Minggu, 03 Mei 2020

Catatan Penjaga Podjok: Pendidikan dalam Keluarga dengan Kolaborasi antara Orangtua, Guru, dan Teknologi

https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/wp-content/uploads/2017/09/16.12.28-Mendampingi-Anak-Belajar-di-Rumah.pdf
Kemarin kita baru saja memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini dirayakan dalam saat yang sangat istimewa dimana pendidikan dipaksa untuk berubah karena wabah virus Corona yang sedang melanda. Wabah ini memang memaksa manusia untuk berubah secara cepat. Yang termasuk harus cepat menyesuaikan adalah sektor pendidikan. Semoga refleksi ini boleh memberikan wawasan yang baru tentang pendidikan yang sedang dipaksa untuk berubah itu.
Beberapa hari sebelum peringatan Hari Pendidikan Nasional, beredar link Youtube yang berjudul “#Covid19 Masa Depan Dunia Pendidikan & Keluarga Akibat Pandemi dari kacamata Akademis & Rohaniwan.” Link ini menampilkan perbincangan antara Vidion Widyantara, Bapak B. Danang Setianto (Wakil Rektor Unika Soegijapranata Semarang), dan Romo P. Sunu Hardianto, SJ (Provinsial Serikat Yesus Indonesia). Dalam perbincangan tersebut, didiskusikan bagaimana nasib dunia pendidikan dan keluarga akibat pandemi Covid-19. Harus diakui bahwa pandemi ini mengubah proses pembelajaran. Proses pembelajaran online mengubah wajah pendidikan. Pendidikan yang selama ini terkesan tidak mau berubah dipaksa untuk berubah.  Selama ini, pendidikan selalu punya alasan untuk mempertahankan sistem yang dipakainya. Pendidikan tidak mau online dengan alasan pengajaran nilai-nilai. Wabah ini memporakporandakan semua alasan yang ingin mempertahankan sistem itu. Situasi yang tidak memungkinkan perjumpaan membuat pendidikan harus membuat formula yang baru untuk mengajarkan nilai-nilai yang selama ini diusungnya. Demikian pula keluarga. Keluarga yang selama ini sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri sekarang dipaksa untuk bertemu dan saling berinteraksi. Pandemi ini telah mengubah wajah keluarga karena keluarga dipaksa menjadi tempat berlangsungnya pendidikan. Sebenarnya ini mengembalikan pendidikan dalam bentuknya yang paling asli. Pendidikan yang paling asli itu terjadi dalam keluarga. Yang penting dalam pendidikan itu adalah Kedalaman Spiritualitas, Kedalaman Intelektual, dan Kedalaman Sosial. Pandemi Covid ini menjadi kesempatan bagi keluarga untuk bergerak lebih mendalam karena kedalaman ini berasal dari keluarga. 
Senada dengan gerak diskusi itu, peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. Dikutip dari pemberitaan KOMPAS, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menyatakan bahwa dampak terkecil pandemi ini dimulai dari keluarga. “Dampak mikro ialah di dalam keluarga. Karena keluarga itu luar biasa sebagai unit terpenting kita,” ujar Nadiem Makarim saat berdiskusi dengan Najwa Shihab dalam tayangan live streaming di kanal Youtube Kemdikbud RI, Sabtu (2/5/2020) malam. Sedangkan yang kedua, lanjut Nadiem, adalah kemampuan orang untuk bisa beroperasi dari manapun. Potensi untuk bekerja menjadi lebih efektif dari manapun juga menjadi pembelajaran. Dampak ketiga ialah masyarakat semakin sadar begitu pentingnya kesehatan. Tak heran jika sekarang masyarakat mulai kembali menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Ini jadi salah satu dampak positif bagi masyarakat. Pada diskusi dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2020 bertema “Belajar dari Covid-19” tersebut, Nadiem juga menyinggung persoalan pendidikan di masa wabah virus corona. Mas Menteri, begitu sapaan Nadiem Makarim menjelaskan bahwa pembelajaran daring yang saat ini diterapkan menjadikan orang tua sadar betapa sulitnya mendidik anak. “Kini, empati orang tua terhadap guru jadi meningkat. Tapi, guru juga menyadari tanpa adanya peran orang tua maka pendidikan itu tidak akan selesai,” kata Mas Menteri. “Krisis ini antara kolaborasi orang tua dan guru. Itulah dimana pembelajaran terjadi,” imbuhnya. “Mau secanggih apapun teknologi, tapi ujung-ujungnya yang melakukan perubahan ialah guru. Kini guru dan orang tua yang melakukan perubahan itu,” tegas Nadiem. 
Pembicaraan demi pembicaraan yang berkembang tentang pendidikan pada saat wabah ini seakan ingin menggali kembali kebijaksanaan yang telah dimiliki oleh para pendahulu seputar pendidikan. Adalah Ki Hadjar Dewantara yang tanggal lahirnya dipakai sebagai tanggal peringatan Hari Pendidikan Nasional. Dalam buku berjudul Karja I (Pendidikan) yang diterbitkan oleh Pertjetakan Taman Siswa Jogjakarta pada tahun 1962, Ki Hadjar Dewantara menulis bahwa pendidikan  adalah  daya upaya untuk  memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya. Jika dicermati, pertama-tama yang menjadi fokus dalam pendidikan adalah budi pekerti, baru kemudian rasio, dan yang terakhir fisik. Oleh karena itu, dalam pendidikan, budi pekerti ini seharusnya mendapatkan perhatian yang sangat besar. Dan sekarang lazim dipahami bahwa budi pekerti salah satunya merupakan pokok yang diajarkan dalam agama sehingga mata pelajaran agama dalam Kurikulum 2013 selalu ditambah dengan frasa “Budi Pekerti” seperti “Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti,” “Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti,” dan sebagainya. Selain itu, jauh hari sebelum terjadi fenomena “sekolah di rumah,” beliau sudah pernah mengatakan pernyataan yang kurang lebihnya seperti ini, “Setiap orang menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah.” Menjelang Hari Pendidikan Nasional kemarin, inilah yang menjadi status saya di media sosial. Konsep pendidikan yang dimiliki oleh beliau ini sebenarnya ingin menekankan bahwa pendidikan itu bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, tidak tergantung apakah ada sekolah atau lembaga pendidikan. Jika setiap rumah menjadi sekolah, orang yang lebih tualah yang harus menjadi guru di sana.
Sejalan dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara, Gereja Katolik juga memiliki pendapat tentang pendidikan. Pendapat itu berbunyi seperti ini, “Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak- anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua: menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak  mereka. Maka keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat.” (Gravissimum Educationis nomor 3). Dari sini, para orangtua harus terus menyadari bahwa mereka adalah pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga dari segi iman dan moral. Melanjutkan pendapat itu, Gereja juga menyatakan, Hak maupun kewajiban orangtua untuk mendidik bersifat hakiki,  karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain itu bersifat asali dan utama terhadap peranserta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta  kasih antara orangtua dan anak-nak. Lagi pula  tidak tergantikan dan tidak dapat diambil-alih, dan karena itu tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain atau direbut oleh mereka” (Familiaris Consortio nomor 36). Sejalan dengan tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan, Gereja Katolik memberikan catatan mengenai kerjasama antara orangtua, negara dan Gereja dalam mendidik anak, Negara dan Gereja wajib sedapat mungkin membantu keluarga-keluarga, supaya mereka mampu menjalankan peranan mereka  sebagai pendidik seperti layaknya. Maka dari itu baik Gereja maupun  negara wajib menciptakan dan mendukung lembaga-lembaga serta kegiatan-kegiatan, yang secara wajar diminta oleh keluarga-keluarga, dan  bantuan itu harus sepadan dengan kebutuhan keluarga-keluarga. Akan tetapi dalam masyarakat mereka yang diserahi pengelolaan sekolah-sekolah jangan pernah lupa, bahwa para orangtua telah ditetapkan oleh Allah sendiri sebagai pendidik-pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka, dan bahwa hak mereka  sama sekali tidak boleh diganggu gugat. Akan tetapi selaras dengan hak mereka para orangtua mempunyai kewajiban serius, untuk sepenuhnya menyanggupkan diri memelihara hubungan yang akrab dan aktif dengan para guru serta para pemimpin sekolah (Familiaris Consortio nomor 40).
Dalam situasi pandemi seperti ini, berbagai pendapat yang pernah diungkap di atas menjadi sangat relevan. Saya sendiri mencoba melihat bahwa pandemi ini menjadi saat untuk kembali. Keluarga kembali menjadi tempat pendidikan yang pertama dan utama. Pendidikan kembali dalam bentuk yang paling asli, yaitu di dalam keluarga. Bapak Ibu yang putra-putrinya sedang belajar di rumah sebenarnya kembali mengalami apa yang disabdakan oleh Kitab Suci. Kitab Amsal sudah jauh hari mengajarkan bahwa orangtualah yang wajib membimbing dan mendidik anak-anak, "Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu" (Ams 1:8). Kitab Amsal menyatakan bahwa tugas ayah ibu merupakan tugas yang sangat mulia karena dari merekalah anak-anak mendapat didikan yang pertama kalinya. Meskipun demikian, sungguh tidak mudah bagi orangtua yang kemudian hari-hari ini dipaksa untuk mendampingi anak-anak dalam pendidikan di rumah karena mereka sudah tidak terbiasa lagi mendidik anak-anak secara penuh. Urusan pendidikan kemudian sebagian besar diserahkan kepada sekolah. Pandemi ini mengembalikan urusan pendidikan kepada orangtua. Sekolah dan guru menjadi pendukung. Bagi orangtua yang ingin menemukan gagasan bagaimana mendampingi anak belajar di rumah, silakan klik link ini: https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/wp-content/uploads/2017/09/16.12.28-Mendampingi-Anak-Belajar-di-Rumah.pdf  
Yang terakhir, berkaitan dengan pendidikan dan keluarga di tengah pandemi ini, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah kehadiran teknologi. Untunglah ada teknologi yang memudahkan orangtua berkolaborasi dengan sekolah dan guru meskipun kehadirannya belum merata. Perlu disadari bahwa teknologi itu pedang bermata dua. Kalau digunakan secara baik, buahnya positif. Kalau digunakan secara tidak baik, hasilnya negatif. Teknologi yang berdampak negatif terlihat saat seluruh anggota keluarga: ayah, ibu, dan anak lengkap tampak berkumpul tetapi masing-masing memegang smartphone dan sibuk dengan smartphone masing-masing. Mereka asyik dengan “screen time” mereka masing-masing dan tak peduli satu sama lain. Tak jarang mereka senyum-senyum sendiri sambil mata tak bisa lepas dari screen. Mereka highly-connected (sangat terhubung) dengan jagad internet, tapi celakanya highly-disconnected (sangat terlepas) dengan sesama anggota keluarga. Di sisi lain, teknologi yang berdampak terlihat saat orangtua bisa memanfaatkan teknologi untuk membantu anak-anak mereka menemukan hal-hal baik. Teknologi menjadi jalan untuk belajar hal-hal untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik. Pandemi Covid-19 ini sebenarnya memberi peluang bagi orangtua (dan guru) untuk menemukan dampak positif dari teknologi. Teknologi yang sebelumnya hanya dipakai untuk eksis dan narsis, sekarang berubah menjadi alat yang sangat efektif untuk mengembangkan diri. Media sosial yang tadinya hanya dipakai untuk update status dan haha hihi sekarang berubah peran menjadi ruang diskusi.  
Di Hari Pendidikan Nasional tahun ini, saya bersyukur karena boleh merayakan pendidikan dalam bentuk aslinya, yaitu keluarga. Situasi pendidikan yang berlangsung dalam kelarga ini ternyata memerlukan kerjasama antara orangtua dan guru. Kerjasama itu semakin efektif bila masing-masing pihak sadar dalam memanfaatkan teknologi sejauh ada. Ternyata, pandemi ini juga ada sisi positifnya ya... Selamat merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2020... Selamat menempuh bentuk baru pendidikan Indonesia...  

Sumber Pustaka:
Albertus Adit. “Diskusi Mendikbud dan Najwa Shihab, Ini Dampak Positif-Negatif Corona di Dunia Pendidikan” dalam https://www.kompas.com/edu/read/2020/05/03/092749071/diskusi-mendikbud-dan-najwa-shihab-ini-dampak-positif-negatif-corona-di?page=all. Diakses 3 Mei 2020.
Bartolomeus Samho dan Oscar Yasunari. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Tantangan-tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa ini. Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan. 2010.
Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. 1993.
Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. Familiaris Consortio (Keluarga), Seri Dokumen Gerejawi No. 30. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar