertemuan umat kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat, yang diselenggarakan dalam suasana religius, “dialog” antara para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada masing-masing peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan jelas menyajikan corak-cirinya. Sebab melalui dialog itu semua peserta memperoleh pengertian yang lebih cermat tentang ajaran dan perihidup kedua persekutuan, serta penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan. Begitu pula persekutuan-persekutuan itu menggalang kerja sama yang lebih luas lingkupnya dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap suara hati Kristen; dan bila mungkin mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa. Akhirnya mereka semua mengadakan pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan sebagaimana harusnya menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan dan reformasi." (Unitatis Redintegratio art. 4) Santo Yohanes Paulus II menggarisbawahi hakikat pokok dari tugas ini dalam Ensiklik Ut Unum Sint, "Kesatuan ini, yang Tuhan anugerahkan kepada Gereja-Nya dan yang ingin diterima oleh semua orang, bukanlah sesuatu yang ditambahkan, tetapi merupakan inti dari misi Kristus. Hal itu juga bukan merupakan atribut sekunder dari komunitas murid-muridNya. Sebaliknya, hal tersebut adalah inti dari komunitas ini." (art. 9). 

Pekan Doa merupakan bagian yang menyatu dalam aktivitas dalam kehidupan doa setiap orang Kristiani, di berbagai tempat dan waktu, terutama ketika orang-orang dari berbagai tradisi Kristiani bertemu dan bekerja bersama untuk perjuangan, dalam Kristus, mengatasi dosa, ketidakadilan, dan kekerasan terhadap martabat manusia. Mari kita bergabung dalam doa-doa selama Pekan Doa ini agar kesaksian, solidaritas, dan kolaborasi antara orang-orang Kristiani berkembang...

Sumber Pustaka:
Benediktus XVI. "Origins of the Week of Prayer for Christian Unity" dalam https://www.ewtn.com/catholicism/library/origins-of-the-week-of-prayer-for-christian-unity-6789. Diakses 14 Januari 2024.
_____. "A History of the Week of Prayer for Christian Unity" dalam https://www.atonementfriars.org/a-history-of-the-week-of-prayer-for-christian-unity/ Diakses 14 Januari 2024.
_____. "Sejarah Pekan Doa untuk Kesatuan Umat Kristiani" dalam https://www.imankatolik.or.id/Sejarah%20Pekan%20Doa%20untuk%20Kesatuan%20Umat%20Kristiani.htmlDiakses 14 Januari 2024.
____. "Sejarah Pekan Doa Sedunia Untuk Kesatuan Umat Kristiani" dalam https://santamariafatima.com/sejarah-pekan-doa-sedunia-untuk-kesatuan-umat-kristiani/ Diakses 14 Januari 2024.

Rabu, 10 Januari 2024

Kisah Artaban, Sang Majus Keempat...

Gereja Katolik mengajarkan kepada kita semua bahwa nama tiga orang majus dari timur yang mengunjungi Bayi Yesus berasal dari tradisi yang diperoleh sejak abad ke-7, dengan nama Caspar, Melchior, dan Balthasar. Santo Beda(672/673 - 735) menyatakan hal tersebut dalam tulisannya, "Excerpta et Collectanea" sebagai berikut: "Orang majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan. Yang pertama dikatakan bernama Melchior, seorang tua berambut putih dan berjenggot panjang… yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja. Yang kedua bernama Caspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya berbintik-bintik kemerahan… menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu persembahan yang layak bagi yang ilahi. Yang ketiga, berkulit hitam dan berjenggot lebat, namanya Balthasar… dengan persembahan mur yang menandai bahwa Anak Manusia akan wafat.” Masing-masing mereka sering diidentikkan sebagai berikut: Melchior sebagai Raja Arab, Gaspar (atau Caspar) sebagai Raja Sheba, dan Balthazar sebagai Raja Mesir.

Namun, ada juga ahli yang mengatakan bahwa sebenarnya ada ‘Orang Bijak Keempat yang Misterius’, yang bernama Artaban, seorang Raja Persia (Iran), yang membawa safir biru, batu ruby merah, dan mutiara sebagai persembahannya. Lalu, mengapa Artaban tidak dihitung dalam kunjungan orang majus ke Betlehem? Apakah Artaban bisa akhirnya melihat bayi Yesus di Betlehem? Nah, ini cerita yang lebih menarik lagi.

Artaban adalah orang Majus keempat yang tidak mendapat kesempatan untuk bisa bertemu dengan Tuhan Yesus, ketika Dia dilahirkan di Betlehem. Padahal sebelumnya Artaban telah menjual sejumlah harta kekayaannya agar dia bisa mempersembahkannya untuk Sang Raja yang akan dilahirkan. Dari hasil tersebut, dia membeli tiga buah batu permata yang sangat berharga antara lain batu permata saphir baru, rubi merah, dan mutiara putih.

Dia telah berjanji untuk bertemu di suatu tempat khusus dengan ketiga orang Majus lainnya, yaitu Caspar, Mekhior, dan Balthasar. Karena waktu sangat mendesak, Artaban akan ditinggal oleh mereka jika terlambat datang.

Dalam perjalanan, Artaban melihat ada orang yang terbaring di tengah jalan. Rupanya orang tersebut sedang menderita sakit berat dan sangat membutuhkan pertolongan. Jika dia tidak menolong orang tersebut, orang itu akan meninggal dunia, sebab dia berada di suatu tempat yang sunyi dan jauh dari tempat penduduk. Tetapi, jika dia menolongnya, dia pasti akan terlambat dan akan ditinggal pergi oleh kawan-kawannya yang lain.

Walaupun demikian, dia meyakini bahwa menolong jiwa orang lain adalah lebih penting. Dia rela ditinggalkan oleh kawan-kawannya. Akibatnya, tidak hanya dia ditinggal teman-temannya, dia juga harus menjual batu permata saphir yang awalnya dia siapkan untuk diberikan kepada Yesus, Sang Raja, sebab dia harus membiayai seluruh biaya karavan mulai dari unta-unta, makanan, minuman, dan pemandu jalan untuk melewati padang pasir. Dia pun merasa sedih karena Sang Raja tidak akan mendapatkan batu saphir itu.

Walaupun dia berusaha mengejar kawan-kawannya secepat mungkin, ternyata setibanya di Betlehem dia terlambat lagi karena Yusuf, Maria, dan bayi Yesus sudah tidak ada di sana lagi.

Pada saat Artaban tiba di Betlehem, prajurit-prajurit raja Herodes sedang dengan ganasnya menjalankan perintah Herodes untuk membunuh para bayi. Di tempat dia menginap, bayi putra pemilik penginapannya hendak dibunuh pula oleh seorang komandan dari pihak Herodes. Artaban melihat dan mendengar ratapan tangis ibu bayi tersebut dan dia merasa tidak tega dan merasa terpanggil untuk menolongnya. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk menukar bayi tersebut dengan batu rubi yang dibawanya. Hal ini membuat Artaban bertambah sedih, karena batu permatanya untuk Sang Raja semakin berkurang bahkan hanya tinggal satu saja. 

Sebelum dia tiba di Yerusalem, tiga puluh tahun lebih dia mencari Sang Raja di mana-mana dan dia merasa tercengang ketika mendengar bahwa Sang Raja yang dicarinya selama bertahun-tahun akan disalib di Golgota.

Walaupun demikian, dia masih terhibur, sebab dia masih memiliki batu permata terakhir, yaitu batu mutiara putih yang dia pikir dapat dia gunakan untuk menebus hidup Sang Raja agar Dia tidak disalib, seperti halnya ketika dia menebus hidup sang bayi, pada saat berada di Betlehem.

Dalam perjalanan menuju ke Golgota, dia melihat seorang anak perempuan menangis dan meratap minta tolong kepadanya. “Tuan tolonglah saya, para prajurit akan menjual diri saya sebagai budak karena ayah saya mempunyai banyak utang dan tidak mampu melunasinya. Oleh sebab itulah sebagai gantinya dia mengambil diri saya untuk dijual. Tolonglah saya, Tuan!”

Walaupun Artaban sedang terburu-buru, dia melihat keadaan sangat mendesak. Sebelum anak ini dijual dan dijadikan budak untuk seumur hidupnya, maka lebih baik dia menukar batu mutiaranya untuk menebus anak itu.

Setelah itu, langit menjadi gelap gulita dan terjadi gempa bumi. Artaban jatuh tertimpa puing yang jatuh dari atap, dan terluka. Tiba-tiba dia menggerakkan bibirnya dan berkata, “Tuhan, kapan aku melihat Tuhan lapar dan aku memberi Tuhan makan? Atau ketika Tuhan haus lalu aku memberi Tuhan minum? Kapan aku melihat Tuhan sakit atau di dalam penjara, dan aku mengunjungi Tuhan? Tiga puluh tiga tahun aku mencari Engkau, dan tidak sekali pun aku dapat bertemu dengan Engkau dan melayani Engkau, Rajaku.”

Dan dari jauh terdengar suara sayup-sayup yang sangat lembut menjawab, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Setelah itu meninggallah Artaban. Dia meninggal dengan mulut penuh senyuman, karena dia mengetahui bahwa semua jerih payahnya dan semua hadiah untuk Sang Raja telah diterima oleh-Nya dengan baik.

Kisah Artaban ini ditulis oleh Henry van Dyke dalam novelnya yang berjudul The Story of the Other Wise Man yang terbit pertama kali pada tahun 1895.

Semoga ada sedikit pembelajaran yang bisa kita petik dari Artaban, Sang Majus Keempat.

Sumber Gambar dan Pustaka: 
_____. "The Story of The Other Wise Man" dalam https://en.wikipedia.org/wiki/The_Other_Wise_Man Diakses 10 Januari 2024.
Febry Silaban. "Sosok Orang Majus Keempat yang Misterius" dalam https://www.hidupkatolik.com/2021/01/04/51067/sosok-orang-majus-keempat-yang-misterius.php Diakses 10 Januari 2024.
Stefanus Kristiyanto. "Artaban, Si Majus Keempat" dalam https://gracepondering.wordpress.com/2018/12/11/artaban-si-majus-keempat/ Diakses 10 Januari 2024.