Minggu, 26 April 2020

Catatan Penjaga Podjok: Mengelola Kelas Daring #1

https://itjen.kemdikbud.go.id/public/post/detail/pengembang-teknologi-pendidikan-untuk-pembelajaran-daring
Sudah enam minggu Ruang Podjok ikut ditutup karena sekolah tutup. Tutupnya Ruang Podjok tidak berarti berhenti aktivitas. Aktivitas belajar tetap berlangsung meskipun tidak bertemu. Inilah yang disebut Kelas Daring Ruang Podjok. Waktu enam minggu bukan waktu yang singkat. Selama empat minggu, tugas demi tugas diberikan kepada para anggota Ruang Podjok. Di minggu kelima, Penjaga Podjok mengajak semua anggota Ruang Podjok untuk merefleksikan seluruh aktivitas yang terjadi di Kelas Daring Ruang Podjok. Minggu ini, sebagai pertanggungjawaban kinerja, Penjaga Podjok berusaha untuk menyusun sebuah laporan yang memuat aktivitas Work From Home. Semoga ini memberi gambaran tentang apa saja yang sudah terjadi selama mengelola Kelas Daring Ruang Podjok dari rumah.

Memulai Pembelajaran Online Mengikuti Instruksi Dinas
Berdasarkan Surat dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah nomor 0522/KADIN/III/2020 tertanggal 17 Maret 2020, ditetapkan bahwa sekolah-sekolah yang berada di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah wajib mengadakan Kegiatan Belajar Mengajar secara online (menggunakan WA atau medsos lainnya). Instruksi yang disampaikan kepada Kepala Sekolah ini kemudian ditindaklanjuti dengan perintah agar para guru menjalankan kegiatan belajar secara online. Selain itu, pada tanggal 16 Maret 2020, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyatakan bahwa seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) diperintahkan untuk bekerja dari rumah untuk meminimalisasi penyebaran virus Corona. Hal ini merupakan tindak lanjut dari himbauan Presiden Joko Widodo pada konferensi pers di Istana Bogor Jawa Barat pada tanggal 15 Maret 2020. Presiden mengimbau untuk meminimalisasi penyebaran virus corona tipe baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19, masyarakat diminta untuk bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah, yang salah satunya dilakukan melalui sistem bekerja dari rumah. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pun mengeluarkan Surat Edaran nomor 19 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Covid-19 di Lingkungan Instansi Pemerintah. Isinya, ASN dapat bekerja di rumah/tempat tinggal, tetapi dipastikan ada dua level pejabat struktural tertinggi yang bekerja di kantor. Selain itu, ada larangan kegiatan tatap muka yang menghadirkan banyak peserta untuk ditunda atau dibatalkan. Penjaga Podjok sebagai bagian dari sekolah pun segera menindaklanjuti perintah tersebut.

Bekerja dan Belajar dari Rumah
Work From Home atau Bekerja dari Rumah merupakan istilah untuk menggambarkan aktivitas bekerja dari jarak jauh, lebih tepatnya bekerja dari rumah. Jadi, pekerja tidak perlu datang ke kantor tatap muka dengan para pekerja lainnya. Work From Home ini sebenarnya sudah tidak asing bagi para pekerja lepas atau freelance. Namun, mereka lebih sering menyebutnya dengan istilah Remote Working. Work From Home dan Remote Working sebenarnya tidak ada bedanya. Hanya beda istilah saja. Yang membedakan hanyalah peraturan perusahaan yang mengatur pekerjaan. T Crosbie dan J Moore menyebut bahwa bekerja dari rumah berarti pekerjaan berbayar yang dilakukan terutama dari rumah (minimal 20 jam per minggu). Begitu pula Belajar dari Rumah atau Learn From Home atau Study From Home. Pengertiannya hampir sama dengan Work From Home, tetapi aktivitas bekerja yang dilakukan adalah belajar karena yang menjalani pekerjaan itu adalah pelajar. Oleh karena itu, berkenaan dengan  Work From Home, guru tetap bekerja mengelola kelas dari rumah sedangkan siswa tetap belajar dari rumah dalam kelas yang dikelola oleh guru. Berbagai tulisan sudah mencoba mengulas kelebihan dan kekurangan Work From Home. Kelebihannya antara lain adalah 1) Biaya operasional kantor menurun, 2) Lebih fleksibel, 3) Produktivitas meningkat, 4) Kepuasan kerja meningkat, 5) Keseimbangan kerja dan hidup meningkat, 6) Terhindar dari gangguan lingkungan kerja, dan 7) Lebih dekat dengan keluarga. Namun, ada kelemahan juga, antara lain: 1) Sulit melakukan monitoring pekerja, 2) Hilangnya motivasi kerja, 3)  Banyak gangguan kerja, 4)  Miskomunikasi, 5)  Masalah keamanan data, 6)  Biaya operasional rumah meningkat, dan 7)  Tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah. Tetapi, apapun kelebihan dan kelemahannya, Work From Home harus dilakukan untuk memutus rantai penyebaran wabah.

Persiapan Kelas Daring Ruang Podjok
Begitu mendengar bahwa setiap sekolah harus mengadakan kelas daring, Penjaga Podjok pun segera menyiapkan sistem pendukung. Yang pertama disiapkan adalah anggota Ruang Podjok. Hari-hari pertama, Penjaga Podjok menggunakan waktu untuk menyiapkan siswa dan siswi untuk mengikuti kelas daring. Yang terpenting adalah bahwa siswa dan siswi sadar bahwa pertemuan di kelas diubah menjadi pertemuan yang bisa diikuti darimana saja. Saat itu, Penjaga Podjok juga mulai berpikir aplikasi apa yang dapat digunakan untuk mengelola kelas daring ini. Yang terpikir untuk menyelenggarakan kelas daring ini adalah 1) harus terjangkau oleh semua siswa, 2) mudah, 3) murah, serta 4) tidak terlalu menyulitkan bagi siswa maupun orangtua. Akhirnya, yang dipilih oleh Penjaga Podjok adalah memberdayakan Whatsapp Grup Mata Pelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti per tingkat. Inilah cara yang menurut Penjaga Podjok cukup efektif untuk menyelenggarakan kelas daring karena sebelum diadakan kelas daring, grup Mata Pelajaran ini sudah diaktifkan untuk penyebarluasan informasi dalam pembelajaran reguler.

Mengelola Kelas Daring
Enam minggu sudah Penjaga Podjok mencoba mengelola Kelas Daring. Inilah kisah Kelas Daring Ruang Podjok dari minggu ke minggu. Pada minggu pertama (16-20 Maret 2020), kelas daring yang dikelola masih bersifat pendampingan awal dan pemantauan. Pada minggu itu, Penjaga Podjok menggunakan kelas daringnya untuk menyadarkan para siswa tentang bahaya virus Corona dan bagaimana seluruh anggota Ruang Podjok bisa terlibat mengatasi pandemi ini. Selain itu, materi kelas daring minggu pertama sangat terbantu dengan tugas yang sebelumnya sudah disampaikan kepada para siswa. Sudah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun bahwa siswa-siswi Katolik Kelas X dan XI akan mendapatkan tugas tertentu ketika mereka belajar di rumah karena kakak kelasnya sedang menjalani Ujian Nasional dan Ujian Sekolah. Nah, untuk materi minggu pertama, Penjaga Podjok terbantu dengan tugas yang sudah diberikan itu. Oleh karena itu, Penjaga Podjok di minggu pertama itu hanya memantau pelaksanaan tugas yang sudah diberikan. 
Pada minggu kedua (23-27 Maret 2020), barulah Kelas Daring Ruang Podjok dikelola secara agak serius. Pada minggu itu, Penjaga Podjok mengenalkan suatu cara belajar yang baru. Prinsipnya sederhana: Menjaga ritme. Apa itu? Menjaga ritme artinya melakukan hal-hal yang dilakukan seperti sewaktu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, di awal minggu kedua, Penjaga Podjok memulai kelas daring dengan ajakan berikut melalui grup, “Untuk pembelajaran online, saya hanya menyarankan kepada kalian untuk meluangkan waktu selama 135 menit atau 3 x 45 menit sesuai dengan jam pelajaran saya di sekolah untuk mengerjakan tugas yang saya berikan. Di luar itu, waktu silakan diatur sendiri.”  Tulisan ini sangatlah penting. Mengapa penting? Supaya orang tahu batas. Saat pembelajaran reguler, aktivitas di Ruang Podjok untuk setiap siswa hanya dibatasi selama 135 menit atau 3 x 45 menit per minggu. Patokan itulah yang digunakan juga untuk menyelenggarakan kelas daring. Selain itu, tujuannya adalah supaya siswa-siswi juga memberikan perhatian pada mata pelajaran yang lain – kalau memang gurunya juga mengadakan kelas daring. Pembatasan waktu juga penting agar orang tidak egois. Kadangkala seseorang ingin menguasai seluruh waktu dan menjadikan dirinya pusat perhatian. Ini tidak sehat. Oleh karena itu, perlu dibatasi supaya orang menjadi sehat. Ritme inilah yang terus dijaga sampai minggu keempat. Prinsipnya, waktu belajar yang digunakan Kelas Daring Ruang Podjok adalah 135 menit. Selebihnya, itu urusan siswa-siswi sendiri.
Di minggu kedua itu, model tugas yang diberikan kepada siswa kelas X dan XI sama, yaitu membuat catatan. Mengapa membuat catatan? Tugas ini didasari pada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa “menulis di kertas ternyata memperkuat daya ingat  dan kemampuan memahami konsep.” Penelitian terbaru yang dimuat di Jurnal Psychological Science mencatat dengan pulpen dan kertas lebih meningkatkan kualitas belajar dibandingkan menggunakan laptop. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa menulis merupakan strategi yang lebih baik untuk menyimpan ide dalam waktu yang panjang. Selain itu, para peneliti mendapati bahwa menulis dapat menguatkan proses belajar yang tak dapat disamai dengan mengetik. Penelitian tersebut dilakukan oleh Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer yang merupakan psikolog dari Princeton dan Universitas California, Los Angeles. Mereka menguji efek menulis catatan pada mahasiswa dalam dua seri percobaan. Dua kelompok mahasiswa diminta mendengarkan materi kuliah dari dosen yang sama. Mereka diperbolehkan menggunakan semua strategi untuk menyimpan hal-hal penting di perkuliahan. Satu setengah jam kemudian, partisipan diuji soal materi kuliah itu. Hasil studi menunjukkan bahwa mahasiswa yang menulis dengan tangan jauh lebih baik dalam kualitas belajar. Penelitian itu menunjukkan bahwa menulis merupakan strategi yang lebih baik untuk menyimpan dan mengendapkan ide dalam kurun waktu lama dibandingkan dengan mengetik. Studi sejenis yang dipublikasikan Intech menemukan bahwa menulis dengan tangan memberikan kesempatan kepada otak untuk menerima umpan balik. Hal tersebut tidak terjadi jika orang menggunakan papan ketik (keyboard). Pergerakan saat menulis dengan tangan "meninggalkan memori atau daya ingat pada bagian sensormotorik otak." Aktivitas ini membantu orang mengenal huruf dan membangun hubungan antara membaca dan menulis. Inilah dasar mengapa tugas di minggu kedua itu adalah mencatat. Seorang kawan pernah mengatakan, “Tubuh itu merekam.” Dalam hal ini, Penjaga Podjok meyakininya. Keyakinan inilah yang kemudian ingin ditularkan kepada para siswa. Tugas membuat catatan ini masih dilanjutkan di minggu ketiga  untuk siswa-siswi kelas XI  dan di minggu keempat untuk para siswi kelas X.
Di minggu ketiga (30 Maret – 3 April 2020) Kelas Daring Ruang Podjok, aktivitas untuk siswa-siswi kelas X dan XI berbeda. Siswa-siswi kelas XI masih melanjutkan tugas membuat catatan, sedangkan para siswi kelas X mengerjakan tugas Ulangan 2 dan Ulangan 3. Ulangan 2 dan Ulangan 3 untuk kelas X ini merupakan tugas Take Home Exam yang sudah diberikan sejak tanggal 12 Maret 2020. Ada serangkaian pertanyaan yang harus dijawab untuk mendapatkan nilai. Begitu pula di minggu keempat (6-9 April 2020), ada aktivitas yang berbeda untuk kelas X dan XI. Para siswi kelas X diberi tugas membuat catatan, sedangkan siswa-siswi kelas XI diminta menyusun Struktur Kepengurusan Dewan Paroki yang ada di parokinya masing-masing. Siswa-siswi kelas XI juga sudah mendapatkan tugas ini sejak 12 Maret 2020. Di penghujung minggu keempat Kelas Daring Ruang Podjok, seluruh anggota Ruang Podjok diajak untuk mengalami perayaan liturgi Paskah yang tentunya dirayakan dari rumah saja.
Setelah Paskah, Penjaga Podjok mendapat jatah untuk piket di sekolah. Hari itu, mulai berpikir apa yang akan dilakukan di minggu kelima (13-17 April 2020). Pada minggu keempat, sudah terpikir untuk mengadakan refleksi dan evaluasi. Hari itu, gagasan tersebut semakin dimatangkan. Mengapa dipilih Refleksi? Refleksi merupakan sebuah cara yang dipakai untuk mengembangkan pembelajaran. Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan filosofi pendidikan: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani – Di depan memberi teladan, di tengah membangun niat, di belakang memberi daya.” Filosofi itu mensyaratkan bahwa pendidik harus mampu menjadi teladan, pelayanan, pengayoman, dan inspirator bagi peserta didik. Untuk dapat menerapkan filosofi tersebut terutama pada bagian pelayanan, perlulah tindakan yang dapat memuaskan peserta didik berupa kegiatan dimana kedua belah pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar diberikan ruang untuk saling menilai. Kalau pendidik menilai peserta didik, itu biasa. Namun, peserta didik menilai pendidik, itu hal yang luar biasa dan istimewa. Refleksi menjadi kegiatan yang sangat penting untuk memberikan informasi positif tentang bagaimana pendidik melakukan tugasnya sekaligus sebagai bahan observasi untuk mengetahui sejauh mana tujuan pendidikan itu tercapai. Refleksi juga akan mengungkap tingkat kepuasan peserta didik dalam proses belajar mengajar, sehingga dapat dijadikan wahana untuk menjalin komunikasi yang baik antara pendidik dengan peserta didik.  Inilah  refleksi dalam pendidikan. Refleksi semacam inilah yang kemudian dibuat di minggu kelima. Tujuannya satu: semoga Kelas Daring Ruang Podjok bisa menjadi semakin baik dari hari ke hari. Proses refleksi dibantu dengan alat teknologi modern yang disebut Google Forms. Inilah alat yang kemudian banyak membantu proses pembelajaran di Kelas Daring Ruang Podjok. Kisah tentang Minggu Refleksi ini sudah dimuat dalam postingan sebelumnya (Lihat posting Berhenti Sejenak untuk Berefleksi tentang Pembelajaran dari Rumah).
Akhirnya, tibalah minggu keenam (20-22 April 2020). Minggu keenam di Kelas Daring Ruang Podjok diisi dengan Ulangan Tengah Semester. Lho kok kelas daringnya cuma 3 hari? Tenang Bro... Kelas Daring Ruang Podjok mengikuti aturan pemerintah. Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah nomor 443.2/09004 tertanggal 13 April 2020 menyatakan bahwa tanggal 23, 24 dan 27 April 2020 ditetapkan sebagai libur awal puasa Ramadhan. Karena aturannya begitu, ya Kelas Daring Ruang Podjok hanya beraktivitas sampai tanggal 22 April 2020 saja ya... Sekali lagi, ini untuk menjaga ritme. 
Waktu belajar yang hanya 3 hari ini akhirnya diisi dengan aktivitas yang sedikit sajalah: Ulangan Tengah Semester. Beberapa siswa sempat kebingungan dan bertanya apakah Ulangan Tengah Semester ini untuk semua mata pelajaran? Ini yang menjadi jawaban saya: “Tidak. Setiap guru diberi kebebasan untuk mengelola pembelajaran daring termasuk pertemuan, tugas, Ulangan dan sebagainya selama proses Pembelajaran dari Rumah. Saya memilih untuk tetap mempertahankan ritme yang berjalan ketika sekolah biasa, termasuk mengadakan tugas, Ulangan, UTS...” Sekali lagi, hanya ingin mempertahankan ritme... Lagi-lagi, Ulangan ini pakai Google Forms... Open Book lagi... Itulah yang dijalani sampai di minggu keenam...

Ke depan apalagi ya yang mau dilakukan? Entahlah... Tapi yang jelas perlu terus berinovasi dari minggu ke minggu... Sampai kapan Kelas Daring Ruang Podjok ini akan berjalan? Penjaga Podjok pun tidak tahu... Yang jelas, sampai saat ini sekolah masih menetapkan untuk belajar secara daring sampai tanggal 30 April 2020... Kelanjutannya, tunggu informasi terbaru dari sekolah...

Sabtu, 18 April 2020

Berhenti Sejenak untuk Berefleksi tentang Pengalaman Pembelajaran dari Rumah

"Tanpa refleksi, kita seperti orang buta dalam menempuh perjalanan, menciptakan banyak hal yang terduga dan akan menemui kegagalan untuk mencapai hal-hal yang berguna"
(Margaret J. Wheatley)

Pengalaman belajar daring atau online secara masif merupakan pengalaman baru bagi persekolahan di tingkat dasar dan menengah di Indonesia. Empat minggu setelah pembelajaran daring berjalan, saya merasa disadarkan bahwa pembelajaran daring ini perlu dilihat lebih dalam sebagai bagian dari pengalaman perjalanan Ruang Pojok. Ungkapan Margaret J. Wheatley yang dikutip di awal tulisan ini memberi inspirasi untuk menyadari pentingnya refleksi. Akhirnya, minggu ini pun menjadi Minggu Refleksi bagi Ruang Pojok. 
Senin, 13 April 2020, saat menjalani jadwal piket di sekolah, saya mulai berpikir bagaimana bisa memfasilitasi anggota Ruang Pojok untuk melakukan refleksi. Sore harinya, secara tidak terduga, seorang teman menyentil soal pemanfaatan Google Forms. Malam itu pun saya belajar mengenai Google Forms dan pemanfaatannya sampai akhirnya jadilah sebuah alat bantu bagi anggota Ruang Pojok untuk melakukan refleksi.
Selasa, 14 April 2020, memulai pembelajaran daring hari itu, saya memposting dalam grup Whatsapp Kelas X dan XI bahwa yang menjadi tugas Mingguan adalah membuat refleksi yang akan dibantu oleh Google Forms. Sebelum mengajak anggota Ruang Pojok melakukan refleksi, ditampilkanlah pengantar tentang refleksi yang akan dibuat. 
Mengutip dari https://www.inirumahpintar.com/2016/10/pengertian-tujuan-manfaat-refleksi-dalam-pembelajaran.html, didapatlah pengertian refleksi. "Refleksi adalah aktivitas pembelajaran yang berupa umpan balik dari peserta didik kepada guru setelah mengikuti serangkaian proses belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu. Di sini, peserta didik dengan jujur mengungkapkan perasaan,pesan dan kesan atas pembelajaran yang telah diikuti. Peserta didik tidak boleh berada di bawah intimidasi guru serta dipastikan benar-benar jujur dan terbuka agar beban pikirannya dapat tersalurkan." 
Masih mengutip dari laman yang sama, didapat juga tujuan dan mafaat refleksi. "Tujuan refleksi adalah 1) mengetahui sejauh mana minat peserta didik mengikuti pembelajaran; 2) mengetahui tingkat keberhasilan strategi, model, metode, pendekatan dan teknik pembelajaran yang diterapkan; 3) mengetahui keinginan dan kebutuhan siswa secara terperinsi sehingga dapat merancang pembelajaran dengan lebih baik; dan 4) mengidentifikasi kekurangan dan kelemahan guru dalam proses pembelajaran. Sedangkan manfaat refleksi adalah 1) bagi peserta didik, refleksi menjadi ruang ekspresi positif terhadap guru dan proses pembelajaran yang dialami dan 2) bagi guru, refleksi bermanfaat sebagai ajang pengamatan tindakan kelas dalam rangka memetakan karakter dan daya saing peserta didik sehingga memudahkan untuk membagi kelompok, menetapkan bobot materi, menyelenggarakan pengajaran dan melakukan evaluasi." 
Sadar akan pengertian, tujuan dan manfaat refleksi, di akhir Google Forms yang dibuat, Penjaga Pojok menulis seperti ini, "Refleksi tentang Belajar dari Rumah ini tidak akan mempengaruhi nilai kalian. Nilai yang akan kalian terima saya dasarkan pada tugas-tugas dan ulangan yang sudah dan akan saya sampaikan. Refleksi ini tidak akan masuk dalam penilaian. Oleh karena itu, silakan mengisi Lembar Refleksi ini dengan jujur. 'Kejujuran itu lebih dari sekedar tidak berbohong. Kejujuran berarti mengatakan yang sebenarnya, berbicara tentang hal-hal benar, menghidupi kebenaran, dan mencintai kebenaran' (James Esdras Faust)." Berbekal Google Forms dan sedikit ilmu tentang refleksi ini, diluncurkanlah Refleksi Pembelajaran dari Rumah yang menjadi tema utama pembelajaran daring Ruang Pojok minggu ini. Terima kasih kepada semua yang sudah berpartisipasi dalam refleksi ini. 
http://blogs.leeward.hawaii.edu/teach/2016/04/26/learning-through-reflection/
Refleksi ini kembali menyadarkan saya tentang arti pengalaman. Pengalaman hanya berarti atau berguna jika manusia mau merefleksikannya. Inilah yang - menurut saya - menjadi arti yang sesungguhnya ketika seseorang berkata bahwa dia mau belajar dari pengalaman. John Dewey - salah satu ahli filsafat pendidikan dari Amerika yang saya kagumi - pernah mengatakan, "Kita tidak belajar dari pengalaman. Kita belajar dari merefleksikan pengalaman." Jika tidak pernah direfleksikan, pengalaman akan lewat begitu saja dan kita tidak pernah mengambil manfaat apapun darinya. Namun, dengan merefleksikan pengalaman, kita berhenti sejenak untuk melihat pengalaman itu. Dalam proses itu, kita mengendapkan pengalaman, menyelam lebih dalam, dan menemukan hal-hal yang berharga dari pengalaman itu. Di situlah arti belajar dari pengalaman. 
Aktivitas refleksi yang dilakukan Ruang Pojok minggu ini juga membuat saya belajar tentang kerendahan hati. Refleksi adalah proses merendahkan diri. Melalui refleksi, saya menjadi sadar bahwa apa yang saya lakukan tidaklah sempurna. Saya masih perlu banyak belajar. Saya semakin menemukan bahwa hakikat manusia itu adalah menjadi manusia pembelajar. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menemukan apa yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan dalam banyak hal lalu membuat diri menjadi lebih baik. Inilah mengapa John C. Maxwell pernah berkata, "Milikilah kerendahan hati untuk belajar dari siapapun dan apapun di sekitarmu." Semoga minggu ini boleh membuat hidup saya dan apa yang saya lakukan bersama orang-orang yang saya layani dalam kegiatan belajar menjadi lebih baik.

Minggu, 12 April 2020

Gereja Berada dalam Mode Tersebar Karena Wabah, Bukan Kali Pertama Gereja Mengalaminya

Selamat Paskah... Paskah 2020 dirayakan oleh umat Katolik secara istimewa. Paskah kali ini tentu akan meninggalkan kesan yang amat mendalam dalam diri umat beriman. Umat diberi kesempatan untuk membangun persekutuan iman bersama di dalam hakikat Gereja yang paling kecil, yaitu keluarga. Saya sendiri menghayati Paskah kali ini secara amat istimewa dan itu saya abadikan dalam status yang saya buat di media sosial. 
Jutaan umat Katolik mengalami Paska yang unik tahun ini. Pembatasan sosial secara fisik yang diberlakukan oleh pemerintah dalam berbagai versi tidak memungkinkan terjadinya perayaan-perayaan liturgi yang diikuti oleh banyak orang. Menyikapi situasi ini, hirarki Gereja Katolik cepat bertindak dengan mengeluarkan pernyataan yang mengatur jalannya liturgi selama pandemi Covid 19 ini. Kondisi seperti ini bukan pertama kalinya dialami oleh Gereja. Para paus dan uskup pernah mengambil kebijakan yang sama berabad-abad lalu untuk mencegah penularan wabah. Dua contoh diantaranya adalah wabah di Milan pada tahun 1576 dan wabah di Roma pada tahun 1656. 
Di Italia, kebijakan untuk meniadakan perayaan liturgi ini dipahami dengan cepat. Pengalaman Gereja Katolik hidup di tengah wabah yang sedang berjangkit membantu umat untuk memahami bagaimana dramatisnya peristiwa yang sedang terjadi. Italia pernah mengalami dua wabah yang membunuh ribuan orang sehingga diadakanlah pengekangan aktivitas kehidupan beriman dan pembatasan perayaan gerejawi. Berikut ini akan dipaparkan kisah singkat bagaimana Gereja Katolik hidup di tengah dua wabah yang pernah terjadi pada tahun 1656 dan 1576.
Selama terjadinya wabah tahun 1656, Paus Alexander VII mengambil keputusan besar untuk mencegah penularan yang bisa mengakibatkan jutaan kematian di seluruh Semenanjung Italia. Dalam laporan sejarah, ditulis demikian, “Descrizione del contagio che da Napoli si comunicò a Roma nell'anno 1656" (Rome, 1837), kita membaca: ‘Tidak hanya perkumpulan secara sipil [...] tetapi perkumpulan secara rohani dilarang, seperti perayaan di kapel kepausan, prosesi umum, perkumpulan kesalehan, perayaan-perayaan kudus di gereja; juga menutup acara-acara perayaan luar biasa yang sangat dicintai oleh banyak orang.’” Paus juga mempromulgasikan yubileum universal tanpa prosesi atau kunjungan ke beberapa basilika tertentu untuk mencegah berkerumunnya orang-orang. 
Marco Rapetti Arrigoni – seorang wartawan Italia, penulis beberapa artikel mengenai pandemi dalam sejarah serta sikap otoritas religius – menulis dalam blognya bahwa “Dewan Kesehatan” [yang berada di kota Roma dan berurusan langsung dengan wabah] memiliki sistem karantina yang didasarkan pada pemisahan yang ketat atas mereka yang sedang dirawat di rumah sakit yang tersebar di beberapa bagian kota. Ada pengaturan terpisah bagi mereka yang sakit, yang terduga sakit, dan yang sembuh. “Tujuannya adalah isolasi secara cepat dan memindahkan mereka yang terjangkit, dengan kewajiban mengarantina siapa saja yang pernah mengadakan kontak dengan mereka.”  Sebagai tambahan, Arrigoni mencatat, “Dewan Kesehatan, atas perintah Tahta Suci, juga ikut campur mengatur kehidupan religius dengan mempertimbangkan pembatasan-pembatasan yang perlu. “Adorasi Ekaristi Umat 40 Jam ditunda. Prosesi dan kotbah di jalanan dilarang. Perayaan dan upacara diadakan dalam ruangan. Otoritas Gerejawi diwajibkan untuk melaksanakan devosi dan doa pribadi dan tertutup.” Meskipun demikian, orang-orang Roma tetap mengunjungi Gereja Santa Maria di Portico, yang menjadi tempat bertahta ikon Perawan Terberkati dari Portico, pelindung kota dari bawah penyakit. Karena ditakutkan bahwa berkerumunnya orang-orang akan membuah wabah semakin mudah tersebut, Dewan Kesehatan memerintahkan agar gereja tersebut ditutup.
Saat terjadi wabah tahun 1576, sama seperti Paus yang memberikan perhatian pada keselamatan jiwa-jiwa dan juga kesehatan umat beriman, otoritas Gereja pengikut Santo Ambrosius di Milan pernah melakukan hal yang sama. Ketika Milan terserang wabah pada tahun 1576, Gubernur Kota Milan, Antonio de Guzman y Zuñiga, menetapkan pembatasan bagi para peziarah. Arrigoni mencatat bahwa untuk memasuki kota, para peziarah harus berada dalam kelompok kecil. Kelompok kecil itu harus memiliki surat atau dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan kota asal dan menyatakan bahwa kelompok tersebut tidak memiliki gejala penyakit sampar.
Kardinal Carolus Borromeus, Uskup Agung Milan, mendorong para imam untuk menolong mereka yang sedang sakit. Ia sendiri pun melakukan hal yang sama. Arrigoni mencatat beberapa fakta menarik tentang kardinal ini. Waspada atas resiko penularan dan untuk mencegah dirinya sebagai pembawa wabah, sang kardinal menjaga jarak aman saat berinteraksi dengan lawan bicaranya. Ia sangat sering berganti pakaian dan mencucinya dalam air mendidih. Ia mensterilkan segala yang dipegangnya dengan api atau dengan busa yang selalu direndam dalam cuka yang selalu dibawanya serta. Ketika mengunjungi wilayah keuskupannya, Kardinal Borromeus menyimpan uang-uang logam untuk derma dalam bejana yang diisi cuka.
Dalam rangka memohon kepada Tuhan untuk mengentikan wabah, Uskup Agung Milan tersebut melakukan empat prosesi. Prosesi tersebut hanya boleh dihadiri oleh para pria dewasa yang dibagi dalam dua baris dengan jarak 3 meter satu satu sama lain. Mereka yang terjangkit dan terduga sakit dilarang menghadiri acara tersebut. Dengan bertelanjang kaki dan tali bergantung di lehernya, Kardinal Carolus Borromeus sendiri yang memimpin prosesi pertama dari Katedral Milan sampai Basilika Santo Ambrosius. 
Ia juga mengajukan permohonan agar seluruh warga kota untuk tetap tinggal dalam rumah selama 40 hari. Sebuah laporan kuni juga menyebutkan bahwa sang kardinal melakukan segala yang ia bisa untuk membantu mereka yang miskin dan sakit. Pada 15 Oktober 1576, Pengadilan menerima permohonan Kardinal Borromeus dan mengeluarkan pernyataan umum tentang karantina seluruh pendidik Milan. Pada 18 Oktober 1576, sang kardinal juga mengeluarkan keputusan yang sama bagi para klerus dan religius yang memerintahkan mereka untuk “tinggal di rumah” kecuali bagi mereka yang memberikan pendampingan spiritual maupun material kepada para warga. Warga Milan yang berada dalam karantina tidak dapat pergi ke gereja untuk berdoa atau menghadiri Ekaristi. Santo Carolus Borromeus memastikan bahwa setiap perempatan jalan kota harus diberi salib dan altar yang dapat digunakan untuk merayakan Ekaristi sehingga umat beriman bisa berpartisipasi dari jauh melalui jendela rumahnya. Sejak pertengahan Desember 1576, penyebaran wabah tampak melambat. Meskipun ada perkembangan situasi, pejabat yang berwenang tetap memutuskan untuk memperpanjang karantina. Meskipun menyetujui pepanjangan ini, sang kardinal menyesalkan bahwa umat tidak dapat pergi ke gereja, bahkan untuk merayakan Natal.
Pengalaman Gereja menghadapi wabah sepanjang sejarah telah membuat Gereja Katolik bisa mengambil sikap yang tepat. Gereja memang tidak lepas dari dunia. Pengalaman berinteraksi dengan dunia membuat Gereja bisa bertindak secara bijaksana. Semoga kita juga boleh belajar sesuatu dari pengalaman sepanjang sejarah hidup kita. Selamat Paskah. Berkah Dalem.
#banggamenjadiorangkatolik #merayakanpaskahdarirumah

Sumber Pustaka:
https://www.vaticannews.va/en/vatican-city/news/2020-04/epidemics-quarantines-empty-churches-history-tornielli.html Diakses 12 April 2020.

Sabtu, 11 April 2020

Belajar Di Rumah, Saat untuk Kembali

Saat Kembali

Kelas daring adalah saat kembali.
Momentum “learn how to learn.”
Pembelajar kembali menjadi figur sentral dalam pengajaran.
Pengajar kembali pada karakter sentralnya sebagai pembelajar.

Patrisius Mutiara Andalas,  4 April 2020

Seorang kawan menulis demikian di laman Facebooknya. Membaca tulisan itu, saya mengamininya. Pandemi Corona yang tengah melanda dunia telah mengubah hidup manusia. Banyak sisi kehidupan yang terdampak oleh pandemi ini. Sektor pendidikan pun tidak luput dari pengaruh wabah ini. Setelah kasus Corona terdeteksi, pemerintah setempat segera mengumumkan agar seluruh kegiatan publik yang mengumpulkan banyak orang dihentikan. Salah satu kegiatan publik yang juga harus berhenti karena mengumpulkan banyak orang adalah sekolah. Imbasnya, kegiatan belajar di sekolah berganti dengan belajar di rumah. Tulisan kawan itu menggerakkan saya untuk mengajak kita semua menyadari bahwa kegiatan belajar di rumah menjadi saat berharga untuk kembali merenungkan hakikat belajar seumur hidup.
Kata belajar sangat identik dengan sekolah. Saat masih sekolah, seorang manusia memiliki tugas untuk belajar. Namun, apakah benar kata belajar hanya identik dengan sekolah? Kalau sekolah dihentikan kegiatannya seperti sekarang ini, apakah manusia yang sedang sekolah berhenti belajar? Lagipula, kalau seorang manusia sudah tidak menempuh pendidikan di sekolah, apakah ia juga berhenti belajar? Inilah yang perlu dipikirkan kembali. Pandemi Corona ini – bagi saya – telah memberi banyak waktu untuk kembali. Salah satunya merenungkan kembali arti belajar.
Seorang filsuf dan pujangga Romawi bernama Lucius Annaeus Seneca sudah jauh hari berpikir mengenai hakikat belajar. Ia menulis, “Non scholae sed vitae discimus – Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup.” Pada hakikatnya, belajar memang bukan hanya untuk kepentingan sekolah, tetapi untuk menjalani hidup dengan baik. Sadar akan hal tersebut, Seneca, yang hidup pada abad pertama Masehi, mewariskan pandangan ini sampai berabad-abad kemudian. Konsep Seneca tentang hakikat belajar  kemudian dikembangkan oleh para ahli melalui konsep belajar seumur hidup. Belajar itu berlangsung sejak kecil sampai mati, kapanpun dan dimanapun. Pendidikan seumur hidup ini tidak dibatasi oleh tembok sekolah dan fasilitas yang ada. Dimanapun dan kapanpun, manusia bisa belajar. Inilah konsep belajar tampaknya sedang dikembalikan saat pandemi Corona ini. Sekolah tutup sementara. Siswa belajar di rumah. Dalam situasi ini, kesadaran belajar seumur hidup perlu ditanamkan kembali.
Kesadaran belajar seumur hidup berawal dari kesadaran sebagai manusia pembelajar. Andrias Harefa dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar menuliskan bahwa tugas pertama manusia dalam proses menjadi dirinya yang sebenarnya adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi pembelajar, bukan hanya di gedung sekolah dan perguruan tinggi tetapi terlebih lagi dalam konteks kehidupan. Apa yang dimaksud dengan Manusia Pembelajar? Andrias  Harefa mendefinisikan secara panjang lebar mengenai manusia pembelajar seperti berikut ini:

“Setiap orang (manusia) bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yaitu 1) berusaha mengenal  hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa jawaban eksistensial seperti : “siapakah aku?”, “darimanakah aku datang?”, “kemanakah aku akan pergi?”, “apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?”, dan “kepada siapa aku harus percaya?”; serta 2) berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang “bukan dirinya”.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa belajar menjadi sangat penting dan perlu terus-menerus dilakukan hingga akhir hayat karena dapat membentuk pemahaman mengenai diri dan dunianya, membentuk kecakapan menghadapi hidup dan kehidupannya, serta mendorong seseorang untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan segenap potensi dirinya untuk mencapai kesejahteraan diri dan melaksanakan fungsi-fungsi dirinya di masyarakat.
Konsep belajar seumur hidup seakan menjadi aktual kembali saat pandemi Corona ini karena guru dan siswa mengalami langsung ciri belajar seumur hidup. Umar Tirtarahardja dan S.L. La Sulo memaparkan empat ciri pembelajaran seumur hidup sebagai berikut: 1) tembok pemisah antara sekolah dan lingkungan kehidupan nyata di luar sekolah dihilangkan; 2) kegiatan belajar ditempatkan sebagai kegiatan integral dari proses hidup yang berkesinambungan dan sekolah hanya merupakan sebagian kecil dari proses belajar yang dialami seseorang semasa hidupnya; 3) pembekalan sikap dan metode belajar lebih diutamakan daripada isi pembelajaran; dan 4) peserta didik ditempatkan sebagai pelaku utama dalam proses pendidikan yang mengarah pada pendidikan diri sendiri, autodidak yang aktif kreatif, tekun, bebas, dan bertanggungjawab. Ciri pembelajaran seumur hidup ini menuntut para guru dan siswa memiliki karakteristik sebagai manusia pembelajar seumur hidup, yaitu: 1) sadar bahwa dirinya harus belajar sepanjang hayat; 2) memiliki pandangan bahwa belajar hal-hal baru merupakan cara logis untuk mengatasi masalah; 3) bersemangat tinggi untuk belajar pada semua level; 4) menyambut baik perubahan; dan 5) percaya bahwa tantangan yang terjadi sepanjang hidup adalah peluang untuk belajar hal baru.
Inilah mengapa saya mengamini tulisan kawan saya di awal bahwa pembelajaran di rumah – yang salah satunya dilakukan melalui kelas daring – adalah  saat untuk kembali. Semua komponen yang ada di sekolah baik guru maupun siswa kembali belajar bagaimana untuk belajar. Siswa menjadi pusat dalam pembelajaran karena siswalah yang kemudian aktif untuk belajar. Siswa ditempatkan sebagai pribadi yang melakukan proses belajar. Guru pun juga kembali pada karakteristik aslinya sebagai pembelajar karena guru kemudian belajar berbagai macam metode untuk tetap menjalankan perannya. Guru – selain orangtua – hadir menjadi pendidik dan pendamping belajar bagi para siswa yang dipercayakan kepadanya meskipun tidak bertatap muka. Pandemi ini bagi saya membawa berkah tersendiri, terutama kesadaran untuk mau belajar seumur hidup. Semoga kesadaran ini pun juga menular...

Sabtu, 04 April 2020

Misa Online: Cara Baru Menghayati Warisan Tradisi?

Merebaknya penyebaran virus Corona telah mengubah berbagai sendi kehidupan manusia. Berbagai sektor telah terdampak oleh penyakit yang ditetapkan sebagai pandemi oleh World Health Organization ini. Gereja Katolik juga tidak luput dari dampak pandemi ini. Salah satu dampak yang paling dirasakan adalah ditiadakannya kegiatan yang melibatkan banyak orang di sutu tempat, termasuk Perayaan Ekaristi. Peniadaan ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Meskipun demikian, Gereja Katolik tampaknya harus belajar untuk menyesuaikan diri karena salah satu cara yang diyakini manjur untuk memutus penyebaran virus ini adalah dengan membatasi perjumpaan. 
Pembatasan perjumpaan umat di satu tempat ini mau tidak mau membuat Gereja Katolik kreatif untuk tetap menghayati kehidupan imannya. Yang kemudian menjadi tren di tengah umat yang tidak bisa bersekutu ini adalah Perayaan Ekaristi Jarak Jauh yang lazim disebut Perayaan Ekaristi Live Streaming atau Misa Online. Apa dasar dari Misa Online ini? Apakah Misa Online ini menjadi cara baru menghayati warisan tradisi? Bagaimana seharusnya umat menghayati Misa Online? Semoga tulisan ini boleh sedikit membantu menjawab.

Mengapa Misa Online?
Misa Online merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebut tindakan umat mengikuti Perayaan Ekaristi jarak jauh melalui berbagai media komunikasi secara online atau daring. Dalam kesempatan itu, dilakukanlah penayangan aktivitas imam yang sedang merayakan Ekaristi di suatu tempat sehingga dapat diikuti oleh umat beriman yang berada di tempat lain. Karena kebanyakan media yang dipakai untuk menayangkan berada dalam jaringan internet, perayaan itu kemudian disebut Misa Online.
Barangkali ada yang bertanya mengapa Gereja Katolik memberikan perhatian besar pada pengaturan liturgi, terutama Perayaan Ekaristi, selama pandemi Corona ini. Kiranya ada tiga jawaban yang dapat diberikan. Pertama, Perayaan Ekaristi (dan kegiatan liturgi lain) sangat berhubungan dengan tindakan mengumpulkan orang dalam jumlah banyak padahal cara untuk memutus pandemi Corona ini adalah membatasi orang agar tidak berkumpul dalam jumlah banyak dan saling berdekatan. Dalam kehidupan masyarakat, cara ini lazim disebut social distancing atau physical distancing. Oleh karena itu, Gereja Katolik kemudian mengambil langkah untuk membatasi perjumpaan yang dihadiri oleh banyak orang untuk memutus rantai penyebaran wabah. Kedua, Gereja Katolik mengajarkan kewajiban merayakan Ekaristi Hari Minggu melalui salah satu dari Lima Perintah Gereja. Perintah nomor dua menyatakan, “Ikutlah Perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan hari raya yang diwajibkan, dan janganlah melakukan pekerjaan yang dilarang pada hari itu.” Perintah ini ditegaskan kembali oleh Konsili Vatikan II, “Pada hari itu (Minggu) umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut serta dalam Perayaan Ekaristi” (Sacrosanctum Concillium 106). Kebiasaan untuk berkumpul dan mengikuti Ekaristi ini sudah menjadi tradisi sejak zaman para rasul. Oleh karena itu sangat betul bahwa orang Katolik memiliki kewajiban untuk mengikuri Ekaristi pada hari Minggu. Ketiga, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak kehidupan umat kristiani” (Lumen Gentium 11). Artinya, hidup dan seluruh acara-kegiatan-pekerjaan maupun pelayanan Gereja menemukan sumbernya dari Ekaristi dan diarahkan kepada Ekaristi. Dalam arti tertentu, kita dapat tetap gembira, sabar, tabah dan tahan banting dalam mengarungi perjalanan hidup kita yang tidak mudah ini hanya karena kekuatan Allah yang ditimba dari Ekaristi. Begitu pula rencana, cita-cita dan kegiatan kita diarahkan kepada kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa kita yang puncaknya dirayakan dalam Perayaan Ekaristi. Rasanya, ketiga pertimbangan ini menjadi dasar bagi hirarki Gereja Katolik untuk memberikan pengaturan terhadap Perayaan Ekaristi (dan kegiatan liturgi lainnya).
Secara resmi, keputusan Tahta Suci atas izin pengadaan Misa Online ini terbit pada 25 Maret 2020. Kongregasi untuk Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen mengemukakan sebuah dekrit yang hanya berlaku dalam kurun waktu Covid-19. Terjemahan bebas isi dekrit yang mengatur Misa Online adalah sebagai berikut: 

“Mempertimbangkan situasi pandemi Covid-19 yang berkembang dengan cepat, dan mempertimbangkan pula pengamatan dari Konferensi Waligereja, Kongregasi ini membarui petunjuk-petunjuk dan saran yang telah diberikan kepada para Uskup pada tanggal 19 Maret 2020. Mengingat bahwa tanggal Paskah tidak dapat dipindahkan di negara-negara yang telah terinfeksi penyakit dan pembatasan atas pertemuan publik dan pergerakan orang banyak telah diterapkan, para Uskup dan imam boleh merayakan ritus Pekan Suci tanpa kehadiran umat di tempat yang sesuai, sambil menghindari konselebrasi dan salam damai. 
Umat beriman harus diberitahu mengenai waktu perayaan tersebut sehingga mereka dapat bersatu dalam doa di rumah mereka. Sarana-sarana siaran telematis langsung (bukan rekaman) sungguh bermanfaat. Dalam hal apapun tetaplah penting untuk meluangkan waktu yang memadai untuk berdoa, sembari memberikan prioritas kepada Liturgia Horarum (Ibadat Harian). 
Konferensi Waligereja hendaknya memastikan bahwa materi-materi disediakan untuk mendukung doa pribadi dan keluarga.”

Dekrit yang ditandatangani oleh Kardinal Robert Sarah sebagai Prefek dan Uskup Agung Arthur Roche sebagai Sekretaris ini menjadi pijakan bagi para Uskup di berbagai negara untuk mengatur pelaksanaan Misa Online selama pandemi Corona.

Cara Baru?
Dalam sejarah Gereja Katolik, pengalaman Ekaristi jarak jauh ini sebenarnya bukan hal yang baru. Adalah Santa Klara dari Asisi (1194-1253) yang pernah punya pengalaman mengikuti Ekaristi jarak jauh. Suatu kali, pada suatu Malam Natal, Klara menderita sakit berat dan tidak dapat pergi keluar bahkan tidak dapat mengikuti Ekaristi. Saat para suster lain menempuh perjalanan mengikuti Ekaristi, dia berada di atas tempat tidurnya dan berdoa agar diperbolehkan ikut ambil bagian dalam Ekaristi. Tidak lama kemudian, Tuhan menganugerahkan kepadanya penglihatan yang ajaib. Ia dapat melihat Ekaristi yang sedang berlangsung seolah-olah perayaan itu terjadi di kamar tidurnya sendiri. Pada tahun 1958, Paus Pius XII mengangkat kembali kisah hidup Santa Klara ini sehingga ia dijadikan pelindung televisi karena istilah “televisi” yang berasal dari bahasa Yunani berarti “melihat dari jauh.” 
Seiring perkembangan zaman, Gereja Katolik menggunakan berbagai kemajuan teknologi untuk menyiarkan kegiatan liturgi. Barangkali kita masih ingat ada salah satu stasiun televisi yang dengan rajin menyiarkan Misa Natal dan Paskah dari Vatikan secara langsung sehingga umat di Indonesia bisa mengambil bagian dalam perayaan itu. Bahkan, pada tahun 2005, umat di Indonesia dimanja dengan siaran langsung Misa Requiem Sri Paus Yohanes Paulus II. Ada juga yang mungkin masih mengalami siaran gelombang radio atas Perayaan Ekaristi dari suatu paroki  yang dipancarkan oleh Radio Republik Indonesia. Berkenaan dengan penggunaan media untuk menyiarkan Perayaan Ekaristi, Konferensi Para Uskup Amerika Serikat sejak tahun 1996 telah memiliki panduan resmi untuk memfasilitasi penyelenggaraan Misa jarak jauh ini. Pengalaman demi pengalaman Gereja Katolik ini menunjukkan bahwa Misa Online ternyata bukanlah hal yang sangat baru dalam Gereja Katolik. Kalau memang mau dianggap sebagai hal baru, kebaruan itu terletak pada semakin beragamnya media yang dapat digunakan untuk mengikuti Misa Online ini. Kalau dulu Misa Online hanya dapat diikuti melalui televisi dan radio, sekarang Misa Online bisa diikuti dari berbagai gawai seperti ponsel, tablet, dan komputer.  

Memusatkan Diri pada Komuni Batin
Misa Online yang baru tren ini sebenarnya menggali kembali warisan tradisi kuno yang disebut Komuni Batin. Komuni Batin adalah tindakan orang-orang Kristiani yang mengungkapkan kerinduan untuk bersatu dengan Yesus dalam Ekaristi Kudus. Cara ini sering digunakan sebagai langkah persiapan mengikuti Perayaan Ekaristi atau kebaktian bagi mereka yang tidak dapat menerima Komuni Suci. Praktek ini sudah dimulai sejak zaman Gereja Perdana, terutama saat uma tidak bisa merayakan Ekaristi akibat penganiayaan yang dilakukan para penguasa saat itu. 
Praktek Komuni Batin telah dihayati oleh orang-orang kudus sepanjang zaman. Santo  Thomas Aquinas menyatakan Komuni Batin sebagai hasrat membara untuk menerima Yesus dalam Sakramen Kudus dan dekapan penuh kasih meskipun kita telah menerimaNya. Dalam ensiklik Ecclesia de Eucharistia, Santo Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa praksis Komuni Batin telah dilakukan oleh Gereja selama berabad-abad dan dianjurkan oleh para kudus yang sudah mahir dalam hidup rohani. Santo Padre Pio menggambarkan betapa hatinya seakan-akan ditarik oleh kuasa ilahi setiap ia akan menerima Komuni Kudus. Santo Yohanes Maria Vianney membandingkan Komuni Batin sebagai bara yang siap mengobarkan api dalam kehidupan. Bahkan, tidak sedikit orang kudus yang memiliki rumusan doa khas saat melakukan Komuni Batin. Salah satunya adalah doa yang kita pakai dalam kondisi pandemi Corona ini, yaitu doa dari Santo Alfonsus de Liguori.
Mempertimbangkan betapa agungnya tradisi Komuni Batin, pada tahun 1983, Kongregasi Ajaran Iman mengeluarkan aturan yang menyatakan bahwa Komuni Batin dapat menimbulkan efek yang sama seperti Komuni Kudus dalam Ekaristi bagi orang-orang yang berada dalam situasi sebagai berikut: 1) mereka yang tinggal di paroki namun tidak ada imam yang memberikan pelayanan sakramen; 2) mereka yang tidak diperbolehkan untuk menghadiri Perayaan Ekaristi; 3) mereka yang bercerai dan menikah kembali; dan 4) mereka yang berada dalam kesatuan iman akan Perjamuan Tuhan seperti yang dihayati oleh Gereja Kristen Protestan.

Menghayati Misa Online
Berhadapan dengan Misa Online dalam kurun zaktu pandemi Corona ini, apa yang dapat dilakukan oleh umat beriman? Ada beberapa hal yang diusulkan. Pertama, umat diajak mempersiapkan diri dengan baik saat mengikuti Misa Online. Konsili Vatikan II mengharapkan agar “umat beriman perlu datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi” (Sacrosanctum Concillium 11). Dalam Misa Online, mengingat lokasi yang dipakai bukanlah bangunan yang biasanya dijadikan tempat perayaan liturgi, persiapan menduduki tempat yang cukup penting. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan persiapan dengan baik. Kedua, umat diajak untuk tetap terlibat secara sadar dan aktif dalam liturgi yang sedang dialami. Umat tetap diajak untuk menciptakan suasana seperti yang dialami dalam Perayaan Ekaristi langsung. Sadar dalam liturgi berarti kita tahu, mengerti, dan paham mengenai tatacara dan maksud perayaan yang sedang dilakukan. Tindakan yang seharusnya tidak dilakukan saat mengikuti Perayaan Ekaristi langsung juga tidak boleh dilakukan dalam Misa Online. Aktif dalam liturgi berarti kita ikut ambil bagian dalam perayaan. Umat diajak untuk aktif memberikan berbagai sikap, jawaban, dan tanggapan yang seharusnya dilakukan dalam Perayaan Ekaristi langsung. Ketiga, umat perlu belajar menghayati Komuni Batin. Komuni Batin menjadi cara untuk menyatukan diri dengan kurban Kristus yang sedang dirayakan dalam Perayaan Ekaristi. Dengan mendasarkan Doa Komuni Batin secara khusuk, umat diajak untuk benar-benar bersatu dengan Tubuh dan Darah Kristus yang saat itu belum dapat diterimanya secara langsung. Keempat, umat diajak untuk sadar akan perutusan yang diberikan setelah Misa Online. Di akhir Perayaan Ekaristi, imam selalu menyatakan perutusan kepada umat beriman. Perutusan ini memiliki makna bahwa kita diutus untuk mewartakan dan menghadirkan apa yang telah kita terima dan alami dalam Perayaan Ekaristi. Setelah menerima Sabda dan kehadiran Yesus sendiri, kita diajak untuk melaksanakan sabda dan melakukan apa yang diteladankan oleh Yesus sendiri dalam kehidupan sehari-hari. 

Inilah beberapa catatan berkenaan dengan Misa Online yang sedang dihayati oleh umat Katolik selama pandemi ini. Semoga boleh membantu penghayatan iman bersama.

Daftar Pustaka:
Anonim. “Spiritual Communion”. https://en.wikipedia.org/wiki/Spiritual_Communion. Diakses 1 April 2020.
Carlos Ferreira. “Saint Clare of Assisi: Patroness of television”. August 10, 2012. https://saltandlighttv.org/blogfeed/ getpost.php?id=39301. Diakses 1 April 2020.
Cornelius. “[Update] Dekrit mengenai Perayaan Pekan Suci dalam Situasi Pandemi COVID-19.” https://luxveritatis7.wordpress.com/2020/03/21/dekrit-mengenai-perayaan-pekan-suci-dalam-situasi-pandemi-covid-19/ Diakses 1 April 2020.
Phillip Kosloski. “Can’t receive the Eucharist? Here’s how to make a spiritual communion.” https://aleteia.org/2018/09/20/cant-receive-the-eucharist-heres-how-to-make-a-spiritual-communion/ Diakses 1 April 2020.
E. Martasudjita, Pr dkk. “Terlibat secara Aktif: Liturgi yang Sadar dan Aktif” dalam Habitus Baru dalam Liturgi, Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi. Yogyakarta: Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. 2006. 
_____. “Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Hidup Beriman” dalam Devosi Ekaristi dan Ragam Devosi, Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi. Yogyakarta: Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. 2011.
_____. “Kewajiban Merayakan Ekaristi Hari Minggu” dalam Devosi Ekaristi dan Ragam Devosi, Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi. Yogyakarta: Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. 2011.
_____. “Ite Missa Est: Pergilah, Kita Diutus!”” dalam Ekaristi: Tinggal dalam Kristus dan Berbuah, Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi. Yogyakarta: Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. 2012.
_____. “Pentingnya Persiapan Pribadi” dalam Mendalami Liturgi sebagai Pangkal Tolak Pembaruan Gereja, Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi. Yogyakarta: Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. 2013.
United States Conference of Catholic Bishops. Guidelines for Televising The Liturgy. www.usccb.org/prayer-and-worship/the-mass/frequently-asked-questions/guidelines-for-televising-the-liturgy.cfm. Diakses 1 April 2020.