Sabtu, 24 November 2012

Menghidupi Warisan Spiritual Bercermin dari Tradisi Orang Bali



 
Datang ke Bali pada saat liburan, itu sudah biasa. Tapi, kalau mau melihat Bali yang sesungguhnya, datanglah pada saat hari raya. Tapi jangan pas hari raya Nyepi karena katanya pas hari raya Nyepi, Bali sangatlah sepi dari segala aktivitas. Itu adalah hari raya yang sangat sakral.

Bertepatan dengan hari raya Kuningan, saya mulai menginjakkan kaki di Pulau Bali. Suasana hari raya tampak sangat kuat pada hari itu. Selepas dari Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk, sudah terlihat suasana hari raya. Di sepanjang jalan, terlihat hiasan-hiasan dari daun kelapa yang masih muda atau janur yang disebut dengan penjor. Penjornya pun terlihat istimewatidak seperti penjor hiasan biasakarena di bagian bawah penjor tersebut dibuat sebuah tempat untuk meletakkan sesaji. Terlihat pula tempat-tempat pemujaan maupun pohon-pohon yang disarungi kain berwarna kuning. Warna kuningnya pun bermacam-macam, mulai dari kuning biasa sampai kuning emas.


Dalam perjalanan, kendaraan yang saya tumpangi berpapasan dengan kendaraan penduduk lokal. Saat diperhatikan, dalam kendaraan para penduduk lokal itu, ada sesuatu yang berbeda. Di atas dashboard kendaraan, ada sesaji yang tertata rapi secara bertumpuk. Ada bunga, pandan, hio, permen atau penganan, dan berbagai macam benda lain. Selain di dalam, bagian depan kendaraan juga tidak lupa diberi hiasan janur. Istimewanya lagi, semua sesaji itu ditempatkan secara hormat dan didoakan. Menurut orang Bali, sesaji itu adalah penolak bala. Semuanya itu dilakukan agar semua mendapat keselamatan.




Ketika berada di tempat pemberhentian, saya juga melihat beberapa orang yang terihat sibuk memberikan sesaji kepada tempat-tempat atau benda-benda di sekitar mereka. Ada yang memberi sesaji di pohon besar, mobil, maupun di tiang penjor. Selain itu, ada yang sedang sibuk bersembahyang di pura dan meminta berkat melalui para pemuka agama. Sungguh tradisi yang sangat hidup dan menjiwai setiap orang yang ada di sana.


Kekaguman saya terhadap Bali tidak berhenti sampai di sana. Ketika melihat semua kejadian pada saat hari raya itu, saya bertanya kepada diri sendiri,Apa yang membuat tradisi itu bertahan bahkan terasa abadi dari generasi ke generasi?Tidak lama kemudian, jawaban atas pertanyaan itu muncul sendiri. Ternyata, pewarisan nilai-nilai tradisi itu dilakukan secara ketat turun-temurun dari kakek nenek ke orang tua, dari orangtua ke anak, dari anak ke cucu dan seterusnya. Betapa tidak. Ketika menginjakkan kaki di Pura Tanah Lot, saya melihat hal-hal yang luar biasa. Para muda-mudimeskipun tampaknya sama seperti muda-mudi di tempat lain yang terbiasa dengan piranti komunikasi moderntetap mau mengenakan kebaya tradisional khas Bali dalam upacara adat. Semodern apapun, mereka tidak melupakan akar mereka yang tetap satu, yaitu tradisi. Masih di tempat yang sama, saya melihat bagaimana pewarisan tradisi itu dilakukan sejak anak-anak masih kecil. Saat berjalan, saya melihat seorang anak kecil membawa balon gajah berdandan adat berjalan bersama ayah ibunya. Tradisidan iman tentunyamemang berasal dari keluarga. Yang lebih dahulu memegang tradisi tersebut mewariskannya kepada yang datang lebih kemudian.

Belajar dari apa yang sempat dilihat dari Bali, saya belajar mengenai pewarisan iman. Mengapa Bali masih saja sakral dan agung serta membuat orang-orang lain tertarik untuk datang ke sana? Saya kira jawabannya berkaitan dengan warisan spiritual. Warisan spiritual inilah yang menjaga orang Bali tetap menjadi orang Bali.

Sebagai orang Katolik, saya memahami benar bahwa iman yang saya anut adalah hasil warisan dari iman orang tua saya. Orangtua saya lebih dulu menjadi Katolik. Begitu pula orangtua saya. Mereka mendapatkan iman itu dari kakek nenek atau guru-guru mereka. Orangtua saya dan saya mendapatkan warisan dari mereka yang lebih dulu tahu. Begitu pula dengan orang Bali. Mereka mendapat warisan iman mereka dari mereka yang lebih dulu tahu. Iman itu kemudian dikembangkan dalam keluarga sebagai iman yang HIDUP. Artinya, iman itu dilakukan dan dipraktekkan dalam keluarga. Anak kecil yang membawa balon ditemani orangtuanya itu layak menjadi simbol bagaimana iman yang diwariskan itu kemudian menjadi IMAN KELUARGA.

Iman keluarga inilah yang layak menjadi fokus dalam pengembangan umat Katolik. Keluarga telah ditetapkan sebagai Gereja mini. Persekutuan Gereja yang paling kecil tampak dalam kehidupan keluarga Katolik. Keluarga Katolik merupakan wadah bagi suami istri dan anak-anak untuk bersekutu dalam nama Tuhan. Paus Yohanes Paulus II menyatakanKeluarga adalah sekolah pertama tentang kehidupan dan pengaruh yang diterima di dalam keluarga sangatlah menentukan perkembangan seorang individu di masa depan. Orangtua Katolik harus belajar membentuk keluarga mereka sebagai Gereja domestik, Gereja rumah tangga, di mana Allah dihormati, hukum-Nya ditaati, doa menjadi sebuah kebiasaan, keutamaan diajarkan dengan perkataan dan perbuatan, serta setiap pribadi membagikan harapan, persoalan, dan beban satu sama lain(Pesan Hari Perdamaian Sedunia 1998 dan Homili di Aqueduct Racetrack, 1995). Jika iman dimulai dari keluarga, orangtua akan mengajarkan dan mewariskan iman kepada anak. Jika iman ini dikenalkan sejak dini secara benar, anak tidak akan malu mengenakan iman ini dalam hidupnya. Sekalipun terpapar oleh modernitas, iman dalam diri anak-anak tidak akan luntur karena iman itu tertanam kuat laksana pohon dengan akar yang dalam. Seperti anak muda Bali yang tetap teguh memelihara tradisi sekalipun bersentuhan dengan dunia modern, generasi muda Katolik tetap menjadi Katolik dalam dunia modern.

Dalam kehidupan harian, Pengembangan iman keluarga ini telah didukung dengan komunitas umat beriman yang bernaung di bawah Lingkungan dan Wilayah. Warisan spiritual orang Bali pun terjaga karena ada masyarakat adat yang selalu mendampingi keluarga dalam mendidik anak-anak mereka. Masyarakat adat menjadi komunitas bagi keluarga untuk saling bergantung. Demikian pula dalam Gereja Katolik. Setelah suami istri dan anak-anak matang dalam keluarga, mereka kemudian mulai terlibat dalam komunitas yang lebih besar, yaitu lingkungan dan wilayah. Dalam lingkungan dan wilayah, keluarga saling bertemu dan bersekutu. Kegiatan lingkungan dan wilayah merupakan wadah bagi keluarga-keluarga untuk saling meneguhkan satu sama lain. Yang berbeban berat diringankan, yang sakit didoakan, yang tersisih disapa. Dari lingkungan dan wilayah, keluarga terlibat dalam kegiatan paroki. Dalam paroki, keluarga bertemu dengan keluarga lain separoki. Dengan keterlibatan keluarga-keluarga, paroki menjadi semakin hidup dan berkembang. Paroki hanya dapat berkembang jika orang-orang yang menjadi anggotanya mau terlibat dalam kegiatan paroki. Akhirnya, Gereja akan berkembang jika IMAN mulai dari KELUARGA berkembang secara baik.



Seperti orang Bali yang memulai kehidupan imannya dari KELUARGA, kitaorang Katolikjuga memulai iman kita dari GEREJA KELUARGA. Keluarga kita jadikan tempat yang pertama dan utama untuk mendidik iman dan keterlibatan dalam Gereja maupun masyarakat. Terima kasih atas pendalaman mengenai warisan spiritual yang boleh kita pelajari dari orang Bali. Aum shanti shanti shanti aum. Berkah Dalem.