Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tentu membawa arti tersendiri bagi setiap orang yang mengalaminya. Paus Fransiskus sebagai figur publik tidak tidak akan lepas dari sorotan setiap orang yang melihatnya. Apapun yang disampaikan, yang dilakukan, bahkan yang dipakai oleh Paus Fransiskus bisa menjadi bahan obrolan. Salah satu bahan obrolan yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan adalah tentang apa yang dipakai oleh Paus Fransiskus.
Kita tahu bahwa alih-alih naik jet pribadi, Paus Fransiskus memilih terbang dengan pesawat komersial ITA Airways Z400 yang disewa khusus sehingga bisa langsung mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang dan tiba di Indonesia pada hari Selasa, 3 September 2024 sekitar pukul 11.25 WIB. Sebelumnya, Paus Fransiskus selalu menggunakan maskapai nasional Italia, Alitalia, untuk melakukan perjalanan kenegaraan. Namun sejak maskapai Alitalia menutup semua penerbangan pada 15 Oktober 2021, ITA Airways menjadi pilihan baru untuk lawatan Paus. Salah satu alasan mengapa Paus Fransiskus memilih menggunakan pesawat komersial ketimbang jet pribadi dalam perjalanan apostoliknya karena lingkungan dan efisiensi. Maskapai ini telah menerapkan sejumlah langkah untuk mengurangi emisi CO2, termasuk perencanaan rute yang efisien dan pengoptimalan penggunaan bahan bakar dengan menggunakan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel - SAF), yang mencampurkan bahan bakar tradisional dengan bahan biologis, sehingga mampu mengurangi emisi hingga 80 persen.
Setelah turun dari pesawat, Paus Fransiskus dijemput oleh mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid berwarna putih dengan plat nomor SCV 1. Pihak Toyota mengungkap bahwa pilihan menggunakan mobil Toyota Innova tersebut datang dari Paus Fransiskus sendiri. Bahkan, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo mengkonfirmasikan bahwa Paus memilih menggunakan mobil yang banyak digunakan oleh orang kebanyakan. Akhirnya, jadilah digunakan mobil yang banyak digunakan oleh masyarakat, Toyota Innova. Melansir laman resmi Toyota, harga mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid, dibanderol mulai Rp 477.600.000 untuk varian terendah, hingga Rp 633.600.000 untuk varian tertinggi. Soal harga, mobil yang dipakai Sri Paus tersebut jauh lebih murah ketimbang harga mobil dinas Menteri Kabinet Indonesia Maju maupun para pejabat. Diketahui bahwa para Menteri Kabinet Indonesia Maju mendapatkan kendaraan dinas berupa Toyota Crown 2.5 HV G-Executive yang dibanderol sekitar Rp 778 juta, namun saat diimpor ke Indonesia, harganya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Sementara itu, para pejabat di Indonesia rata-rata menggunakan mobil Toyota Alphard, baik untuk mobil dinas maupun pribadi. Harga mobil Alphard pun jelas jauh lebih mahal ketimbang mobil Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid yang digunakan Paus Fransiskus. Misalnya, All New Alphard Hybrid, dibanderol sekitar Rp 1,4 miliar.
Saat perjalanan menuju Kedutaan Besar Vatikan, Paus Fransiskus tertangkap kamera sedang mengenakan jam tangan murah merk CASIO classic quartz model MQ24-7B, jam tangan yang di Shopee masih ada yang jualnya, yaitu Rp 168 ribuan saat sale dari harga asli Rp 250 ribu. Kebiasaan memakai barang murah sudah dimiliki oleh Paus Fransiskus sejak lama. Sewaktu terpilih menjadi Paus Fransiskus di bulan Maret tahun 2013, Kardinal Jorge Mario Bergoglio menggunakan jam tangan merk SWATCH, classic model SUOB705. Jam SWATCH itu memiliki harga sekitar US$ 55, atau ekuivalen Rp850 ribuan dengan kurs sekarang. Model ini keluaran dekade 1990-an. Mengapa beliau ganti jam tangan dari SWATCH ke CASIO? Pada pertengahan tahun 2021, jam SWATCH itu direlakan oleh Paus untuk dilelang supaya bisa membantu Yayasan Brian LaViolette Scholarship, yang didirikan oleh keluarga LaViolette.
Misi Yayasan ini adalah “untuk memberi dukungan finansial bagi anak-anak yang sedang menempuh pendidikan di SMA.” Yayasan ini dibuat untuk menghormati anak dari keluarga LaViolette, yaitu Brian, yang meninggal saat berusia 15 tahun. Saat dilelang, jam tangan itu laku pada harga US$ 56,250 atau sekitar Rp 868 juta. Harganya naik 1022 kali lipat dari harga belinya. Jadi, harga lelang kondisi bekas jam tangan SWATCH model SUOB705 itu setara dengan 3 buah jam tangan Rolex Datejust 41 dengan kondisi unworn, yang sekitar US$ 18 ribuan per piece. Karena Paus Fransiskus tidak menikmati hasil lelang itu, beliau kemudian membeli jam tangan baru, yang merek CASIO model MQ24-7B itu.
Cerita lain dari yang dipakai oleh Paus Fransiskus dikisahkan oleh Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Ia mengaku tak sengaja memperhatikan sepatu yang dipakai Paus Fransiskus saat menyambutnya di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa siang. Kemudian, ia memperhatikan sepatu Paus. Ia menuturkan sepatu yang dipakai Paus Fransiskus saat mendarat di Indonesia terlihat seperti sepatu lama berwarna hitam dengan banyak lekukan. Menurut tradisi dalam Gereja Katolik, Paus biasanya memakai sepatu merah. Sepanjang sejarah Gereja Katolik, warna merah sengaja dipilih untuk mewakili darah para martir Katolik yang ditumpahkan selama berabad-abad mengikuti jejak Kristus. Sepatu kepausan berwarna merah juga dihubungkan dengan kaki Kristus sendiri yang berlumuran darah ketika Ia didorong, dicambuk, dan didorong di sepanjang Via Dolorosa dalam perjalanan menuju penyaliban, yang berpuncak pada penindikan tangan dan kaki-Nya di kayu salib. Sepatu merah juga melambangkan penyerahan Paus kepada otoritas tertinggi Yesus Kristus. Selain itu, dikatakan bahwa sepatu kepausan berwarna merah juga menandakan kasih Tuhan yang membara terhadap umat manusia seperti yang ditunjukkan pada hari Pentakosta ketika jubah merah dipakai untuk memperingati turunnya Roh Kudus ke atas para rasul ketika lidah api hinggap di kepala mereka. Sepatu merupakan salah satu atribut berwarna merah yang dikenakan oleh Paus setelah Paus Pius VI mengubah pakaiannya dari merah menjadi putih. Selain sepatu, atribut berwarna merah yang tersisa adalah camauro (penutup kepala berwarna merah dengan tepian putih), mozetta (penutup bahu berwarna merah dengan tepian putih), dan mantel luar (mantel lebar berwarna merah). Namun, Paus Fransiskus ini memilih memakai sepatu warna hitam karena tidak ingin menonjolkan diri. Pemakaian sepatu hitam menjadi isyarat simbolis yang mewakili penghayatan Paus Fransiskus pada kerendahan hati dan kesederhanaan. Paus Fransiskus memilih untuk menghindari kebiasaan memakai atribut istimewa tersebut demi penampilan yang lebih sederhana dan membumi.
Dari semua hal yang dipakai oleh Paus Fransiskus ini, saya merefleksikan satu hal. Paus Fransiskus ingin meng-endorse kita untuk bahagia sebagai orang biasa. Kepada orang Indonesia, tampaknya ia ingin berseru, “Berbahagialah dengan kehidupanmu sebagai orang biasa.” Ia berbicara bukan dengan kata-kata tetapi dengan apa yang dipakainya. Saya menjadi ingat dengan kata-kata ini, “Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, sukailah apa yang kamu miliki.” Semoga kita boleh berbahagia sebagai orang biasa. Terimakasih Paus Fransiskus atas yang engkau pesankan melalui yang engkau kenakan.
Sudah sekian lama Indonesia dan Vatikan saling menjalin hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik merupakan hubungan yang dijalankan antara satu negara dengan negara lain untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Hubungan diplomatik ini sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu. Untuk dapat menjalankan hubungan diplomatik dengan negara lain, perlu adanya pengakuan (recognition) terlebih dahulu terhadap negara tersebut, terutama oleh negara yang akan menerima perwakilan diplomatik suatu negara (Receiving State). Tanpa adanya pengakuan terhadap negara tersebut, pembukaan hubungan dan perwakilan diplomatik tidak dimungkinkan dan tidak akan bisa dilakukan. Indonesia dan Vatikan sudah memulai hubungan diplomatik tersebut sejak awal setelah dinyatakan kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Dan inilah kisahnya...
Awal Hubungan Diplomatik Indonesia dan Vatikan
Hubungan Indonesia dan Vatikan diawali pada saat Vatikan mengakui keberadaan Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tahun 1946. Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa Vatikan merupakan satu-satunya negara Eropa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan kemerdekaan ini pun berlanjut dengan pembangunan hubungan diplomatik antar negara. Pengakuan kemerdekaan yang dinyatakan oleh Vatikan ini tidak dapat dilepaskan dari peran Monsinyur Albertus Soegijapranata, SJ. Sebagai uskup pribumi pertama di Indonesia, kedudukannya memegang peran kunci dalam mendorong Vatikan untuk turut menyuarakan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia, terutama bagi dunia Barat. Monsinyur Soegija ikut terlibat dalam penentuan duta apostolik (apostolic delegaat) sebagai perwakilan Vatikan untuk Indonesia. Ia menyarankan agar perwakilan Vatikan tersebut harus tergolong netral, tidak berkebangsaan Belanda atau Amerika Serikat, sehingga ia dapat bekerja sama dengan semua pihak, secara khusus untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Pada 6 Juli 1947, Paus Pius XII mengangkat Monsinyur de Jonghe d’Ardoye (orang Belgia) sebagai “Delegatus Apostolik di Kepulauan Indonesia” dan pada hari berikutnya Surat Apostolik untuk mendirikan Delegasi Apostolik “di kepulauan Indonesia” dikeluarkan.
Dalam catatan hariannya, Monsinyur Soegija menulis bahwa pada 5 Juli 1947, Monsinyur George de Jonghe D’ardoye telah ditunjuk oleh Tahta Suci sebagai perwakilan Vatikan untuk Republik Indonesia dan berkedudukan di Jakarta. Tiga minggu setelah pengangkatannya, pada hari Minggu 27 Juli 1947, Monsinyur Jonghe d’Ardoye tiba dengan pesawat terbang di Batavia. Pada tanggal 6 Agustus 1947, Delegatus Apostolik menyerahkan surat resmi yang ditandatangani Monsinyur Tardini kepada Letnan-Jendral Hindia Belanda, Hubertus Johanna van Mook.
Keberadaan Monsinyur George de Jonghe D’ardoye memegang peranan sangat penting karena mayoritas bangsa Barat tidak menaruh dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Keberadaan perwakilan Vatikan menggambarkan bahwa di awal-awal masa kemerdekaan, Vatikan menjadi salah satu entitas politik Barat yang memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Berkat diplomasi Monsinyur Soegija, Vatikan mengambil peran untuk mendesak negara-negara Barat bersimpati kepada Indonesia. Jika ingin mengetahui mengapa dan bagaimana Vatikan mengakui kemerdekaan Indonesia, bisa melihat artikel berjudul "Bagaimana Vatikan Jadi Salah Satu Negara Pertama yang Akui Kemerdekaan Indonesia?" melalui link https://nationalgeographic.grid.id/read/134142064/bagaimana-vatikan-jadi-salah-satu-negara-pertama-yang-akui-kemerdekaan-indonesia
Pada 4 Januari 1950, Tahta Suci menginstruksikan wakilnya untuk memberitahukan bahwa Republik Indonesia Serikat diakui oleh Vatikan. Dua hari berikutnya, Monsinyur de Jonghe d’Ardoye secara pribadi menyampaikan keputusan ini kepada Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri Muhammad Hatta. Hatta pun mengusulkan supaya Tahta Suci mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Pada tanggal 10 Januari 1950, Tahta Suci memberitahukan kepada Jakarta, bahwa Tahta Suci menerima usul tersebut dan Internunsiatur akan didirikan serta Tahta Suci akan siap menerima misi diplomatik dari Indonesia. Kesiapan Tahta Suci Vatikan untuk menerima misi diplomatik ini disampaikan pada 16 Maret 1950. Saat itu, Tahta Suci Vatikan mengumumkan, bahwa “Yang Kudus, Tuhan kami berkenan mendirikan Internunsiatur Apostolik di Jakarta dalam Republik Indonesia Serikat, lalu menyetujui pula, bahwa pada saat yang sama itu, untuk mengangkat sebagai Internunsius Yang Mulia Monsinyur Georges de Jonghe d’Ardoye, Uskup Agung Tituler Misthia” (L’Osservatore Romano, 17 Maret 1950). Setelah menerima Surat Kepercayaan, Internunsius baru dapat menyerahkannya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 6 April 1950, di Istana Negara. Pendirian Internunsius di Jakarta ini ditanggapi oleh pemerintah Indonesia dengan mengirimkan duta besar kepada Vatikan. Pada 25 Mei 1950, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia Serikat, Sukardjo Wirjopranoto menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Pius XII.
Mengenal Para Utusan Vatikan
Sejak tahun 1947, Vatikan sudah mulai mengirimkan utusan ke Indonesia sebagai perwakilan maupun duta. Perwakilan atau duta yang dikirim oleh Vatikan ini diberi sebutan nunsius. Nunsius (dari bahasa Latin "nuncius atau nuntius") atau nuncio (dari bahasa Italia "nuncio") - yang secara resmi disebut nunsius/nuncio apostolik atau nunsius/nuncio kepausan - adalah gelar untuk kepala diplomat Gerejawi, yang setara dengan duta besar sehingga sering disebut juga sebagai duta besar Takhta Suci. Nunsius mengepalai sekelompok orang yang menjadi perwakilan untuk sebuah negara atau organisasi internasional, di mana perwakilan tersebut disebut sebagai nunsiatur apostolik. Seorang nunsius dilantik oleh dan mewakili Takhta Suci, dan merupakan kepala misi diplomatik, yang disebut sebuah Nunsiatur Apostolik, yang setara dengan sebuah kedutaan besar. Takhta Suci secara hukum berbeda dari Vatikan atau Gereja Katolik. Seorang nunsius biasanya merupakan seorang uskup agung. Seorang nunsius kepausan umumnya memiliki pangkat yang setara dengan duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, meskipun di negara-negara Katolik, nunsius sering kali berpangkat di atas duta besar dalam protokol diplomat.
Berikut ini adalah para utusan yang pernah mewakili Vatikan di Indonesia:
Georges de Jonghe d’Ardoye lahir pada tanggal 23 April 1887 di Saint-Gilles-les-Bruxelles, Belgia; ditahbiskan sebagai imam pada 21 Mei 1910; anggota dari the Society of Foreign Missions of Paris; diangkat sebagai Uskup Tituler Amathus di Cypro pada 23 Mei 1933 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada 17 September 1933; menjadi Perwakilan Apostolik untuk Indonesia (1947-1950) and Internunsius untuk Indonesia (1950-1955)
Domenico Enrici lahir pada tanggal 10 April 1909 di Cervasea San Stefano, Italia; ditahbiskan sebagai imam keuskupan Cuneo pada 29 Juni 1933; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Ancusa pada tanggal 17 September 1955 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 1 November 1955; menjadi Internunsius untuk Indonesia (1955-1958).
Gaetano Alibrandi lahir pada tanggal 14 Januari 1914 di Castiglione di Sicilia, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Acireale pada tanggal 1 November 1936; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Binda pada 5 Oktober 1961 dan ditahbiskan sebagai uskup pada 8 Desember 1961; menjadi Internunsius untuk Indonesia (1958-1961).
Ottavio De Liva lahir pada tanggal 10 Juni 1911 di Sevigliano, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Udine pada tanggal 8 Juli 1934; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Heliopolis di Phoenicia pada tanggal 18 April 1962 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 27 Mei 1962; menjadi Internunsius untuk Indonesia (1962-1965).
Salvatore Pappalardo lahir pada tanggal 23 September 1918 di Villafranca Sicula, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Catania pada tanggal 12 April 1941; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Miletus pada 7 Desember 1965 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 16 Januari 1966; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1965-1969).
Joseph Mees lahir pada tanggal 18 April 1923 di Bornem, Belgia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Malines pada tanggal 4 April 1948; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Ypres pada tanggal 14 Juni 1969 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 30 Juni 1969; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1969-1973).
Vincenzo Maria Farano lahir pada 21 Juli 1921 di Trani, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Trani pada tanggal 3 Juni 1944; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Civitanova (Cluentum) pada tanggal 8 Agustus 1973 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 30 September 1973; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1973-1979)
Pablo Puente lahir pada tanggal 16 Juni 1931 di Colindres, Spanyol; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Santander pada tanggal 2 April 1956; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Macri pada tanggal 18 Maret 1980 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 25 Mei 1980; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1980-1986)
Francesco Canalini lahir pada tanggal 23 Maret 1936 di Osimo, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Osimo pada tanggal 18 Maret 1961; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Valeria pada tanggal 28 Mei 1986 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 12 Juli 1986; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1986-1991)
Pietro Sambi lahir pada tanggal 27 Juni 1938 di Sogliano al Rubicone, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Montefeltro pada tanggal 14 Maret 1964; dari klerus; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Belcastro (Bellicastrum) pada tanggal 10 Oktober 1985 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 9 November 1985; menjadi Pro-Nunsius untuk Indonesia (1991-1998)
Renzo Fratini lahir pada tanggal 25 April 1944 di Urbisaglia, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Macerata pada tanggal 6 September 1969; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Botriana pada tanggal 7 Agustus 1993 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 2 Oktober 1993; menjadi Nunsius untuk Indonesia (1998-2004)
Albert Malcolm Ranjith Patabendige Don lahir pada tanggal 15 November 1947 di Polgahawela, Sri Lanka; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Kolombo pada tanggal 29 Juni 1975; diangkat sebagai Uskup Tituler Cabarsussi pada tanggal 17 Juni 1991 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 31 Agustus 1991; menjadi Nunsius untuk Indonesia dan untuk Timor Timur (2004-2005)
Leopoldo Girelli lahir pada tanggal 13 Maret 1953 di Predore, Italia; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Bergamo pada tanggal 17 Juni 1978; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Capri (Capreae) pada tanggal 13 April 2006 dan ditahbiskan sebagai uskup pada tanggal 17 Juni 2006; menjadi Nunsius untuk Indonesia (2006-2011)
Antonio Guido Filipazzi lahir di Melzo, Italia, 8 Oktober 1963; ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Ventimiglia-Sanremo pada tanggal 10 Oktober 1987; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Sutri and Nunsius Apostolik pada tanggal 8 Januari 2011 dan ditahbiskan sebagai Uskup pada tanggal 5 Februari 2011 oleh Paus Benediktus XVI; menjadi Nunsius Apostolik untuk Indonesia (2011-2017)
Piero Pioppo lahir di Savona, Italia Utara, pada 29 September 1960; ditahbiskan imam Keuskupan Acqui Terme pada 29 Juni 1985; diangkat sebagai Uskup Agung Tituler Torcello pada 25 Januari 2010 dan ditahbiskan uskup pada 18 Maret 2010; menjadi Nunsio Apostolik untuk Indonesia mulai 8 September 2017.
Buah-buah Diplomasi
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan membuahkan beberapa peristiwa yang menandai relasi baik antara pemerintah Indonesia dan Tahta Suci Vatikan. Setelah hubungan diplomatik secara resmi terbangun, tercatat bahwa Presiden Republik Indonesia beberapa kali berkunjung ke Vatikan. Soekarno tercatat sebagai presiden Republik Indonesia yang paling sering berkunjung ke Vatikan. Pada 13 Juni 1956, Soekarno diterima dalam audiensi oleh Paus Pius XII dan dianugerahi medali Grand Cross of Pian Order. Pian Order atau Ordo Paus Pius IX adalah Ordo Kesatriaan Kepausan yang awalnya didirikan oleh Paus Pius IV pada tahun 1560. Kunjungan Soekarno berikutnya dilakukan pada 14 Mei 1959 dan diterima oleh Paus Yohanes XXIII. Rekaman kunjungan ini bisa dilihat melalui video berikut ini:
Saat itu, Soekarno mengundang Paus supaya mengunjungi Indonesia. Dua kunjungan Presiden yang lain berlangsung pada 15 Juni 1963 saat sede vacante (kekosongan tahta Paus sesudah wafat Yohanes XXIII) dan pada 12 Oktober 1964 saat bertemu dengan Paus Paulus VI. Rekaman kunjungan ini bisa dilihat melalui video berikut ini:
Perkembangan lain dari buah hubungan diplomasi yang baik antara Indonesia dan Vatikan dirasakan oleh Gereja Katolik. Pada 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII mengeluarkan Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus untuk mendirikan hirarki Katolik di Indonesia. Enam Provinsi Gereja diadakan (Jakarta, Semarang, Ende, Medan, Pontianak dan Makassar); vikariat-vikariat apostolik menjadi keuskupan atau keuskupan agung. Dengan dikeluarkannya Quod Christus Adorandus, dua puluh vikariat apostolik dan tujuh prefektur apostolik yang ada di Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi keuskupan agung dan keuskupan. Sejak saat itu juga, ada uskup di masing-masing wilayah Gerejawi yang mempunyai wewenang penuh mengatur penggembalaan. Peningkatan status ini memberikan konsekuensi bahwa Gereja Katolik di Indonesia sepenuhnya dianggap mampu untuk menjalankan pelayanan penggembalaan secara mandiri dan tidak lagi tergantung dari induk misi yang saat itu ada di Belanda. Pelaksanaan Konstitusi Apostolik tersebut dipercayakan kepada Internunsius Apostolik pada waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi
Buah diplomasi yang lain adalah dinaikannya status perwakilan kepausan dari Internunsiatur menjadi Nunsiatur. Pada 7 Desember 1966, Internunsiatur di Indonesia diangkat menjadi setingkat Nunsiatur Apostolik. Internunsius (jabatan tertinggi pada Internunsiatur) adalah diplomat Vatikan dengan pangkat menteri yang berkuasa penuh; diakreditasi pada pemerintahan sipil dan melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan tugas seorang nunsius (jabatan Internunsiatur setingkat dengan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh); sedangkan Nunsius (jabatan tertinggi pada Nunsiatur) adalah diplomat Vatikan yang diakreditasi sebagai duta besar untuk pemerintahan sipil yang memelihara hubungan diplomatik resmi dengan Takhta Suci. Pada tanggal yang sama, Monsinyur Salvatore Pappalardo diangkat menjadi Pro-Nunsius Apostolik di Indonesia. Pada tanggal 16 Mei 1966, Duta Isa Mohammad Nazir menyerahkan Surat Kepercayaan kepada Paus Paulus VI, yang mengakreditasikannya sebagai Duta Besar. Sebagai konsekuensi dari dinaikannya status perwakilan kepausan, pada tahun yang sama, pada tanggal 1 Juni, gedung baru Nunsiatur Apostolik diresmikan. Pendirian gedung baru Perwakilan Kepausan diawali oleh Monsinyur de Liva pada Oktober 1964 dan dilaksanakan sesuai rancangan arsitek Jerman Hermann Bohnekamp. Proses pembangunan berlangsung sekitar dua tahun. Pembukaan resmi gedung baru berlangsung pada 29 Juni 1966 dan dihadiri Presiden Soekarno.
Buah hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan Tahta Suci Vatikan secara tidak langsung juga ditunjukkan melalui terpilihnya para klerus dari Indonesia sebagai kardinal. Kardinal adalah seorang klerus (kaum tertahbis dalam Gereja Katolik) yang dipilih sebagai pejabat khusus secara pribadi oleh Paus. Jadi, pemilihan kardinal ini sepenuhnya menjadi hak Paus. Paus memilih dan melantik para kardinal ini melalui sebuah upacara yang disebut dengan konsistorium atau konsistori. Lebih jauh mengenai para kardinal ini bisa dibaca melalui postingan berjudul "Ikut Bersukacita Menyambut Pengangkatan Monsinyur Ignatius Suharyo sebagai Kardinal" melalui link https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2019/10/ikut-bersukacita-menyambut-pengangkatan.html, Pada Konsistorium 26 Juni 1967, Paus Paulus VI mengangkat Monsinyur Justinus Darmojuwono, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Nama Tersuci Jesus dan Maria’ di Via Lata. Dialah Kardinal Indonesia pertama. Pada Konsistorium 26 November 1994, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Julius Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Semarang, sebagai Kardinal Imam dengan Gereja Tituler ‘Hati Suci Maria’. Ia adalah kardinal kedua dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Pada Konsistorium 5 Oktober 2019, Paus Fransiskus mengangkat Ignatius Suharyo Harjoartmojo, Uskup Agung Jakarta sebagai kardinal dan diberi gelar Kardinal Imam Spirito Santo alla Ferratella. Ia adalah kardinal ketiga dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jika ingin lebih lanjut mengenal para kardinal dari Indonesia, bisa dilihat postingan berjudul "Mengenal Para Kardinal dari Indonesia" melalui link https://kerohaniankatolikskaga.blogspot.com/2019/10/mengenal-para-kardinal-dari-indonesia.html.
Buah diplomasi Indonesia dan Vatikan berikutnya adalah terjadinya kunjungan Paus ke Indonesia. Tercatat, ada 3 orang Paus yang mengunjungi Indonesia sampai saat ini. Yang pertama, pada 3 Desember 1970, dalam rangkaian kunjungannya ke Asia dan Oseania, Paulus VI mengunjungi Indonesia. Ia tiba di Jakarta dari Sydney dan disambut oleh Presiden Soeharto. Paus bertemu dengan para imam dan biarawan/wati di Katedral Ibukota. Sesudah beristirahat di Nunsiatur dan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Indonesia, Paus merayakan Misa Kudus di Stadion Senayan sebelum meneruskan perjalanannya ke Hong Kong. Pada masa itu, Monsinyur Joseph Mees menjadi Wakil Kepausan. Kunjungan ini berlangsung singkat namun membekas di hati umat Katolik karena Paus Paulus VI menjadi kepala negara Vatikan pertama yang mengunjungi Indonesia.
Yang kedua, dalam kunjungannya Apostolik ke Asia Timur dan Mauritius (6-16 Oktober 1989), Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Indonesia dari 9 sampai 14 Oktober 1989. Di ibukota, Paus bertemu dengan uskup-uskup, pejabat sipil, tokoh-tokoh keagamaan, klerus dan biarawan/wati serta mengunjungi tempat-tempat budaya. Selama berada ibukota Paus tinggal di Nunsiatur Apostolik, yang pada waktu itu dikepalai Monsinyur Francesco Canalini. Kunjungan ini berlangsung cukup lama. Sekitar 5 hari Paus Yohanes Paulus II berada di Indonesia. Selama berada di Indonesia, Paus Yohanes Paulus II tidak hanya berada di Jakarta, tetapi juga mengunjungi Yogyakarta, Maumere, Dili, dan Medan. Saat itu, umat Katolik di Indonesia bergembira karena bisa melihat dari dekat sang Gembala Tertinggi Gereja Katolik karena Paus di setiap tempat berkesempatan untuk mempersembahkan Ekaristi.
Yang ketiga, dalam rangkaian kunjungannya ke Asia dan Oseania (2-13 September 2024), Paus Fransiskus mengagendakan untuk mengunjungi Indonesia dari 3 sampai 6 September 2024. Setelah itu, Paus Fransiskus akan menempuh perjalan ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Kunjungan Paus ini seakan mengobati kerinduan umat Katolik di Indonesia yang sudah 35 tahun menanti kunjungan Gembala Tertingginya. Euforia kegembiraan menyambut Paus Fransiskus ini menggelora di hati setiap orang Katolik. Semoga kehadiran Sri Paus di Indonesia semakin mempererat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan serta memberikan berkat kepada setiap orang yang berkehendak baik.