Peran Paus menjadi semakin luas saat penjelajahan dunia mulai terjadi dan agama Katolik tersebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, Kekristenan mulai dikenal pada abad VII di Kota Barus, Sumatera dimana disana ditemukan jejak Gereja Nestorian. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar berita- berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya”, yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Atas penyelidikan dari berita yang ditulis Abu Salih al-Armini itu, dapat diambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Barat adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria. Namun, tidak ada catatan lebih lanjut apakah komunitas itu terus hidup atau tidak.
Catatan selanjutnya mengenai penyebaran agama Katolik di Indonesia terjadi pada abad XV dan XVI. Saat itu, bangsa Portugis datang ke kepulauan Maluku. Orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso, seorang saudagar Portugis. Ketika itu, para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu misionaris pendatang di Indonesia itu adalah Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.
Kisah penyebaran iman Katolik di Hindia Belanda sempat terhenti selama beberapa abad karena adanya persoalan kebebasan beragama di Belanda yang berpengaruh ke tanah jajahan. Saat itu, Belanda dikuasai oleh orang-orang Kristen Protestan sehingga misi Katolik tidak begitu bebas bergerak. Oleh karena itu, misi Katolik tidak banyak berkembang di tanah jajahan.
Kisa penyebaran iman Katolik dilanjutkan dengan kedatangan para pastor misionaris dari Belanda mulai tahun 1808 di Batavia. Yang mengawali pewartaan iman Katolik di Batavia itu adalah Pastor Jacobus Nelissen dan Pastor Lambertus Prinsen. Merekalah yang merintis kehidupan Gereja Katolik di Indonesia sampai sekarang. Hadirnya kedua orang ini menjadi tanda peran Paus yang semakin dikenal karena Paus Pius VII yang bertahta saat itu berkenan mendirikan wilayah Gerejawi Prefektur Apostolik Batavia yang membawahi seluruh wilayah Nusantara atau Hindia Belanda pada saat itu. Sejak saat itu, kepausan mulai dikenal di Indonesia. Peran Paus semakin besar karena Paus berkenan meningkatkan status wilayah Gerejawi menjadi Vikariat Apostolik di bawah kepemimpinan Monsinyur Jacobus Groof pada tahun 1841. Mulai tahun 1902, wilayah Gerejawi di Hindia Belanda semakin dimekarkan oleh Paus dengan pendirian wilayah-wilayah Gerejawi baru yang semula merupakan wilayah pelayanan Vikariat Apostolik Batavia. Berikut ini adalah linimasa perkembangan wilayah Gerejawi di Indonesia:
8 Mei 1807: Wilayah Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dipisahkan dari Prefektur Apostolik Kepulauan Samudera Hindia dan membentuk Prefektur Apostolik Batavia, dengan pusat pastoral di Batavia (sekarang Jakarta).
3 April 1841: Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Batavia.
22 Desember 1902: Wilayah Kepulauan Maluku dan Pulau Papua dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Nugini Belanda, dengan pusat pastoral di Kepulauan Kei.
11 Februari 1905: Wilayah Pulau Kalimantan dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Borneo Belanda, dengan pusat pastoral di Pontianak.
30 Juni 1911: Wilayah Pulau Sumatra dan kepulauan-kepulauan di Laut Natuna dan Selat Karimata (sekarang Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung) dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Sumatra, dengan pusat pastoral di Padang.
16 September 1913: Wilayah Kepulauan Nusa Tenggara dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil, dengan pusat pastoral di Ende.
13 Maret 1918: Prefektur Apostolik Borneo Belanda ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Borneo Belanda.
19 November 1919: Wilayah Pulau Sulawesi dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Celebes, dengan pusat pastoral di Manado.
29 Agustus 1920: Prefektur Apostolik Nugini Belanda ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Nugini Belanda.
12 Maret 1922: Prefektur Apostolik Kepulauan Sunda Kecil ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil.
27 Desember 1923: Wilayah Pulau Sumatra bagian selatan dipisahkan dari Prefektur Apostolik Sumatra dan membentuk Prefektur Apostolik Benkoelen, dengan pusat pastoral di Bengkulu. Wilayah kepulauan-kepulauan di Laut Natuna dan Selat Karimata dipisahkan dari Prefektur Apostolik Sumatra dan membentuk Prefektur Apostolik Banka dan Biliton, dengan pusat pastoral di Pulau Bangka. Prefektur Apostolik Sumatra berganti nama menjadi Prefektur Apostolik Padang.
27 April 1927: Wilayah Malang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Malang.
15 Februari 1928: Wilayah Surabaya dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Surabaia.
20 April 1932: Wilayah Bandung dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Bandung.
25 April 1932: Wilayah Purwokerto dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Purwokerto.
18 Juli 1932: Prefektur Apostolik Padang ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Padang.
1 Februari 1934: Prefektur Apostolik Celebes ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Celebes.
25 Mei 1936: Wilayah Timor Belanda (sekarang Timor Barat) dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Vikariat Apostolik Timor Belanda, dengan pusat pastoral di Atambua.
13 April 1937: Wilayah Pulau Sulawesi bagian selatan, khususnya Makassar dan sekitarnya, dipisahkan dari Vikariat Apostolik Celebes dan membentuk Prefektur Apostolik Makassar; Vikariat Apostolik Celebes berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Manado.
21 Mei 1938: Wilayah Kalimantan bagian timur, khususnya Banjarmasin dan sekitarnya, dipisahkan dari Vikariat Apostolik Borneo Belanda dan membentuk Prefektur Apostolik Bandjarmasin. Vikariat Apostolik Borneo Belanda berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Pontianak.
15 Maret 1939: Prefektur Apostolik Malang ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Malang.
13 Juni 1939: Prefektur Apostolik Benkoelen ditingkatkan dan berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Palembang, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Bengkulu ke Palembang.
25 Juni 1940: Wilayah Semarang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Vikariat Apostolik Semarang.
16 Oktober 1941: Prefektur Apostolik Bandung ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Bandung. Prefektur Apostolik Purwokerto ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Purwokerto. Prefektur Apostolik Surabaia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Surabaia.
23 Desember 1941: Vikariat Apostolik Padang berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Medan, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Padang ke Medan.
11 Maret 1948: Wilayah Sintang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Pontianak dan membentuk Prefektur Apostolik Sintang.
13 Mei 1948: Prefektur Apostolik Makassar ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Makassar.
11 November 1948: Vikariat Apostolik Timor Belanda berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Atambua.
9 Desember 1948: Wilayah Sukabumi dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia dan membentuk Prefektur Apostolik Sukabumi.
10 Maret 1949: Prefektur Apostolik Bandjarmasin ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Bandjarmasin.
12 Mei 1949: Wilayah Hollandia (sekarang Jayapura) dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Nugini Belanda dan membentuk Prefektur Apostolik Hollandia. Vikariat Apostolik Nugini Belanda berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Amboina, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Kepulauan Kei ke Pulau Ambon.
25 Desember 1949: Vikariat Militer Indonesia didirikan untuk melayani kebutuhan iman Katolik tentara Indonesia dan keluarganya.
7 Februari 1950: Vikariat Apostolik Batavia berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Djakarta.
24 Juni 1950: Wilayah Merauke dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Amboina dan membentuk Vikariat Apostolik Merauke.
10 Juli 1950: Wilayah Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Prefektur Apostolik Denpasar.
8 Februari 1951: Prefektur Apostolik Banka dan Biliton ditingkatkan dan berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Pangkalpinang.
8 Maret 1951: Wilayah Larantuka dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Vikariat Apostolik Larantuka.
Wilayah Ruteng dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil dan membentuk Vikariat Apostolik Ruteng.
Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Endeh.
19 Juni 1952: Wilayah Padang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Palembang dan membentuk Prefektur Apostolik Padang yang baru. Wilayah Lampung dipisahkan dari Vikariat Apostolik Palembang dan membentuk Prefektur Apostolik Tandjung–Karang, dengan pusat pastoral di Tanjungkarang (sekarang Bandar Lampung).
14 Juni 1954: Wilayah Ketapang dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Pontianak dan membentuk Prefektur Apostolik Ketapang. Prefektur Apostolik Hollandia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Hollandia.
21 Februari 1955: Wilayah Samarinda dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Bandjarmasin dan membentuk Vikariat Apostolik Samarinda.
23 April 1955: Prefektur Apostolik Sintang ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Sintang.
20 Oktober 1955: Wilayah Pulau Sumba dipisahkan dari Vikariat Apostolik Endeh dan membentuk Prefektur Apostolik Weetebula.
17 November 1955: Wilayah Tapanuli dan Pulau Nias dipisahkan dari Vikariat Apostolik Medan dan membentuk Prefektur Apostolik Sibolga.
19 Desember 1955: Wilayah Manokwari dan sekitarnya dipisahkan dari Vikariat Apostolik Hollandia dan membentuk Prefektur Apostolik Manokwari.
3 Januari 1961: Hierarki Gereja Katolik secara mandiri di Indonesia secara resmi dibentuk dengan dikeluarkannya Quod Christus Adorandus oleh Paus Yohanes XXIII. Akibatnya, sebagian besar ordinariat Gereja Katolik di Indonesia ditingkatkan menjadi keuskupan sufragan atau keuskupan agung, kemudian batas-batas yurisdiksi dari keuskupan-keuskupan tersebut diperjelas. Setelah itu, enam provinsi gerejawi di Indonesia dibentuk, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, minus Pulau Papua, Prefektur Apostolik Weetebula, Prefektur Apostolik Sibolga. Vikariat Apostolik Medan, yang menjadi Keuskupan Agung Medan. Prefektur Apostolik Padang, yang menjadi Keuskupan Padang. Vikariat Apostolik Palembang, yang menjadi Keuskupan Palembang. Vikariat Apostolik Pangkalpinang, yang menjadi Keuskupan Pangkalpinang. Prefektur Apostolik Tandjung–Karang, yang menjadi Keuskupan Tandjung–Karang. Vikariat Apostolik Djakarta, yang menjadi Keuskupan Agung Djakarta. Vikariat Apostolik Bandung, yang menjadi Keuskupan Bandung. Prefektur Apostolik Sukabumi, yang ditingkatkan dan berubah nama menjadi Keuskupan Bogor, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Sukabumi ke Bogor. Vikariat Apostolik Semarang, yang menjadi Keuskupan Agung Semarang. Vikariat Apostolik Malang, yang menjadi Keuskupan Malang. Vikariat Apostolik Purwokerto, yang menjadi Keuskupan Purwokerto. Vikariat Apostolik Surabaia, yang menjadi Keuskupan Surabaia. Vikariat Apostolik Endeh, yang menjadi Keuskupan Agung Endeh. Prefektur Apostolik Denpasar, yang menjadi Keuskupan Denpasar. Vikariat Apostolik Larantuka, yang menjadi Keuskupan Larantuka. Vikariat Apostolik Ruteng, yang menjadi Keuskupan Ruteng. Vikariat Apostolik Atambua, yang menjadi Keuskupan Atambua. Vikariat Apostolik Pontianak, yang menjadi Keuskupan Agung Pontianak. Prefektur Apostolik Ketapang, yang menjadi Keuskupan Ketapang. Vikariat Apostolik Sintang, yang menjadi Keuskupan Sintang. Vikariat Apostolik Samarinda, yang menjadi Keuskupan Samarinda. Vikariat Apostolik Bandjarmasin, yang menjadi Keuskupan Bandjarmasin. Vikariat Apostolik Makassar, yang menjadi Keuskupan Agung Makassar. Vikariat Apostolik Amboina, yang menjadi Keuskupan Amboina. Vikariat Apostolik Manado, yang menjadi Keuskupan Manado.
28 Juni 1963: Vikariat Apostolik Hollandia berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Kota Baru.
12 Juni 1963: Vikariat Apostolik Kota Baru berganti nama menjadi Vikariat Apostolik Sukarnapura.
15 November 1963: Hierarki Gereja Katolik di Papua resmi terbentuk dan bergabung ke Indonesia. Akibatnya, seluruh ordinariat Gereja Katolik di Papua ditingkatkan menjadi keuskupan sufragan atau keuskupan agung, kemudian batas-batas yurisdiksi dari keuskupan-keuskupan tersebut diperjelas. Setelah itu, sebuah provinsi gerejawi tambahan di Indonesia dibentuk, yang meliputi seluruh wilayah Papua. Vikariat Apostolik Merauke menjadi Keuskupan Agung Merauke. Vikariat Apostolik Sukarnapura menjadi Keuskupan Sukarnapura. Prefektur Apostolik Manokwari menjadi Keuskupan Manokwari.
13 April 1967: Wilayah Timor Barat bagian barat dipisahkan dari Keuskupan Atambua dan membentuk Keuskupan Kupang, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Endeh.
9 April 1967: Wilayah Sanggau dan Sekadau dipisahkan dari Keuskupan Agung Pontianak dan Keuskupan Ketapang, serta membentuk Prefektur Apostolik Sekadau, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
6 Februari 1967: Prefektur Apostolik Weetebula ditingkatkan menjadi Keuskupan Weetebula dan menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Endeh.
25 April 1967: Keuskupan Sukarnapura berganti nama menjadi Keuskupan Djajapura.
29 Mei 1967: Wilayah Asmat dipisahkan dari Keuskupan Agung Merauke dan membentuk Keuskupan Agats, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Merauke.
3–4 Desember 1970: Keuskupan Agung Djakarta mendapat kunjungan pastoral dari Paus Paulus VI di Jakarta.
22 Agustus 1973: Beberapa keuskupan mengalami pergantian nama, yang disesuaikan dengan perubahan ejaan atau perubahan nama dari kota yang menjadi pusat pastoralnya. Keuskupan Tandjung–Karang menjadi Keuskupan Tanjungkarang. Keuskupan Agung Djakarta menjadi Keuskupan Agung Jakarta. Keuskupan Surabaia menjadi Keuskupan Surabaya. Keuskupan Bandjarmasin menjadi Keuskupan Banjarmasin. Keuskupan Agung Makassar menjadi Keuskupan Agung Ujung Pandang. Keuskupan Djajapura menjadi Keuskupan Jayapura.
14 Mei 1974: Keuskupan Agung Endeh berganti nama menjadi Keuskupan Agung Ende. Keuskupan Manokwari berganti nama menjadi Keuskupan Manokwari–Sorong, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Manokwari ke Sorong.
24 Oktober 1980: Prefektur Apostolik Sibolga ditingkatkan menjadi Keuskupan Sibolga dan menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Medan.
8 Juni 1982: Prefektur Apostolik Sekadau ditingkatkan dan berganti nama menjadi Keuskupan Sanggau, seturut dengan pemindahan pusat pastoral dari Sekadau ke Sanggau, serta menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
21 Juli 1986: Vikariat Militer Indonesia ditingkatkan menjadi Ordinariat Militer Indonesia.
9–14 Oktober 1989: Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Ende (saat ini Keuskupan Maumere), dan Keuskupan Agung Medan mendapat kunjungan pastoral dari Paus Yohanes Paulus II, tepatnya di Jakarta, Yogyakarta, Maumere, dan Medan.
23 Oktober 1989: Keuskupan Kupang ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Kupang. Provinsi gerejawi baru terbentuk di Indonesia, ditandai dengan Keuskupan Atambua dan Keuskupan Weetebula yang berpindah metropolit dari Keuskupan Agung Ende ke Keuskupan Agung Kupang.
5 April 1993: Wilayah Kalimantan Tengah dipisahkan dari Keuskupan Banjarmasin dan membentuk Keuskupan Palangka Raya, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
15 Maret 2000: Keuskupan Agung Ujung Pandang berganti nama kembali menjadi Keuskupan Agung Makassar.
9 Januari 2002: Wilayah Kalimantan Utara dan Berau dipisahkan dari Keuskupan Samarinda dan membentuk Keuskupan Tanjung Selor, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Pontianak.
29 Januari 2003: Keuskupan Samarinda ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Samarinda.
Provinsi gerejawi baru terbentuk di Indonesia, ditandai dengan Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Palangka Raya, dan Keuskupan Tanjung Selor yang berpindah metropolit dari Keuskupan Agung Pontianak ke Keuskupan Agung Samarinda.
1 Juli 2003: Keuskupan Palembang ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Palembang.
Provinsi gerejawi baru terbentuk di Indonesia, ditandai dengan Keuskupan Pangkalpinang dan Keuskupan Tanjungkarang yang berpindah metropolit dari Keuskupan Agung Medan ke Keuskupan Agung Palembang.
19 Desember 2003: Wilayah Papua Tengah dan Provinsi Papua bagian barat dipisahkan dari Keuskupan Jayapura dan membentuk Keuskupan Timika, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Merauke.
14 Desember 2005: Wilayah Sikka dipisahkan dari Keuskupan Agung Ende dan membentuk Keuskupan Maumere, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Ende.
21 Juni 2024: Wilayah Manggarai Barat dipisahkan dari Keuskupan Ruteng dan membentuk Keuskupan Labuan Bajo, yang menjadi sufragan dalam Keuskupan Agung Ende.
3–6 September 2004: Keuskupan Agung Jakarta mendapat kunjungan pastoral dari Paus Fransiskus di Jakarta.
Inilah perkembangan wilayah Gerejawi di Indonesia yang bisa dikisahkan dimana di dalamnya para Paus berperan dalam pembentukannya. Dari masa ke masa, perkembangan Gereja di Indonesia tidak lepas dari peran Paus. Semoga dengan mempelajari kekayaan iman ini, kita boleh semakin setia, taat, dan tunduk kepada hierarki Gereja Katolik
Sumber Pustaka:
Sumber Gambar: