Tulisan
ini bisa dikatakan sebagai doa permohonan saya di hari Natal ini... Menurut
tradisi yang sampai sekarang saya yakini, Natal adalah saat orang datang kepada
Sang Bayi Yesus yang hadir di palungan, bersyukur atas kebaikan Allah yang
telah diberikan, serta memohon hal-hal yang menjadi keperluannya. Juga
berkembang kisah bahwa pada saat Natal, ada seorang bernama Santa Claus dalam
bahasa Inggris atau Sinterklaas dalam bahasa Belanda (yang sekarang atributnya baru
jadi perbincangan sebagian orang di Indonesia) yang membawa karung berisi
hadiah-hadiah. Konon... sebelum Natal, orangtua dengan janggut putih panjang
dan perut gendut itu menerima beribu-ribu surat dari anak-anak berbagai negara yang mengutarakan keinginannya.
Menjelang Natal, orangtua ini akan meneropong setiap anak dengan kriteria
NAUGHTY or NICE (NAKAL atau BAIK). Anak yang tergolong baik akan diberi hadiah,
sedangkan anak yang nakal akan dimasukkan karung dan dihukum oleh Piet Hitam...
Saya pun menjadi bertanya apakah saya termasuk yang baik atau yang nakal ya...
Hmmm...
nakal atau tidak, kalau saya ditanya mengenai apa yang diinginkan, salah satu
jawaban saya termuat dalam tulisan ini: I’m dreaming of a White Volkswagen Bus.
Kebetulan, ketika menulis ini, saya sedang mendengar Michael Buble yang
berdendang, “I’m dreaming of a white
christmas just like the one I used to know... When the tree tops glisten and
children listen to hear sleigh bells in the snow...” Lagu ini menginspirasi
saya untuk membuat judul permohonan ini “I’m dreaming of a White Volkswagen Bus.”
Mengapa saya bermimpi untuk memilikinya? Ini muncul dari keprihatinan seputar
pelayanan yang selama ini saya berikan kepada anak-anak didik dan masyarakat
sekitar saya.
Yang
saya inginkan adalah sebuah Volkswagen Bus. Volkswagen Bus dikenal banyak orang
dengan nama VW Kombi. Mobil keluaran perusahaan Volkswagen dengan nama resmi
Kombinationskraftwagen ini diperkenalkan secara resmi pada tahun 1950 dan
diproduksi sampai tahun 2014. Mobil ini desain oleh Ben Pon dan dikenal sebagai
Volkswagen Type 2 yang muncul setelah Volkswagen Type 1 atau yang familiar
dikenal di Indonesia sebagai VW Kodok.
Mengapa
saya menginginkan mobil ini? Ceritanya panjang... Semasa kecil, saya memiliki
saya memiliki seorang pakdhe yang menjadi pastor. Suatu saat, pakdhe saya ini
pulang ke rumah membawa sebuah mobil VW Kodok berwarna putih. Ikut bangga
rasanya ketika saya boleh menaiki mobil itu meskipun harus berdesakan (Jawa: untel-untelan) dengan saudara yang lain.
Sekian tahun berselang, ketika menginjak remaja, saya kembali mendapat
pengalaman dengan Volkswagen. Saat itu, kakak saya yang mulai bekerja di
Jakarta membeli sebuah mobil. Pada hari Lebaran, terdengar berita bahwa mobil
itu akan dibawa pulang. Hati ini bersorak ketika tahu bahwa yang akan dibawa
pulang adalah sebuah VW Kodok berwarna merah. Rasa bangga ketika untel-untelan menaiki mobil itu kembali
terasa ketika mobil kecil itupun dipaksa membawa 6 orang untuk pergi
bersilaturahmi kepada keluarga di desa pada hari Lebaran. Mengingat hal itu...
hati ini rasanya pengen tersenyum. Pengalaman demi pengalaman itu membuat hati
saya seakan-akan terbakar dan bersemangat setiap kali mendapat pengalaman
bersentuhan dengan Volkswagen. Tidak seperti VW Kodok yang kecil meskipun bisa
dipakai untel-untelan, saya berpikir
ingin punya VW Kombi supaya yang menimpang merasa lebih nyaman.
Sampai
sekarang, saya masih memendam keinginan untuk memiliki sebuah Volkswagen yang
bisa memuat banyak orang. Salah satu pengalaman yang semakin membuat saya ingin
memiliki VW Kombi adalah kiprah saya di dunia pendidikan dan pemberdayaan
masyarakat. Saya bekerja sebagai guru Pendidikan Agama Katolik di sebuah
sekolah negeri. Ada tantangan tersendiri menjadi guru Agama Katolik di sekolah
negeri karena jumlah siswa-siswi Katolik pasti tidak banyak. Nah... yang tidak
banyak itu dibina menjadi anak-anak yang unggul. Dari situlah muncul gagasan
untuk memiliki sebuah VW Kombi yang dapat dijadikan pusat pelayanan kerohanian.
VW Kombi itu akan dilengkapi perpustakaan mini berisi buku-buku rohani yang
siap dibaca oleh siswa-siswi maupun orang-orang lain yang memerlukan pelayanan
rohani. Dengan begitu, kehadiran VW Kombi itu akan menjadi titik simpul
komunitas yang mau bediskusi soal iman. Selain itu, VW Kombi itu pun siap
menjadi alat transportasi bagi siswa-siswi Katolik ketika harus bepergian
menyambangi kegiatan-kegiatan di berbagai tempat. Saya sendiri pernah mengalami
kesulitan ketika akan mengajak siswa-siswi Katolik untuk berkegiatan di luar sekolah.
Mayoritas, kendala yang ada ketika ada kegiatan keluar adalah transportasi
seperti yang saya alami bulan Oktober yang lalu ketika saya mengajak mereka ke
Gua Maria Mojosongo. Ketika ada kesulitan transportasi, VW Kombi itulah yang saya harapkan menjadi tulang punggung untuk membantu saya. Selain bekerja di dunia pendidikan, kegiatan saya di
bidang sosial kemasyarakatan juga membuat saya tergerak untuk memiliki VW
Kombi. Ada beberapa alasan yang mendasari. Kegiatan masyarakat selalu
melibatkan banyak orang sehingga dibutuhkan alat transportasi yang dapat memuat
banyak orang. Selain itu, dalam bidang sosial kemasyarakatan, saat ini saya
bersama dengan beberapa warga kampung sedang merintis kegiatan Bank Sampah.
Salah satu kendala yang kami jumpai dalam kegiatan itu adalah persoalan
transportasi. Kami tidak memiliki armada ketika harus menyetorkan sampah kepada
pengepul. Hal inilah yang membuat saya berpikir untuk memiliki VW Kombi, yaitu
supaya saya bisa membantu sedikit mengatasi persoalan yang ada.
Kecintaan
saya terhadap Volkswagen tidak pernah pudar. Saat berjumpa Volkswagen di jalan,
saya selalu menaruh kekaguman sekalipun Volkswagen itu sudah berkarat dan buruk
rupa. Saya pun tidak melewatkan berbagai peristiwa berkenaan dengan Volkswagen.
Saat bertandang ke Museum Angkut di Batu, Malang, saya tidak melewatkan
kesempatan ngeksis dengan beberapa Volkswagen yang dipajang di sana. Saya pun
tidak pernah melewatkan kesempatan nampang bersama Volkswagen yang hadir di
berbagai event kuliner maupun budaya, seperti yang ada di ajang Jagongan Ngopi
neng Solo kemarin. Tidak lupa, ketika ada Wing Days Volkswagen di Solo, saya
pun mewajibkan diri untuk datang. Yang baru-baru saja, di Hari Guru kemarin,
saya menghadiahi diri saya dengan mainan die-cast
metal VW Kombi 1963 Double Cabin Pickup.
Inilah
berbagai macam pengalaman yang muncul di benak saya ketika saya menorehkan judul
I’m
Dreaming of A White Volkswagen Bus... Di hari Natal ini, kalau boleh
meminta, inilah salah satu hal yang saya inginkan.
Menuliskan
hal ini, saya teringat akan tulisan Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, “Jadi, gambaran kami tentang gembala
diaspora ialah seorang pastor (imam atau awam) yang bergerak dengan mobilitas
lincah dan selalu membawa telepon genggam. Ia tidak berkantor birokratis di
sebuah gedung ber-AC di belakang meja jati seberat setengah ton dengan suatu
set kursi empuk setebal 50 cm di sudut salon. Akan tetapi, ia berada dalam
suatu mobil van (kombi) tahan banting yang dilengkapi dengan meja kerja,
telepon, komputer data dan informasi (membonceng hubungan dengan modem/internet
keuskupan), kotak makanan-minuman dan seperangkat radio-kaset, syukurlah TV dan
video informatif. Jok mobil sewaktu-waktu dapat disetel menjadi tempat tidur bila perlu menginap
bebas, dengan pakaian, alat cukur, sikat-pasta gigi, dsb. yang praktis untuk
perjalanan yang bersinambung...” (Gereja
Diaspora. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hlm. 140-141). Tulisan ini memang
banyak mempengaruhi saya dalam pelayanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar