Tepat hari ini, 16 Maret 2021, resmi sudah saya melakukan Pembelajaran Jarak Jauh selama setahun. Saya mencoba melihat catatan presensi saya setahun yang lalu. Dalam aplikasi yang saya gunakan, pada tanggal 16 Maret 2020 tercatat bahwa saya melakukan presensi pagi pukul 06.57 dan setelah itu tertulis keterangan FM (Force Majeure). Force Majeure adalah keadaan memaksa yang terjadi di luar kemampuan manusia sehingga kerugian tidak dapat dihindari. Saat itu, keadaan tersebut terjadi karena merebaknya virus yang menyebabkan pandemi Covid-19. Saat itulah yang mengubah semua keadaan, termasuk dunia pendidikan. Sekolah yang menjadi salah satu tempat publik, terpaksa harus ditutup untuk mencegah penyebaran penyakit secara masif. Akhirnya, pembelajaran di sekolah pun harus dilakukan dengan cara jarak jauh yang membuat pembelajaran terjadi meskipun guru dan murid tidak saling bertatap muka, bahkan terpisahkan dengan jarak yang relatif jauh.
Berhadapan dengan kenyataan tersebut, dunia persekolahan pun dipaksa untuk berubah. Satu hal yang pasti: Berubah atau Punah. Dengan segera, saya pun juga mengubah paradigma yang selama ini bercokol dalam kepala saya. Tadinya, saya menganggap bahwa pembelajaran jarak jauh tidak akan banyak bermanfaat. Tadinya, saya menganggap bahwa soal esai adalah bentuk soal yang paling mengasah kemampuan siswa. Tadinya, saya menganggap bahwa teknologi hanya berperan sebagai pelengkap dalam pembelajaran. Dan pandemi Covid-19 memaksa saya untuk mengubah semuanya itu. Dengan cepat, saya pun mengadopsi perubahan. Awalnya saya ragu untuk membuat perubahan, tetapi sekali lagi semua harus dilakukan.
Tidak butuh waktu lama ternyata untuk berubah. Yang lebih diperlukan adalah kemauan untuk berubah. Nyatanya, dalam waktu enam minggu, pembelajaran yang tadinya dilakukan dengan tatap muka penuh bisa diubah menjadi pembelajaran daring. Kisah ini sudah saya coretkan melalui tulisan berikut: Catatan Penjaga Podjok: Mengelola Kelas Daring #1 Perubahan yang harus dilakukan dengan segera ini terus diperbarui dari waktu ke waktu. Ada banyak gagasan yang kemudian membuat pembelajaran daring menjadi semakin matang dan cukup bisa dipertanggungjawabkan (meskipun masih harus diakui bahwa tatapmuka tetap menjadi pilihan utama). Pembelajaran daring pun kemudian terus berjalan dari waktu ke waktu sampai sekarang.
Di tengah kegamangan yang terjadi selama pembelajaran daring, sering muncul pertanyaan: kapan situasi ini akan berakhir? Dalam waktu dekat? Atau masih jauh dari selesai? Dalam proses yang belum selesai ini, ada banyak reaksi. Ada yang bertahan dalam pembelajaran daring. Ada yang curi-curi pembelajaran tatap muka. Untuk yang curi-curi pembelajaran tatap muka seringkali muncul lelucon seperti ini:
Orang Dewasa : "Dik, mau kemana?"
Anak : "Sekolah, Om..."
Orang Dewasa : "Lho, kok gak pakai seragam?"
Anak : "Iya Om, biar Corona gak tau kalau kita sedang sekolah..."
Orang Dewasa : &^%$#@$*!???
Memang situasi yang terjadi membuat banyak reaksi. Saya sendiri termasuk yang memilih reaksi bertahan. Ya mau bagaimana lagi? Virusnya menyebar ketika banyak orang berkumpul. Mana berani saya membuat kerumunan. Ini juga sekaligus supaya saya tidak termasuk golongan Covidiot. Covidiot merupakan istilah yang muncul selama pandemi ini. Dilansir dari laman Health, covidiot adalah mereka yang tidak menganggap serius Covid-19 dan risikonya, terlepas dari apa yang dikatakan pejabat pemerintah dan komunitas kesehatan global. Pada saat yang sama, mereka mungkin melakukan perilaku egois yang tidak mendukung upaya memperlambat dan menghentikan penyebaran virus corona. Saya sendiri menganggap bahwa dengan bertahan dalam pembelajaran daring, saya ikut terlibat menghambat penyebaran virus karena kita tidak tahu siapa yang membawa dan siapa yang menularkan.
Sampai hari ini saya memang masih memilih reaksi bertahan dalam pembelajaran daring. Efeknya apa? Banyak... Salah satunya adalah kelelahan dalam menjalani pembelajaran daring. Memang pembelajaran daring ini tidak memiliki banyak variasi. Ya cuma itu itu saja... Namun, saya sendiri merasakan bahwa pembelajaran daring ini membuat saya banyak belajar: belajar untuk setia dalam hal yang itu-itu saja, belajar untuk membuat persiapan jauh hari, belajar untuk merencanakan, belajar untuk melakukan yang sudah direncanakan, belajar untuk mengatasi kesulitan dan banyak lainnya...
Lalu kalau ditanya: Masih Semangat atau Sudah Loyo? Jawabannya pasti: Harus Terus Semangat... Mengapa? Ya karena bisanya cuma menjalani. Kalau saya kemudian menjadi kendor, pasti keadaan akan semakin buruk. Lalu siapa yang rugi? Banyak pihak: saya sendiri rugi, siswa-siswi saya rugi, bahkan masa depan pun dirugikan. Oleh karena itu jawabannya pasti... Harus Semangat... Saya menyadari bahwa pembelajaran jarak jauh bukanlah hal yang saya inginkan, tetapi kalau saya menyerah dengan keadaan, menjadi pasti bahwa saya sendirilah yang akan menanggung kerugian... Oleh karena itu, mari tetap semangat... Kata Abah Lala, "Rasah Aleman..." Semoga Anda sekalian yang membaca tulisan ini pun boleh menimba semangat yang sama... untuk tetap semangat... Berkah Dalem...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar