Minggu, 15 November 2015

In Memoriam Monsinyur Johanes Pujasumarta: Meneladan Yesus, Sang Pelikan Sejati

"Aku sudah menyerupai burung undan di padang gurun, sudah menjadi seperti burung ponggok pada reruntuhan. Aku tak bisa tidur dan sudah menjadi seperti burung terpencil di atas sotoh" (Mzm 102:6-7)

"Pie Pellicane, Iesu Domine, veni in corde meo! O Pelikan yang saleh, Yesus Tuhan, datanglah dalam hati saya!" inilah status Blackbery Messenger milik Monsinyur Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta, Uskup Agung Semarang sampai meninggalnya dengan gambar tiga pelikan yang sedang berenang di air yang tenang seperti yang terlihat pada gambar di bagian ini. Profil status itu pulalah yang mengiringi Monsinyur Pujasumarta masuk ke dalam kedamaian abadi, kembali ke rumah Bapa. Jauh sebelum menuliskan status itu, Monsinyur Puja telah menggubah lirik tersebut menjadi sebuah lagu yang berjudul "Pie Pellicane.Lagu ini merupakan pengembangan dari bait keenam lagu "Adoro te devote" ciptaan Santo Thomas Aquinas: “Pie pellicane, Iesu Domine, me immundum munda tuo sanguine; cuius una stilla salvum facere totum mundum quit ab omni scelere.” Lagu Thomas Aquinas itu mengisahkan Yesus, Sang Pelikan yang baik.
Pelikan menjadi simbol dalam Ekaristi dan sering dilukiskan pada dinding, kanvas, dan kaca patri. Kisah pelikan itu bercerita tentang burung pelikan yang mematuk leher dengan paruhnya sendiri supaya darah yang mengucur bisa menjadi makanan bagi anak-anaknya. Simbol ini ditemukan dalam Physiologus, sebuah karya Kristiani awal yang muncul sekitar abad kedua di Alexandria, Mesir. Karya ini disinggung oleh Santo Epifanius, Santo Basilius, dan Santo Petrus dari Alexandria. Karya ini menjadi terkenal pada Abad Pertengahan serta menjadi sumber simbol-simbol yang terukir pada batu atau karya seni pada saat itu. Dalam karya seni Kristiani, pelikan menyimbolkan pengurbanan Kristus yang paling sempurna di salib untuk keselamatan manusia. Seperti si pelikan, Kristus menumpahkan darahnya di salib untuk penebusan dosa kita dan Kristus menyerahkan dirinya sendiri dalam kurban Ekaristi untuk menyuburkan dan menguatkan kerohanian kita. Sepanjang prosesi persemayaman di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Randusari, Semarang sampai pemakaman di Seminari Tinggi Santo Paulus Yogyakarta, lirik lagu Pie Pellicane senantiasa mengiringi. 
Pendalaman Monsinyur Pujasumarta tentang burung pelikan ternyata sudah mulai dilakukan sejak awal karyanya di Keuskupan Agung Semarang. Pada peristiwa instalasi Uskup Agung Semarang pada tanggal 7 Januari 2011, Monsinyur Pujasumarta mendapatkan warisan tongkat gembala dengan simbol burung pelikan. Desain tongkat gembala itu disesuaikan dengan simbol yang dipakai oleh Kardinal Yustinus Darmojuwono. Sesudah Kardinal Damajuwono, pemakaian tongkat gembala itu dilanjutkan oleh uskup-uskup berikutnya. Pada peringatan Hari Pangan Sedunia Tahun 2011, Monsinyur Pujasumarta juga menulis refleksi tentang burung pelikan dalam Surat Gembala yang dibacakan pada tanggal 15-16 Oktober 2011. Kisah itu dinyatakan sebagai berikut:

Di kalangan bangsa burung ada kisah tentang keluarga burung pelikan di hutan yang subur. Konon, ketika musim kemarau tiba, kekeringan terjadi. Makhluk-makhluk hutan menderita, tidak terkecuali keluarga burung pelikan. Bencana kelaparan melanda hutan tersebut. Induk pelikan tidak diam saja menyaksikan anak-anaknya hampir mati kelaparan dan kehausan. Ada suara lirih namun jelas terdengar oleh induk pelikan, “Kamu harus memberi mereka makan!” Namun, tidak tersedia makan dan minum lagi untuk mereka. Induk pelikan tidak kehilangan akal. Ia sorongkan temboloknya, seakan berkata kepada anak-anaknya, “Makanlah tubuhku, minumlah darahku!”

Kisah burung pelikan ini nampaknya begitu menjadi inspirasi tersendiri bagi Monsinyur Pujasumarta sampai-sampai ia memiliki gagasan agar kolam yang akan dibangun di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilah dirancang menjadi habitat burung pelikan seperti yang dituliskan pada tanggal 20 September 2014 ini:

Saya mendengar ada rencana untuk membuat kolam air di kawasan Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan (PPSM). Sebagai sarana animasi yang hidup saya berpikir, sangatlah baik bila kolam tersebut dirancang untuk menjadi habitat yang nyaman bagi burung pelikan. Pemeliharaan dan pengamatan langsung mengenai kehidupan pelikan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi hidup beriman kita.
Ayo kita bermimpi dapat berternak burung pelikan di PPSM. Siapa mau membantu untuk mewujudkan mimpi itu? May the dreams come true.

Yesus, Sang Pelikan Sejati, yang sudah mengurbankan tubuh dan darahnya sendiri demi keselamatan manusia, telah menjadi inspirasi yang tiada habisnya bagi Monsinyur Pujasumarta. Inspirasi rohani ini juga ditawarkan kepada kita. Kita diajak untuk meneladan Yesus, Sang Pelikan Sejati. Selamat jalan Monsinyur Pujasumarta. Selamat bertemu dengan Sang Pelikan Sejati, Yesus Kristus, yang telah memanggil Monsinyur Pujasumarta saat ini dan kami pada saatnya nanti menuju rumah kediaman abadi di surga. Terima kasih atas warisan ajaran yang ditinggalkan. Semoga kami juga boleh meneladan Yesus, Sang Pelikan Sejati.