Jumat, 17 Oktober 2014

Keluarga Beribadah dalam Sabda

Selama bulan September ini, Ruang Podjok mengadakan kegiatan berkenaan dengan Bulan Kitab Suci Nasional. Di bulan ini, ada dua pertemuan yang diadakan untuk membahas tema BKSN 2014, yaitu “Keluarga Beribadah dalam Sabda.” Tema ini merupakan kelanjutan dari tema tahun 2013. Tema BKSN 2013 adalah “FirmanMu Pelita bagi Langkahku”. Tema ini merupakan penjabaran dari tema besar “Keluarga yang Bersekutu dan Mendengarkan Sabda Allah” Tema 2013 mengajak keluarga untuk menghayati sabda Allah sebagai penuntun hidup. Melalui tema tahun 2014, keluarga diharapkan mampu menggunakan sabda Allah sebagai bahan ibadat, doa, maupun olah rohani yang dilakukan dalam kehidupan pribadi maupun keluarga.
Pertemuan BKSN yang normal dilakukan sebanyak empat kali. Namun, karena disesuaikan dengan agenda kegiatan Ruang Podjok, pertemuan BKSN dilaksanakan sebanyak dua kali. Oleh karena itu, Penjaga Podjok memutar otak untuk membuat bahan yang seharusnya dibahas empat kali menjadi bahan yang dapat dibahas dua kali. Dalam pertemuan pertama, anggota Ruang Podjok diajak untuk membahas tema “Iman akan Allah dalam Keluarga” dan dalam pertemuan kedua, akan dibahas tema “Ibadah dan Kehidupan yang Benar.” Semoga ini tidak menyalahi arahan dan gagasan dasar yang diajukan oleh Komisi Kitab Suci. Atas dasar dua tema itu, dilangsungkanlah pertemuan pada hari Jumat, 5 September dan Jumat, 19 September. Nah, inilah hasil pengolahan itu.
Dalam pertemuan pertama, peserta pertemuan diajak untuk menyadari adanya iman akan Allah dalam keluarga. Pertemuan pertama ini melihat bagaimana cara beriman dalam keluarga dan bagaimana iman tersebut diwariskan turun-temurun dalam keluarga. Adapun bahan yang digunakan adalah Kej 18:1-15 dan Ul 6:20-25. Untuk bahan pertama, diajukanlah beberapa pertanyaan: 1) Bagaimana Abraham menyambut tamunya?, 2) Hidangan apa yang disuguhkan Abraham pada tamunya?, 3) Apa pendapatmu tentang pribadi Abraham dan Sara?, 4) Persoalan apa yang dihadapi Abraham?, 5) Bagaimana persoalan Abraham tersebut diselesaikan?, 6) Siapa yang menyelesaikan persoalan tersebut?, dan 7) Bagaimana tanggapan Abraham dan Sara terhadap penyelesaian persoalan tersebut? Untuk bahan kedua, ada beberapa pertanyaan yang harus ditanggapi: 1) Apa yang kamu yakini menjadi tanda kehadiran Allah dalam kehidupan pribadi atau keluargamu?, 2) Siapa yang bertugas mewariskan iman?, 3) Apa yang diwariskan dalam iman?, 4) Bagaimana seharusnya iman diwariskan?, 5) Bagaimana pengaruh iman dalam hidup sehari-hari?, dan 5) Apa tantangan yang sering muncul dalam mengembangkan iman di zaman sekarang? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian diolah dalam kelompok kecil.

Setelah mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dipaparkanlah bahan berikut ini. Perjanjian Lama mengajarkan bahwa Allah sering hadir menjumpai manusia dan menolongnya. Tempat di mana Allah hadir sering dipandang suci sekaligus sering dikunjungi manusia untuk berjumpa dengan Allah. Ada beberapa sarana yang digunakan oleh Allah untuk menjumpai manusia. Beberapa contohnya adalah: Tabut Perjanjian, Tempat Suci (Sikhem, Gilgal, Betel, Hebron, Silo), dan Bait Allah. Perjumpaan itulah yang dialami oleh Abraham dan Sara. Secara istimewa, Abraham dan Sara didatangi oleh Tuhan dalam wujud tiga manusia yang menjadi tamu di perkemahan mereka. Dalam kesempatan itu, Abraham menyambut tamunya dengan cara yang istimewa. Abraham sangat antusias menjamu tamunya (ay.6-7). Ada 3 kata segera yang dinyatakan dalam kutipan tersebut. Abraham juga menghidangkan jamuan mewah (ay.6-10). Hidangan makannya adalah roti dari 3 sukat tepung terbaik. Satu sukat sama dengan 12 liter. Jadi, tiga sukat sama dengan 36 liter. Bahan ini menghasilkan roti pipih berdiameter 45 cm. Minumannya adalah dadih, air susu sapi atau kambing yang telah dikentalkan. Pengembara tidak minum anggur, tetapi air. Menjamu dadih berarti tuan rumah itu menjamu pengembara dengan pesta. Tiga tamu istimewa ini ternyata utusan Allah atau Allah sendiri yang ingin membantu Abraham dan Sara menyelesaikan persoalannya, yaitu tiadanya keturunan bagi mereka. Tidak punya keturunan dalam tradisi Israel berarti tidak mendapat berkat dari Tuhan bahkan dianggap mendapat kutuk. Kehadiran Allah dalam keluarga Abraham dan Sara ini telah membawa keselamatan bagi mereka. Allah hadir dan menyelamatkan keluarga mereka dari pandangan masyarakat yang ada saat itu. Kehadiran Allah dalam keluarga menjadi sarana penyelamatan Allah.
Telah disampaikan tadi bahwa Allah hadir melalui berbagai cara dalam kehidupan ini. Salah satu cara untuk menghayati kehadiran Allah adalah melalui ibadah. Ibadah dalam dilakukan kapan saja dan dimana saja. Ibadah merupakan cara kita untuk berbakti kepada Tuhan. Ibadah yang paling sederhana dan dapat dilakukan secara pribadi adalah doa. Ibadah selalu melibatkan iman yang diwariskan turun temurun. Musa mengajak selu-ruh bangsa Israel untuk mewariskan imannya kepada generasi berikutnya (ay.1-2.20). Pewarisan iman merupakan cara untuk menjaga kelestarian nilai-nilai kehidupan dari generasi ke generasi. Pewarisan iman merupakan tugas kita orang Katolik. Setiap orang Katolik dituntut untuk bisa mewartakan imannya sendiri kepada orang lain. Setiap orang Katolik perlu belajar tentang imannya sendiri. Paus Paulus VI menulis, “Ibu-ibu, benarkah anda mengajarkan doa-doa Kristiani kepada anak-anak anda? Benarkah anda, bersama dengan para imam, menyiapkan mereka untuk menyambut sakramen-sakramen, yang mereka terima selagi masih muda: sakramen Tobat, Komuni, dan Krisma? Benarkah anda mendorong mereka, kalau sedang sakit, untuk mengenangkan Kris-tus yang menderita sengsara, untuk memohon pertolongan kepada Santa Perawan Maria dan para kudus? Apakah anda bersama mendoakan Rosario keluarga? Dan anda, bapak-bapak, benarkah anda berdoa bersama dengan anak-anak anda, dengan seluruh keluarga, setidaknya kadang-kadang? Contoh kejujuran anda dalam pikiran maupun perbuatan, berpadu dengan doa bersama, menjadi pelajaran untuk hidup, tindakan ibadat yang bernilai istimewa. Itulah cara anda membawa damai dalam rumahtangga anda: Pax hic domui, semoga damai turun di atas rumah ini! Ingat, begitulah anda membangun Gereja.” Kita semua dipanggil untuk merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan kita. Kita semua dipanggil untuk mewartakan dan mewariskan iman kita kepada generasi yang akan datang.
Dalam pertemuan kedua, peserta diingatkan kembali tentang bahan-bahan yang didalami dalam pertemuan pertama. Pertemuan pertama mengajak para peserta melihat bagaimana Allah hadir di setiap kesempatan, terutama dalam kehidupan dan bagaimana iman diwariskan dalam keluarga. Allah hadir dalam kehidupan sekarang dan kita masing-masing bertugas untuk mewariskan sambil mewartakan iman kepada generasi berikutnya. Dalam pertemuan kedua, peserta diajak untuk mencermati bagaimana ibadat dilakukan dalam kehidupan dan bagaimana ibadat tersebut seharusnya berpengaruh pada kehidupan harian. Bahan yang digunakan dalam pertemuan ini adalah Am 5:21-27 dan Yoh 4:1-26. Berkenaan dengan bahan pertama, ada beberapa pertanyaan yang dibahas: 1) Ibadah macam apa yang dinyatakan di sana?, 2) Mengapa Allah tidak senang terhadap ibadah yang dilakukan oleh bangsa Israel?, 3) Apa yang harus dilakukan untuk melakukan ibadah yang benar?, 4) Selama ini, bagaimana cara kamu beribadah?, dan 5) Bagaimana seharusnya ibadah berpengaruh pada kehidupan sehari-hari? Sementara itu, bahan kedua didalami dengan bantuan pertanyaan berikut: 1) Apa yang dialami oleh Yesus saat itu?, 2) Apa yang dibicarakan oleh Yesus?, 3) Menurutmu, apa maksud kata-kata “Barang-siapa minum air yang Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya”?, dan 4) Bagaimana kamu memahami kata-kata “menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran”? Dalam pertemuan kedua ini, sangat terasa bahwa bahan dari Injil Yohanes agak sulit dipahami. Ya ini mungkin wajar karena Injil Yohanes memang tidak mudah dipahami sekalipun oleh orang yang sudah lebih dahulu belajar.

Setelah membahas pertanyaan-pertanyaan, Penjaga Podjok menyampaikan materi mengenai “Ibadah dan Kehidupan yang Benar.” Ibadah lazim dilakukan dalam kehidupan bangsa Israel. Kehidupan bangsa Israel diwarnai dengan ibadah yang tiada henti. Kata “ibadah” (Ibr: abodah) berarti “mengabdi Allah” Praktek ibadah dalam bangsa Israel memunculkan berbagai perayaan, antara lain: Perayaan Paska, Hari Raya Roti Tak Beragi, Hari Raya Tujuh Minggu, dan Hari Raya Pondok Daun, yang dirayakan setiap laki-laki Israel. Namun, perjumpaan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan telah mempengaruhi cara pandang mereka terhadap ibadah kepada TUHAN. Tujuan mereka beribadah bukan lagi untuk mengungkapkan bakti kepadaNya, tetapi untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Mereka memeras orang miskin lalu mempersembahkannya kepada Allah. Mereka melakukan ketidakadilan dalam hidup harian lalu dengan khusuk bisa memberikan persem-bahan kepada Allah. Bangsa Israel melakukan ibadah hanya demi “menyenangkan” Allah. Hidup mereka hayati dengan sesuka hati dibayar dengan persembahan kepada Allah (Am 5:21-22). Selain itu, dalam ibadah Israel pun masuk unsur-unsur yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, misalnya ritual seksual seperti yang dilakukan agama Kanaan. Bangsa Israel juga “memenjarakan” Allah dengan membangun pemahaman bahwa Allah hanya dapat ditemui di tempat-tempat khusus. Padahal, Allah hadir di manapun Ia menghendaki (Yes 66:1). Melihat kenyataan itu, para nabi melontarkan berbagai kritik terhadap ibadah yang dilakukan oleh umat Israel. Para nabi menyatakan bahwa ibadah adalah wujud ketaatan kepada Allah. Kalau mereka mau hidup sesuai dengan kehendakNya, yang harus mereka lakukan adalah memperhatikan sesama. Orang yang tunduk dan taat kepada Allah, pasti mengasihi sesamanya. Ibadat itu tidak terpisah dari kehidupan yang nyata, tetapi merupakan bagian dari kehidupan tersebut. Ketaatan untuk hidup sebagai umat Allah sama sekali tidak dapat dibatasi dalam tempat-tempat ibadah, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia (Hos 6:6). Bagi para nabi, ibadah itu tidak memiliki peran mutlak, apalagi bila dianggap sebagai cara terbaik untuk menyenangkan hati Allah. Ada hal lain yang perlu lebih mendapat perhatian, yakni kehidupan nyata. Kalau orang tidak mengabaikan perhatian pada sesamanya, ibadah yang dilakukannya akan kehilangan nilainya. Semua kritik itu mereka sampaikan agar umat Israel dapat menjalankan ibadah yang sejati kepada Allah yang telah menyelamatkan mereka
Dalam pembicaraan dengan perempuan Samaria, Yesus menyebut pada suatu masa yang akan datang, tidak lagi menjadi soal di mana Allah harus disembah (Yoh 4:23). Soal tempat penyembahan akan lenyap sama sekali. Segala bangsa, termasuk Yahudi dan Samaria, akan menyembah Allah di segala tempat. Untuk dapat berjumpa dan menyembah Allah, orang tidak perlu datang ke tempat tertentu karena kehadiran-Nya tidak terikat pada hal-hal fisik. Menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran berarti menyembah Allah karena digerakkan oleh Roh yang telah menyatakan kebenaran tentang Allah. Roh memperkenalkan dan menyatakan siapakah Allah yang sebenarnya, yaitu Allah sebagaimana Dia ada. Hal ini dilakukan dengan mengingatkan orang beriman pada semua yang telah diajarkan oleh Yesus mengenai Allah Bapa yang mengasihi manusia. Roh yang sama menggerakkan orang untuk menyembah Allah yang sebenarnya (sebagaimana adanya) dengan sikap hati yang benar, yakni dengan menempatkan diri di hadapan Allah yang mengasihi dia. 
Keluarga perlu menyediakan waktu untuk bertemu dengan Tuhan dalam suasana yang tenang namun menggembirakan. Ketika Kitab Suci dibacakan, Allah hadir dan berbicara kepada keluarga. Kemudian dalam doa para anggota menanggapi Sabda yang telah didengarkan. Perjumpaan keluarga itu dengan Allah akan menciptakan hubungan yang lebih akrab dan mesra denganNya. Dari kebiasaan ibadah itu, keluarga diharapkan dapat mengalami kasih Allah dan membawa kasih itu kepada sesama.
Inilah sedikit catatan dari kegiatan Ruang Podjok Agama Katolik SMK Negeri 3 Surakarta di bulan September yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar