Kardinal adalah sebuah gelar rohani sangat tua di dalam Gereja Katolik, yang secara hirarkis berada langsung di bawah paus. Paus Silvester I ( tahun 314 - 335) adalah paus pertama yang menggagas dan membentuk gelar ini. Secara etimologis, kata "kardinal" berasal dari kata bahasa Latin "cardo", yang berarti engsel pintu yang menyambung dua helai pintu. Kata "cardo" juga digunakan untuk menyebut seorang imam yang menjadi kepala gereja yang terletak di wilayah sekitar Roma dan merepresentasikan kehadiran gereja-gereja lokal di berbagai belahan dunia. Berpijak pada dua pengertian di atas, seorang kardinal dipilih dan diangkat dengan sebuah tugas dan fungsi penting, yakni ibarat ‘’engsel“ yang menyambungkan Sri Paus (Tahta Suci Vatikan) dengan gereja lokal atau wilayah yang berada di bawah tanggung jawab seorang kardinal. Setelah penganugerahan entitas ganda kepada Vatikan sebagai negara dan Tahta Suci sebagai pemerintahan melalui Perjanjian Lateran pada tanggal 11 Pebruari 1929, para Kardinal juga diberi julukan "pangeran-pangeran Gereja".
Para kardinal bisa diidentifikasi dengan mudah melalui penampilan dengan pakaian kebesaran serba merah. Para kardinal Gereja Katolik adalah anggota persekutuan para kardinal yang disebut Kolegium Para Kardinal. Pada zaman dulu, Kolegium Para Kardinal juga lumrah disebut "Senat Sri Paus" tetapi istilah ini sudah kedaluwarsa. Kadang istilah ini masih digunakan meski hanya dalam publikasi-publikasi atau tulisan-tulisan khusus saja. Istilah lain yang juga sudah jarang muncul adalah "Kolegium Para Kardinal yang Kudus". Penggunaan kedua istilah di atas melemah sejak tahun 1983. Istilah yang lebih populer sekarang adalah Kolegium Para Kardinal.
Para kardinal yang dipilih dan diangkat oleh Sri Paus. Ini merupakan hak prerogatif Sri Paus. Pengangkatan para kardinal itu bertujuan agar mereka mendukung Paus di dalam menjalankan tugas kepemimpinan Gereja Katolik di seluruh dunia, baik secara individu maupun secara kebersamaan. Tugas para kardinal bisa bervariasi, mulai dari memimpin departemen atau lembaga administrasi pusat Kuria di Vatikan, hingga pemimpin Gereja lokal negara masing-masing dan penasihat atau pengarah Gereja lokal. Artinya, kardinal-kardinal yang tidak ditentukan oleh Paus untuk memimpin administrasi Kuria di Vatikan, tetap tinggal dan bekerja di negara mereka masing-masing. Mereka selalu siap bersedia untuk memenuhi panggilan Sri Paus, manakala kehadiran mereka di Vatikan dibutuhkan untuk sebuah tujuan penting tertentu. Seorang kardinal yang berkarya di negaranya, tidak selamanya atau tidak harus menjadi pemimpin konferensi para uskup. Hal ini bergantung dari kebutuhan dan hasil pemilihan yang independen. Ketidakharusan ini memberikan ruang gerak kepadanya yang lebih luas untuk menjalin relasi kerjanya dengan Sri Paus.
Pengangkatan para kardinal pada dasarnya tidak bertujuan untuk merepresentasi sebuah negara. Banyak negara di mana hadir juga Gereja Katolik, tidak memiliki kardinal. Hal ini merupakan hak prerogatif Paus yang berbasis pada kebutuhan beliau dan kriteria-kriteria yang beliau miliki. Oleh karena pengangkatan seorang kardinal sesuai dengan kebutuhan Sri Paus, pada masa-masa terakhir, Paus Fransiskus bahkan juga memilih para imam dan diangkat menjadi kardinal tanpa harus menjadi uskup atau uskup agung terlebih dahulu seperti lazimnya terjadi pada masa-masa sebelumnya. Mereka-mereka itu biasanya memiliki kualifikasi-kualifikasi tertentu yang sangat mendukung tugas kegembalaan Sri Paus, atau oleh karena jasa-jasa dan pengalaman-pengalaman luar biasa yang dianggap bisa memberikan masukan penting bagi Sri Paus dalam menjalankan kepemimpinannya.
Selain tugas-tugas di atas, para kardinal memiliki tugas lain yang sangat penting, yakni memilih paus yang baru. Ketika terjadi “sede vacante” (kekosongan jabatan Paus), para kardinal sebagai suatu kolegium memimpin roda pemerintahan Gereja Katolik Dunia. Kepemimpinan ini diwakili oleh kehadiran Kardinal Kamerlengo dan wakil-wakilnya. Para wakil Kardinal Kamerlengo ini dipilih dari para kardinal secara bergantian tiga hari sekali selama masa kekosongan jabatan Paus. Selama “sede vacante’’, para kardinal biasanya hadir di Vatikan untuk mengadakan pertemuan atau sidang harian guna membahas berbagai hal untuk menjamin jalannya pemerintahan serta mempersiapkan konklaf (upacara pemilihan Paus yang baru). Selama masa ini, mereka tidak berhak menggantikan atau mengubah hukum atau keputusan serta ketetapan apapun yang sudah dilakukan oleh paus sebelumnya.
Penganugerahan gelar kardinal ini dilakukan dalam suatu acara yang disebut Konsistori. Konsistori merupakan istilah khas Gereja Katolik yang berakar dari bahasa Latin "consistorium" yang secara harafiah berarti "ruang pertemuan." Dalam tradisi, konsistori digunakan untuk menyebut perteman Kolegium Para Kardinal yang dipimpin langsung oleh Paus. Ada dua macam konsistori. Pertama, konsistori biasa atau umum yang dihadiri oleh para kardinal yang bekerja atau tinggal di Roma. Kedua, konsistori luar biasa yang harus dihadiri oleh seluruh anggota Kolegium Para Kardinal. Pengangkatan kardinal baru termasuk konsistori biasa.
Penganugerahan gelar kardinal ini dilakukan dalam suatu acara yang disebut Konsistori. Konsistori merupakan istilah khas Gereja Katolik yang berakar dari bahasa Latin "consistorium" yang secara harafiah berarti "ruang pertemuan." Dalam tradisi, konsistori digunakan untuk menyebut perteman Kolegium Para Kardinal yang dipimpin langsung oleh Paus. Ada dua macam konsistori. Pertama, konsistori biasa atau umum yang dihadiri oleh para kardinal yang bekerja atau tinggal di Roma. Kedua, konsistori luar biasa yang harus dihadiri oleh seluruh anggota Kolegium Para Kardinal. Pengangkatan kardinal baru termasuk konsistori biasa.
Sepanjang sejarah sampai saat ini, Indonesia sudah memiliki tiga orang kardinal. Sebagai warga Gereja Keuskupan Agung Semarang, Penjaga Podjok bersyukur karena ketiga kardinal yang diangkat oleh Paus itu pernah menjadi gembala Keuskupan Agung Semarang. Dalam tulisan ini, Penjaga Podjok ingin memperkenalkan profil ketiga kardinal tersebut. Ketiga kardinal tersebut adalah Kardinal Justinus Darmajuwono, Kardinal Julius Darmaatmaja, dan Kardinal Ignatius Suharyo.
Sejarah Gereja Indonesia mencatat bahwa yang menjadi kardinal pertama dari Indonesia adalah Kardinal Justinus Darmajuwono. Ia lahir di Jering, Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2 November 1914. Di usia 33 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam diosesan Semarang oleh Vikaris Apostolik Semarang saat itu, Monsinyur Albertus Soegijapranata, S.J. pada 25 Mei 1947. Setelah ditahbiskan, ia bekerja sebagai pastor paroki di beberapa tempat antara lain Kidul Loji (1947), Ganjuran (1947-1950), Klaten (1950-1954), Purbayan (1954 dan 1957-1961) serta Purbowardayan (1961). Pada tahun 1954-1956, ia diberi kesempatan untuk menepuh studi Missiologi di Universitas Gregoriana, Roma. Tahun 1962, ia ditunjuk oleh Monsinyur Soegijapranata untuk menjadi Pastor Paroki Katedral Semarang sekaligus mengemban tugas sebagai Vikaris Jenderal. Pada 10 Desember 1963, ia ditunjuk oleh Tahta Suci menjadi Uskup Agung Semarang menggantikan Monsinyur Soegijapranata yang wafat pada 22 Juli 1963. R.D. Darmojuwono
pun ditahbiskan pada 6 April 1964 oleh Monsinyur Ottavio de Liva (Internunsius Apostolik untuk Indonesia) yang didampingi oleh Monsinyur Adrianus Djajaseputra, SJ (Uskup Agung Jakarta) dan Monsinyur Paulus Sani Kleden, S.V.D (Uskup Denpasar). Karya penggembalaan yang dijalani oleh Monsinyur Darmoyuwono ini disemangati oleh semboyan "In Te Confido - Kepada-Mu aku percaya." Tiga tahun setelah peristiwa penahbisan sebagai Uskup, Monsinyur Darmoyuwono diangkat sebagai kardinal oleh Paus Paulus VI pada 26 Juni 1967 dengan gelar Kardinal Imam Santissimi Nome di Gesu e Maria in via Lata. Meskipun diberi gelar kardinal, tugas utama yang diembannya tetap menggembalakan umat di Keuskupan Agung Semarang. Kardinal Darmojuwono mengundurkan diri dari jabatan Uskup pada 3 Juli 1981. Setelah itu, ia tinggal di Paroki Santa Maria Fatima Banyumanik, sebuah paroki kecil di sebelah selatan Kota Semarang sampai tutup usia pada 3 Februari 1994. Selama menjadi kardinal, ia mengikuti konklaf sebanyak 2 kali, yaitu pada 25-26 Agustus 1978 yang memilih Paus Yohanes Paulus I serta 14-16 Oktober 1978 yang memilih Paus Yohanes Paulus II.
Tidak sampai setahun setelah wafatnya Kardinal Darmojuwono, Indonesia kembali mendapatkan kehormatan untuk memperoleh seorang kardinal. Ia adalah Kardinal Julius Darmaatmaja. Ia lahir di Muntilan, Jawa Tengah pada 20 Desember 1934. Di usia 35 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam dalam Ordo Serikat Yesus oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono pada 18 Desember 1969. Setelah ditahbiskan, imam lulusan Kolese de Nobili Poona, India ini bekerja sebagai pastor paroki Kalasan (1969-1971). Setelah itu, hidupnya diabdikan dalam Ordo Serikat Yesus Provinsi Indonesia: sebagai Socius Magister, Minister, dan Pastor Paroki Girisonta (1971-1973), Socius Provinsial dan Superior Komunitas Provinsialat (1973-1978). Ia pernah menjadi Rektor Seminari Mertoyudan (1978-1981). Pelayanan terakhir yang diembannya sebelum menjadi uskup adalah sebagai Provinsial Serikat Yesus (1981-1983). Pada 19 Februari 1983, R.P. Darmaatmaja ditunjuk oleh Tahta Suci menjadi Uskup Agung Semarang menggantikan Kardinal Darmajuwono. Tahbisan Uskup dilaksanakan pada 29 Juni 1983 oleh Kardinal Justinus Darmojuwono (Uskup Agung Emeritus Semarang) didampingi oleh
Monsinyur Fransiskus Xaverius Sudartanta Hadisumarta, O. Carm. (Uskup Malang) dan Monsinyur Leo Sukoto (Uskup Agung Jakarta). Monsinyur Darmaatmaja mengambil semboyan penggembalaan "In Nomine Iesu - Dalam nama Yesus." Semboyan ini juga pernah dipakai oleh Uskup Agung Semarang yang pertama, Monsinyur Albertus Soegijapranata. Pada 26 November 1994, Monsinyur Darmaatmaja diangkat menjadi kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II dengan gelar Cardinal Imam Sacro Cuore di Maria. Sama seperti Kardinal Darmajuwono, Kardinal Darmaatmaja pun tetap mengemban tugas penggembalaan di Keuskupan Agung Semarang setelah diangkat sebagai kardinal. Tugas di Keuskupan Agung Semarang diembannya sampai tahun 1996. Pada 11 Januari 1996, ia ditunjuk menjadi Uskup Agung Jakarta menggantikan Monsinyur Leo Sukoto yang wafat pada 30 Desember 1995. Tugas sebagai Uskup Agung Jakarta diemban oleh Kardinal Darmaatmaja sampai 28 Juni 2010 saat permohonan pensiunnya diterima oleh Paus Benediktus XVI. Setelah pensiun, sampai saat ini, Kardinal Darmaatmaja tinggal di Wisma Emaus, Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah.
Kardinal ketiga yang dimiliki oleh Indonesia dianugerahkan oleh Paus Fransiskus pada 5 Oktober 2019. Kabar gembira ini sudah diumumkan dalam Doa Angelus yang disampaikan oleh Paus pada 1 September 2019. Dalam kesempatan itu, Paus mengumumkan akan mengangkat 13 kardinal yang salah satunya adalah Uskup Agung Ignatius Suharyo Hardjoatmojo, Uskup Agung Jakarta. Berita itu menjadi sangat viral berkat kehadiran media sosial yang diakrabi oleh umat Katolik. Sore itu, Penjaga Podjok pun ikut bersorak gembira saat mendengar berita itu. Puji Tuhan, melalui Paus Fransiskus, Tuhan berkenan memperhatikan bangsa Indonesia dan terutama umat Katolik di Indonesia karena Penjaga Podjok tahu bahwa kehadiran seorang kardinal akan mendekatkan umat Katolik di suatu wilayah dengan Paus yang sedang bertahta (Lihat posting berjudul Ikut Bersukacita Menyambut Pengangkatan Monsinyur Ignatius Suharyo sebagai Kardinal). Ignatius Suharyo lahir di Sedayu, Godean, Sleman pada 9 Juli 1950. Pada 26 Januari 1976, ia ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Agung Semarang oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono. Setelah ditahbiskan, R.D. Suharyo menjalankan tugas perutusan untuk belajar Kitab Suci di Universitas Gregoriana, Roma (1976-1981). Setelah lulus, ia diutus untuk mengemban tugas mengajar sebagai dosen di Fakultas Filsafat Teologi Wedhabakti, Yogyakarta. Pada 21 April 1997, ia ditunjuk sebagai uskup Agung Semarang menggantikan Kardinal Darmaatmaja yang saat itu sudah pindah mengemban tugas sebagai Uskup Agung Jakarta. Tahbisan uskup kemudian dilakukan pada 22 Agustus 1997 oleh Kardinal Darmaatmadja (Uskup Agung Jakarta) didampingi oleh Monsinyur Pietro Sambi (Nunsius Apostolik untuk Indonesia) dan Monsinyur Blasius Pujaraharja (Uskup Ketapang). Monsinyur Suharyo memilih motto tahbisan "Serviens Domino cum omni humilitate - Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati." Penggembalaan di Keuskupan Agung Semarang dijalaninya sampai tahun 2009. Pada 25 Juli 2009, ia ditunjuk sebagai Uskup Koajutor Keuskupan Agung Jakarta. Uskup Koajutor adalah uskup bantu yang memiliki hak untuk langsung menggantikan saat permohonan pengunduran diri Uskup Diosesan yang didampinginya diterima oleh Tahta Suci sehingga Uskup Diosesan tersebut tidak lagi mengemban jabatan di wilayah yang dipercayakan kepadanya. Ketika Paus Benediktus XVI memberikan persetujuan pensiun kepada Kardinal Darmaatmaja pada 28 Juni 2010, Monsinyur Suharyo langsung menggantikan posisinya sebagai Uskup Agung Jakarta. Mulai saat itu, ia resmi mengemban penggembalaan umat di Keuskupan Agung Jakarta. Ketika berita penunjukannya sebagai kardinal beredar, Monsinyur Suharyo tidak langsung mempercayainya. Ia baru mempercayai kabar itu ketika Monsinyur Piero Pioppo, Nunsius Apostolik untuk Indonesia, menghubunginya melalui telepon. "Usai mendapat telepon itu, saya yakin dengan benar bahwa saya dipilih Paus untuk melayani sebagai kardinal," demikian ungkap Monsinyur Suharyo seperti yang dikutip oleh Majalah HIDUP edisi 15 September 2019. Baginya, tugas sebagai kardinal mengandung konsekuensi yang mendalam. Orang Perancis berkata, "Noblesse Oblige - Dalam kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan, ada tanggung jawab yang besar." Inilah refleksi mendalam yang diolahnya ketika ia diangkat sebagai kardinal. Akhirnya, pada 5 Oktober 2019, ia dilantik sebagai kardinal dan diberi gelar Kardinal Imam Spirito Santo alla Ferratella oleh Paus Fransiskus.
Inilah tiga kardinal yang boleh diterima oleh bangsa Indonesia. Pengangkatan kardinal bagi suatu bangsa merupakan modal dan kekuatan spiritual bagi Gereja Katolik. Ini menjadi tanda kepercayaan Tahta Suci kepada Gereja Katolik Indonesia. Syukur atas para kardinal yang boleh menjadi kekuatan iman untuk umat di Indonesia...
Sumber Pustaka:
R.B.E. Agung Nugroho. "Pangeran Gereja, Pelayan Umat Allah" dalam HIDUP No. 10 Tahun ke-68. 09 Maret 2014.
Y. Prayogo. "Menebarkan Jala dalam Nama Yesus" dalam HIDUP No. 50 Tahun ke-68. 14 Desember 2014.
Yusti H. Wuarmanuk. "Kardinal Baru Menyapa Orang Kecil" dalam HIDUP No. 37 Tahun ke-73. 15 September 2019.
Bernardinus Rusmanto Indriarto, Pr. Sang Pangon, Justinus Kardinal Darmojuwono. Yogyakarta: Kanisius. 2014.
Foto-foto diambil dari grup Whatsapp... terima kasih kepada yang sudah berkenan mengunggah foto-foto tersebut.
Sejarah Gereja Indonesia mencatat bahwa yang menjadi kardinal pertama dari Indonesia adalah Kardinal Justinus Darmajuwono. Ia lahir di Jering, Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2 November 1914. Di usia 33 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam diosesan Semarang oleh Vikaris Apostolik Semarang saat itu, Monsinyur Albertus Soegijapranata, S.J. pada 25 Mei 1947. Setelah ditahbiskan, ia bekerja sebagai pastor paroki di beberapa tempat antara lain Kidul Loji (1947), Ganjuran (1947-1950), Klaten (1950-1954), Purbayan (1954 dan 1957-1961) serta Purbowardayan (1961). Pada tahun 1954-1956, ia diberi kesempatan untuk menepuh studi Missiologi di Universitas Gregoriana, Roma. Tahun 1962, ia ditunjuk oleh Monsinyur Soegijapranata untuk menjadi Pastor Paroki Katedral Semarang sekaligus mengemban tugas sebagai Vikaris Jenderal. Pada 10 Desember 1963, ia ditunjuk oleh Tahta Suci menjadi Uskup Agung Semarang menggantikan Monsinyur Soegijapranata yang wafat pada 22 Juli 1963. R.D. Darmojuwono
pun ditahbiskan pada 6 April 1964 oleh Monsinyur Ottavio de Liva (Internunsius Apostolik untuk Indonesia) yang didampingi oleh Monsinyur Adrianus Djajaseputra, SJ (Uskup Agung Jakarta) dan Monsinyur Paulus Sani Kleden, S.V.D (Uskup Denpasar). Karya penggembalaan yang dijalani oleh Monsinyur Darmoyuwono ini disemangati oleh semboyan "In Te Confido - Kepada-Mu aku percaya." Tiga tahun setelah peristiwa penahbisan sebagai Uskup, Monsinyur Darmoyuwono diangkat sebagai kardinal oleh Paus Paulus VI pada 26 Juni 1967 dengan gelar Kardinal Imam Santissimi Nome di Gesu e Maria in via Lata. Meskipun diberi gelar kardinal, tugas utama yang diembannya tetap menggembalakan umat di Keuskupan Agung Semarang. Kardinal Darmojuwono mengundurkan diri dari jabatan Uskup pada 3 Juli 1981. Setelah itu, ia tinggal di Paroki Santa Maria Fatima Banyumanik, sebuah paroki kecil di sebelah selatan Kota Semarang sampai tutup usia pada 3 Februari 1994. Selama menjadi kardinal, ia mengikuti konklaf sebanyak 2 kali, yaitu pada 25-26 Agustus 1978 yang memilih Paus Yohanes Paulus I serta 14-16 Oktober 1978 yang memilih Paus Yohanes Paulus II.
Tidak sampai setahun setelah wafatnya Kardinal Darmojuwono, Indonesia kembali mendapatkan kehormatan untuk memperoleh seorang kardinal. Ia adalah Kardinal Julius Darmaatmaja. Ia lahir di Muntilan, Jawa Tengah pada 20 Desember 1934. Di usia 35 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam dalam Ordo Serikat Yesus oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono pada 18 Desember 1969. Setelah ditahbiskan, imam lulusan Kolese de Nobili Poona, India ini bekerja sebagai pastor paroki Kalasan (1969-1971). Setelah itu, hidupnya diabdikan dalam Ordo Serikat Yesus Provinsi Indonesia: sebagai Socius Magister, Minister, dan Pastor Paroki Girisonta (1971-1973), Socius Provinsial dan Superior Komunitas Provinsialat (1973-1978). Ia pernah menjadi Rektor Seminari Mertoyudan (1978-1981). Pelayanan terakhir yang diembannya sebelum menjadi uskup adalah sebagai Provinsial Serikat Yesus (1981-1983). Pada 19 Februari 1983, R.P. Darmaatmaja ditunjuk oleh Tahta Suci menjadi Uskup Agung Semarang menggantikan Kardinal Darmajuwono. Tahbisan Uskup dilaksanakan pada 29 Juni 1983 oleh Kardinal Justinus Darmojuwono (Uskup Agung Emeritus Semarang) didampingi oleh
Monsinyur Fransiskus Xaverius Sudartanta Hadisumarta, O. Carm. (Uskup Malang) dan Monsinyur Leo Sukoto (Uskup Agung Jakarta). Monsinyur Darmaatmaja mengambil semboyan penggembalaan "In Nomine Iesu - Dalam nama Yesus." Semboyan ini juga pernah dipakai oleh Uskup Agung Semarang yang pertama, Monsinyur Albertus Soegijapranata. Pada 26 November 1994, Monsinyur Darmaatmaja diangkat menjadi kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II dengan gelar Cardinal Imam Sacro Cuore di Maria. Sama seperti Kardinal Darmajuwono, Kardinal Darmaatmaja pun tetap mengemban tugas penggembalaan di Keuskupan Agung Semarang setelah diangkat sebagai kardinal. Tugas di Keuskupan Agung Semarang diembannya sampai tahun 1996. Pada 11 Januari 1996, ia ditunjuk menjadi Uskup Agung Jakarta menggantikan Monsinyur Leo Sukoto yang wafat pada 30 Desember 1995. Tugas sebagai Uskup Agung Jakarta diemban oleh Kardinal Darmaatmaja sampai 28 Juni 2010 saat permohonan pensiunnya diterima oleh Paus Benediktus XVI. Setelah pensiun, sampai saat ini, Kardinal Darmaatmaja tinggal di Wisma Emaus, Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah.
Kardinal ketiga yang dimiliki oleh Indonesia dianugerahkan oleh Paus Fransiskus pada 5 Oktober 2019. Kabar gembira ini sudah diumumkan dalam Doa Angelus yang disampaikan oleh Paus pada 1 September 2019. Dalam kesempatan itu, Paus mengumumkan akan mengangkat 13 kardinal yang salah satunya adalah Uskup Agung Ignatius Suharyo Hardjoatmojo, Uskup Agung Jakarta. Berita itu menjadi sangat viral berkat kehadiran media sosial yang diakrabi oleh umat Katolik. Sore itu, Penjaga Podjok pun ikut bersorak gembira saat mendengar berita itu. Puji Tuhan, melalui Paus Fransiskus, Tuhan berkenan memperhatikan bangsa Indonesia dan terutama umat Katolik di Indonesia karena Penjaga Podjok tahu bahwa kehadiran seorang kardinal akan mendekatkan umat Katolik di suatu wilayah dengan Paus yang sedang bertahta (Lihat posting berjudul Ikut Bersukacita Menyambut Pengangkatan Monsinyur Ignatius Suharyo sebagai Kardinal). Ignatius Suharyo lahir di Sedayu, Godean, Sleman pada 9 Juli 1950. Pada 26 Januari 1976, ia ditahbiskan sebagai imam Keuskupan Agung Semarang oleh Uskup Agung Semarang, Kardinal Justinus Darmojuwono. Setelah ditahbiskan, R.D. Suharyo menjalankan tugas perutusan untuk belajar Kitab Suci di Universitas Gregoriana, Roma (1976-1981). Setelah lulus, ia diutus untuk mengemban tugas mengajar sebagai dosen di Fakultas Filsafat Teologi Wedhabakti, Yogyakarta. Pada 21 April 1997, ia ditunjuk sebagai uskup Agung Semarang menggantikan Kardinal Darmaatmaja yang saat itu sudah pindah mengemban tugas sebagai Uskup Agung Jakarta. Tahbisan uskup kemudian dilakukan pada 22 Agustus 1997 oleh Kardinal Darmaatmadja (Uskup Agung Jakarta) didampingi oleh Monsinyur Pietro Sambi (Nunsius Apostolik untuk Indonesia) dan Monsinyur Blasius Pujaraharja (Uskup Ketapang). Monsinyur Suharyo memilih motto tahbisan "Serviens Domino cum omni humilitate - Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati." Penggembalaan di Keuskupan Agung Semarang dijalaninya sampai tahun 2009. Pada 25 Juli 2009, ia ditunjuk sebagai Uskup Koajutor Keuskupan Agung Jakarta. Uskup Koajutor adalah uskup bantu yang memiliki hak untuk langsung menggantikan saat permohonan pengunduran diri Uskup Diosesan yang didampinginya diterima oleh Tahta Suci sehingga Uskup Diosesan tersebut tidak lagi mengemban jabatan di wilayah yang dipercayakan kepadanya. Ketika Paus Benediktus XVI memberikan persetujuan pensiun kepada Kardinal Darmaatmaja pada 28 Juni 2010, Monsinyur Suharyo langsung menggantikan posisinya sebagai Uskup Agung Jakarta. Mulai saat itu, ia resmi mengemban penggembalaan umat di Keuskupan Agung Jakarta. Ketika berita penunjukannya sebagai kardinal beredar, Monsinyur Suharyo tidak langsung mempercayainya. Ia baru mempercayai kabar itu ketika Monsinyur Piero Pioppo, Nunsius Apostolik untuk Indonesia, menghubunginya melalui telepon. "Usai mendapat telepon itu, saya yakin dengan benar bahwa saya dipilih Paus untuk melayani sebagai kardinal," demikian ungkap Monsinyur Suharyo seperti yang dikutip oleh Majalah HIDUP edisi 15 September 2019. Baginya, tugas sebagai kardinal mengandung konsekuensi yang mendalam. Orang Perancis berkata, "Noblesse Oblige - Dalam kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan, ada tanggung jawab yang besar." Inilah refleksi mendalam yang diolahnya ketika ia diangkat sebagai kardinal. Akhirnya, pada 5 Oktober 2019, ia dilantik sebagai kardinal dan diberi gelar Kardinal Imam Spirito Santo alla Ferratella oleh Paus Fransiskus.
Inilah tiga kardinal yang boleh diterima oleh bangsa Indonesia. Pengangkatan kardinal bagi suatu bangsa merupakan modal dan kekuatan spiritual bagi Gereja Katolik. Ini menjadi tanda kepercayaan Tahta Suci kepada Gereja Katolik Indonesia. Syukur atas para kardinal yang boleh menjadi kekuatan iman untuk umat di Indonesia...
Sumber Pustaka:
R.B.E. Agung Nugroho. "Pangeran Gereja, Pelayan Umat Allah" dalam HIDUP No. 10 Tahun ke-68. 09 Maret 2014.
Y. Prayogo. "Menebarkan Jala dalam Nama Yesus" dalam HIDUP No. 50 Tahun ke-68. 14 Desember 2014.
Yusti H. Wuarmanuk. "Kardinal Baru Menyapa Orang Kecil" dalam HIDUP No. 37 Tahun ke-73. 15 September 2019.
Bernardinus Rusmanto Indriarto, Pr. Sang Pangon, Justinus Kardinal Darmojuwono. Yogyakarta: Kanisius. 2014.
Foto-foto diambil dari grup Whatsapp... terima kasih kepada yang sudah berkenan mengunggah foto-foto tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar