Jumat, 31 Juli 2015

Melatih Diri Menjadi Orang Muda yang Hidup dan Berarti

Kesibukan sekolah tahun ini terasa bertubi-tubi karena berbagai agenda yang terasa berjalan sangat cepat dan saling mengejar. Tahun kemarin, awal puasa jatuh beberapa hari setelah Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB). Namun, tahun ini, awal puasa terjadi jauh sebelum MOPDB. Malahan, beberapa hari sebelum penerimaan Laporan Hasil Belajar, bulan Ramadhan sudah dimulai. Bulan Ramadhan yang datang lebih cepat daripada tahun kemarin membuat jadwal yang terjadi di SMK Negeri 3 Surakarta juga terasa sangat cepat.
Di tengah waktu yang bergulir amat cepat itu, Ruang Podjok punya agenda rutin tahunan untuk mengadakan Retret bagi siswa baru. Mau tidak mau, agenda Retret tahun ini juga menyesuaikan agenda Pesantren Kilat yang juga direncanakan dengan secepat kilat. Siswa-siswi Kristiani kelas XI hanya punya waktu kurang lebih dua minggu untuk mengadakan persiapan. Tadinya, Retret sebenarnya tidak akan dilaksanakan dengan alasan keterbatasan waktu. Namun, semangat siswa-siswi Kristiani kelas XI yang amat membara membuat Retret akhirnya jadi dilaksanakan. 
Beberapa hari setelah pelaksanaan Ujian Kenaikan Kelas, beberapa siswa-siswi Kristiani kelas XI yang saat itu masih duduk di kelas X mendatangi Penjaga Podjok untuk menanyakan kepastian tentang kegiatan Pesantren Kilat. Namun, sampai saat itu belum ada kepastian apakah Pesantren Kilat akan diadakan atau tidak. Beberapa saat kemudian, didapat kabar bahwa Pesantren Kilat jadi diadakan mulai tanggal 3-7 Juli 2015. Setelah didapat tanggal pasti, dimulailah pembentukan Panitia Retret di bawah koordinasi Aloisia Christi Intan Utami. Mulai saat itu, panitia mulai bekerja keras. 
Panitia benar-benar bekerja keras. Mereka tidak henti-hentinya melakukan sesuatu untuk membuat pelaksanaan Retret berhasil dengan baik. Mulai dari membuat proposal, berjuang untuk mendapatkan tanda tangan, menunggu setoran uang dari orangtua, survei lapangan untuk mencari tempat pelaksanaan, mengumpulkan perlengkapan untuk pelaksanaan retret, dan masih banyak hal lain yang dilakukan. Panitia Retret kali ini memang benar-benar bekerja keras. Penjaga Podjok merasa bersyukur karena mendapat panitia yang kompak dan benar-benar mau bekerja. Memang kadangkala ada keluhan bahwa ada teman-teman yang tidak mau aktif, tetapi Penjaga Podjok menyemangati untuk terus bekerja tanpa memperhatikan apakah orang lain mau aktif atau tidak. Yang penting diri sendiri dulu yang aktif dan mau bekerja. Penjaga Podjok sendiri juga berkeliling untuk mencari pembicara. Akhirnya, diperolehlah 2 pembicara untuk kegiatan Retret tersebut, yaitu Bruder Bernard, B.M. dari Panti Asuhan Karuna dan Romo Marcellinus Tanto dari  Gereja San Inigo Dirjodipuran. Dalam pembicaraan bersama panitia, akhirnya diputuskan bahwa Retret akan dilaksanakan pada tanggal 3-4 Juli 2015 di Wisma Bhayangkara, Tawangmangu, Karanganyar dilanjutkan pada tanggal 6 Juli 2015 di SMK Negeri 3 Surakarta.

Sebelum Retret dilaksanakan, diadakanlah pertemuan persiapan retret. Kebetulan, sekolah juga membuat wadah untuk mempersiapkan MOPDB dan Kerohanian Islam ingin mempersiapkan Pesantren Kilat. Jadi sekalianlah Kerohanian Kristen dan Katolik nimbrung untuk mempersiapkan Retret. Pertemuan persiapan Retret dilaksanakan dua kali mengikuti jadwal yang direncanakan oleh sekolah. 
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Tanggal 3 Juli 2015, seluruh siswa-siswi Kristiani kelas X yang baru dan panitia berkumpul di halaman depan gapura sekolah. Setelah diadakan persiapan sebentar, mulailah bersiap-siap untuk berangkat menuju Wisma Bhayangkara. Perjalanan menuju tempat Retret ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam. Sesampai di tempat kegiatan, siswa-siswi diberi kesempatan untuk beristirahat sejenak. Setelah beristirahat sejenak, dimulailah sesi pembukaan yang dipandu oleh panitia. Tidak lama berselang, hadirlah Bruder Bernard sebagai pembicara pertama dalam retret tersebut. Dalam materinya, Bruder Bernard menyampaikan pentingnya orang muda menjadi garam dan terang dunia (Mat 5:13-16). Menjadi garam dan terang dunia harus dimulai dari pengenalan diri. Dalam pengenalan diri ini, Bruder mengajak para peserta untuk merenung sejenak untuk kemudian menorehkan gambar dalam sebuah kertas. Setelah beberapa saat menggambar, ada beberapa peserta yang gambarnya “diterawang” oleh Bruder. Bruder menyebutkan karakter peserta yang memiliki gambar tersebut dan karakter itu ternyata benar dimiliki oleh peserta seperti yang mereka akui sendiri. Dalam sesi pertama ini, Bruder mengajak para peserta untuk memiliki kepribadian yang kuat agar mampu membangun diri menjadi lebih baik di masa depan.








Setelah makan siang, Bruder kembali mengawal sesi. Dalam sesi kali ini, Bruder mengajak para peserta untuk diam merenung. Setelah mencoba memahami diri sendiri, Bruder mengajak para peserta untuk berpikir tentang apa yang bisa mereka lakukan dalam kehidupan. Permenungan ini diawali dengan video singkat tentang seorang anak yang berhasil membebaskan seorang tua dari hukuman pengadilan karena anak tersebut memberi kesaksian yang benar atas kejadian yang menimpa seorang tua yang dituduh mencopet dompet seorang ibu kaya. Menjadi garam dan terang dunia berarti melakukan sesuatu bagi sekitarnya. Kitab Suci mengungkapkan bahwa iman tanpa perbuatan itu mati (Yak 2:17). Oleh karena itu, orang muda Kristiani dapat menjadi garam dan terang dunia dengan berbuat sesuatu untuk mewujudkan imannya. Setelah sesi kedua selesai, para peserta dan panitia mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak.
Dalam retret kali ini, banyak Bapak Ibu Guru dan Karyawan yang hadir. Sepanjang perjalanan retret di SMK Negeri 3 Surakarta, tampaknya retret tahun ini paling banyak pendampingnya. Bapak Sutopo, Ibu Rosawati, Ibu Susiati, Bapak Heru, Ibu Setya, Ibu Mei, dan Penjaga Podjok hadir sejak pagi. Siang dan malam harinya, datanglah Bapak Yudhistira, Bapak Dilar, dan Bapak Suryo. Bahkan, keesokan paginya, Bapak Fajar menyusul memeriahkan suasana retret. Terima kasih kepada Bapak Ibu Guru dan Karyawan yang telah hadir dalam pelaksanaan retret kali ini. Terima kasih juga kepada Bapak Ibu Guru Karyawan yang meskipun tidak bisa hadir secara langsung tetap mendukung acara ini dengan caranya masing-masing.
Setelah beristirahat sejenak, acara retret dimulai lagi sejak sore. Acara malam itu adalah permainan dan renungan malam. Dalam acara malam itu, setiap kelompok peserta diminta untuk menyiapkan sebuah tampilan untuk mengisi acara api unggun. Setelah acara permainan dan renungan malam selesai, dimulailah acara api unggun. Suasana terasa hangat sampai akhirnya acara harus diakhiri pada sekitar pukul 22.30. 






Pagi harinya, tanggal 4 Juli 2015, acara dimulai dengan Doa Pagi. Kali ini, Penjaga Podjok yang diminta untuk menggawangi doa pagi. Dalam doa kali ini, para peserta diajak untuk menyadari betapa pentingnya arti doa. Betapa pentingnya doa diajarkan oleh Yesus. Sebelum memulai pekerjaan dan aktivitas, Yesus selalu menyempatkan diri untuk berdoa. Doa menjadi dasar seluruh hidup harian orang Kristiani. Oleh karena itu, doa pagi menduduki tempat yang sangat penting dalam hidup manusia. Setelah doa pagi, seluruh peserta pun diajak untuk berjalan-jalan di seputar tempat retret. Ini merupakan kesempatan yang sangat langka karena kadangkala kita tidak punya waktu untuk berjalan-jalan pagi. Oleh karena itu, kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja.
Setelah acara jalan-jalan, para peserta diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri melaksanakan outbound. Suasana gembira terasa benar dalam kegiatan outbound itu. Setelah outbound selesai, para peserta diberi kesempatan untuk membersihkan diri sembari membereskan perlengkapan pribadi yang mereka bawa karena pada jam 13.00 acara harus sudah benar-benar diselesaikan. Acara retret tahun ini pun ditutup dengan pemilihan kakak-kakak panitia yang paling disenangi. Penjaga Podjok pun menutup acara retret itu dengan memberi penghargaan pada panitia dan berdoa singkat. Siang itu, setelah makan siang, perjalanan pulang ke Solo pun dimulai dan tiba di Solo sekitar pukul 15.30-an. 














Sehari setelah beristirahat pada hari Minggu, acara retret pun dipuncaki dengan sesi dari Romo Tanto. Tanggal 6 Juli 2015, mulai jam 08.00, para siswa-siswi baru kelas X mulai berproses bersama untuk mengolah diri. Dalam sesi ini, Romo Tanto mengajak para peserta untuk menjadi orang muda yang hidup. Ajakan itu dimulai dengan kutipan kata-kata Paus Fransiskus, “Kaum muda, tanyakanlah kepada Tuhan Yesus apa yang Dia maui dari kamu dan jadilah pribadi yang berani!” Kesadaran ini mengawali peran orang muda Kristiani sebagai garam dan terang dunia. Garam itu putih, mencegah kebusukan, dan memberi rasa; sedangkan terang itu memangkas kegelapan dan memberi tuntunan. Menjadi garam dan terang berarti menjadi pribadi yang bersih, tidak busuk, bisa mempengaruhi orang lain, menjadi terang, dan bisa diteladan oleh orang lain. Dalam sesi ini, Romo Tanto menekankan agar orang muda Kristiani memiliki semangat YOUTHFUL yang berciri OPTIMIS, KREATIF, dan PUNYA VISI HIDUP. Namun, hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan karena berbagai tantangan seperti konsumerisme, budaya instan, dan pandangan hidup yang keliru banyak bertebaran di sekitar manusia. Untuk menghadapi itu, Romo Tanto mengajak para peserta untuk menghidupkan diri “Urip Iku Urup – Hidup itu Menyala.” Dalam melaksanakan itu, kaum muda Kristiani diajak untuk BERGERAK, TERLIBAT, dan BERBUAT. Untuk menyalakan hidup, Romo Tanto mengajak kaum muda untuk merenungkan beberapa kutipan kata-kata Paus Fransiskus ini:

“Wahai kaum muda, Yesus ingin menjadi sahabatmu dan ingin agar kamu menyebarkan kegembiraan persahabatan ini kemanapun”

“Wahai kaum muda, jangan menjadi pribadi yang setengah-setengah karena kehidupan Kristiani menantang kita dengan tuntutan-tuntutan yang tinggi”

“Wahai kaum muda, jangan kubur talenta yang telah Tuhan berikan padamu! Jangan takut untuk memimpikan hal-hal besar dalam dirimu!”

“Wahai kaum muda, Gereja mengharapkan hal-hal besar dan kesediaanmu. Jangan takut untuk mencapai hal-hal yang tinggi!”





Setelah sesi dari Romo Tanto selesai, rangkaian Retret tahun ini ditutup dengan pemutaran film berjudul “Miracle in Cell No. 7.” Demikianlah seluruh rangkaian olah rohani yang dijalankan tahun ini. Terima kasih kepada Bapak Ibu Guru, Karyawan, segenap panitia, dan peserta yang telah membuat acara ini begitu bermakna bagi setiap orang yang mengikutinya. Berkah Dalem...

Kamis, 09 Juli 2015

Membangun Harapan lewat Bangau Kertas

Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru 2015/2016. Hari pertama selalu menentukan dalam berbagai kegiatan. Di manapun, hari pertama selalu membawa harapan-harapan untuk waktu ke depan. Itulah yang terjadi di Ruang Podjok. Suasana Ruang Podjok di tahun ini tampaknya ingin menyiratkan harapan itu. Tahun ini, Ruang Podjok dihiasi dengan berbagai lipatan kertas berbentuk bangau. Lipatan kertas bangau itu digantungkan dengan tali di plafon dan kipas angin. Bulan Mei lalu, beberapa teman membuat hiasan-hiasan ini. Kebetulan, Penjaga Podjok beberapa kali menemani prosesnya. Setelah dipasang, hiasan-hiasan bangau ini terasa sangat memeriahkan Ruang Podjok.

Saat memandang hiasan-hiasan ini, Penjaga Podjok sempat teringat pada sebuah kisah dari Jepang. Setelah melakukan penelusuran secara daring, Penjaga Podjok menemukan kisah ini:

“Seribu Bangau Kertas (Senbazuru) adalah kumpulan origami berbentuk bangau (tsuru) yang dirangkai bersama dengan benang. Legenda Jepang menyatakan bahwa siapapun yang melipat kertas-kertas menjadi seribu bangau maka satu permohonannya akan dikabulkan, misalnya memperoleh umur yang panjang atau sembuh dari penyakit. Rakyat Jepang percaya bahwa bangau adalah salah satu makhluk suci yang konon dapat hidup selama ribuan tahun. Di Jepang, ada kisah turun temurun bahwa melipat seribu bangau kertas dapat mengabulkan permohonan seseorang. Ini membuatnya menjadi hadiah spesial bagi keluarga dan teman. Secara tradisional, seribu bangau kertas diberikan sebagai hadiah pernikahan oleh pihak ayah, yang mengharapkan kebahagiaan dan kemakmuran jangka panjang kepada anak dan menantunya. Seribu bangau kertas juga dapat diberikan kepada bayi yang baru lahir agar berumur panjang dan sehat sentosa. Menggantung seribu bangau kertas di rumah juga dipercaya sebagai jimat pembawa keberuntungan. 
Seribu bangau kertas menjadi simbol perdamaian dunia melalui kisah Sadako Sasaki, seorang gadis kecil berusia 12,5 tahun. Di pagi yang kelabu, 25 Oktober 1955, ia sedang berjuang untuk tetap hidup. Tubuhnya kepayahan. Kakinya bengkak dan berwarna ungu. Ia sempat menelan sesuap nasi yang dicampur teh panas. “Rasanya enak,” kata dia sebelum menghembuskan nafas penghabisan. Penderitaannya berawal dari tragedi besar yang mengguncang dunia. 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom 'Little Boy' di Hiroshima, Jepang dan membunuh 140.000 orang di kota itu. Sadako yang masih berusia 2 tahun berada dalam jarak 1 mil dari titik jatuhnya bom di dekat Jembatan Misasa. Ia dan seluruh keluarganya berhasil lari. Neneknya yang kembali ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal tak pernah diketahui nasibnya. Seusai perang, Sadako menjalani masa kecil yang relatif normal meski serba kekurangan. Ia seorang gadis yang ceria juga pelari unggul. Berkat kemampuannya itu, kelasnya langganan juara lari estafet. 
Suatu hari, di tengah perlombaan, Sadako terjatuh. Usianya saat itu 11 tahun. Hari demi hari, tubuhnya makin lunglai. Pada November 1954, leher dan bagian belakang telinga Sadako membengkak. Dua bulan kemudian bercak ungu bermunculan di kedua kakinya. Sadako dilarikan ke rumah sakit pada Februari 1955. Dokter mendiagnosis penyakit leukemia, kanker darah seperti yang banyak diderita para korban bom atom. Orangtuanya diberi tahu bahwa putri kesayangan mereka hanya punya waktu kurang dari setahun. “Aku dan suamiku menangis di dekat Sadako yang sedang tertidur tenang,” demikian isi surat yang ditulis sang ibu, Fujiko Sasaki pada 1956 seperti dimuat situs The Global Human. Menghadapi penyakit Sadako, orangtuanya menulis, “Jika di dunia ada obat untuk menyembuhkan penyakitnya, aku akan pinjam uang, 10 juta yen sekalipun. Atau, jika mungkin, biarkan aku mati untuknya...” 
Suatu hari, seorang sahabat Sadako, Chizuko Hamamoto datang menjenguk dan bercerita tentang sebuah legenda. Konon, seseorang yang bisa melipat 1000 bangau kertas akan dikabulkan permintaannya. Bangau adalah simbol panjang umur. “Kau ingat legenda yang menyebut jika kau melipat 1.000 bangau kertas, para Dewa akan mengabulkan keinginanmu?” kata dia. Hamamoto lalu melipat selembar kertas berwarna emas menjadi sebuah bangau kertas. Lipatannya sangat bagus. Ia memberikannya ke Sadako. “Ini milikmu yang pertama.” Sadako tak punya kertas lipat karena harganya sangat mahal saat itu. Jadi, ia menggunakan apapun, koran, bungkus obat, juga kertas pelapis bingkisan semoga cepat sembuh. Ia melipat dan terus melipat. 
Masahiro Sasaki, kakak Sadako, mengatakan bahwa origami adalah semacam pelarian Sadako yang tahu soal usianya yang tak bakal panjang tapi memilih diam dan berpura-pura tak tahu di depan keluarganya. “Kupikir, melipat bangau membantunya mengalihkan pikiran dari kesedihan, penderitaan, dan rasa sakit...Itu bukan hanya sekedar lipatan kertas, namun penuh dengan seluruh emosi Sadako,” kata dia seperti dimuat Japan Times. Dalam menyelesaikan lipatan bangaunya, Sadako hanya bisa setengah jalan saat maut menjemputnya. Namun, hingga kematiannya, gadis kecil itu tak pernah menyerah, tabah, dan bersikap ceria hingga akhir hidupnya. Masahiro mengatakan, dengan bantuan keluarga dan teman, Sadako berhasil menyelesaikan 1.000 bangau kertas. Sadako mencoba membuat seribu bangau kertas, namun hanya mampu mencapai jumlah 644 sebelum meninggal. Teman-temannya pun melanjutkan impiannya. Setelah genap seribu, mereka menguburkan semuanya bersamanya. 
Teman-teman sekelas Sadako yang sangat terpukul karena kepergiannya menggalang dana untuk mendirikan peringatan untuk Sadako dan anak-anak lain yang tewas akibat bom atom. Mereka menulis dan mempublikasikan buku tentang Sadako. Butuh tiga tahun bagi mereka untuk mendapatkan cukup dana pembangunan Children's Peace Monument di Peace Memorial Park, Hiroshima. Ada patung Sadako di puncak monumen. Di bawahnya terdapat plakat berisi pesan dari anak-anak bertuliskan, “Kore wa bokura no sakebi desu. Kore wa watashitachi no inori desu. Sekai ni heiwa o kizuku tame no - Ini adalah seruan kami. Ini adalah doa kami. Untuk membangun perdamaian di dunia.” Setiap tahun, ribuan anak-anak datang ke sana, meninggalkan lipatan origami burung bangau untuk mengenang jiwa-jiwa kecil yang tewas akibat bom atom. Patung Sadako juga terdapat di Taman Perdamaian di Seattle. Ia menjadi simbol dampak perang nuklir. 
Setelah kematiannya, sang ayah membagikan hampir semua bangau kertas ke orang-orang yang datang dan ingin mendengar kisah Sadako. Setelah dibagikan, hanya lima yang tersisa. Alih-alih menyimpannya, Masahiro Sasaki memutuskan untuk menyumbangkan sisa lipatan bangau itu ke beberapa tempat di dunia. Bangau pertama pada tahun 2010 disumbangkan ke Tribute WTC Visitor Center di New York, yang didirikan untuk memperingati orang-orang yang tewas dalam serangan teror 11 September 2001. Satu bangau lagi diberkan kepada museum perdamaian di Austria. Bangau kertas ketiga, dengan bantuan Clifton Truman Daniel, cucu tertua Presiden AS Harry Truman, yang memerintahkan pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, diletakkan di USS Arizona Memorial di Pearl Harbor.”


Mendengar kisah ini, Penjaga Podjok semakin diteguhkan. Ternyata, secara kebetulan, teman-teman yang menyemarakkan Ruang Podjok telah memberikan harapan baik di tahun pelajaran ini. Semoga harapan-harapan baik yang disimbolkan melalui lipatan bangau-bangau kertas ini semakin membuat kegiatan dan aktivitas di Ruang Podjok semakin baik. Tuhan memberkati kegiatan dan aktivitas yang akan dilaksanakan di Ruang Podjok.

Sumber Pustaka:
http://news.liputan6.com/read/2124194/25-10-1955-kisah-tragis-gadis-sadako-dan-1000-bangau-kertas
https://id.wikipedia.org/wiki/Seribu_bangau_kertas